Author: Nong Darol Mahmada
Ruang publik yang dimaksud di sini adalah semua wilayah kehidupan sosial
yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Pada prinsipnya, semua
warga masyarakat boleh memasuki ruang ini, entah itu perempuan maupun
laki-laki.
Yang dipercakapkan dalam ruang ini adalah persoalan-persoalan yang
menyangkut kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Dalam ruang ini
tercipta iklim demokratis, karena dengan itulah konsensus yang bebas dari
paksaan dan dominasi bisa dicapai.
Konsep ini diambil dari Habermas tentang teori masyarakat dan mengundang
perdebatan dikalangan feminis. Karena masyarakat yang dimaksudkan Habermas
dalam penciptaan opini publik ini, kata para feminis, mengabaikan perempuan
yang identik dengan ruang privat. Karenanya, pembagian dikotomi antara publik
dan privat menjadi salah satu aspek analisa para feminis.
Awal kritik tentang dikotomi publik dan privat ini disampaikan oleh Mary
Walstonecraft, seorang pelopor feminis liberal abad kedelapan belas. Dalam
masyarakat yang kontemporer, katanya, pertumbuhan kapitalisme dan
peraturan-peraturan dalam sebuah negara menimbulkan kebingungan dalam bentuk
dikotomi antara ruang publik dan privat.
Kemunculan ekonomi pasar, sebagai tanda awal kapitalisme pada abad ketujuh
belas dan kedelapan belas amat menganggap penting pemisahan antara publik dan
masyarakat. Kehidupan publik dianggap berhubungan dengan urusan dan layanan
yang diberikan negara. Masyarakat menyediakan hak-hak bagi laki-laki, tidak
pada perempuan.
Padahal hanya sedikit laki-laki yang berperan dalam ruang publik. Menurut
Walstonecraft, menyingkirkan perempuan dalam ruang publik akan menyuburkan
dominasi terhadap perempuan. Tidak hanya feminis liberal yang mengkritik dikotomi
ruang terhadap perempuan ini, feminis radikal dan feminis sosialis juga
melakukan hal yang sama.
Mesjid sebagai Ruang Publik
Dalam Islam, terlepas dari kritik feminis, konsep ruang publik yang
diterangkan Habermas ini ada dan tercipta ketika Nabi Saw masih hidup. Seperti
yang dikatakan oleh Fatima Mernissi dalam bukunya Women in Islam, tata ruang yang diciptakan Nabi pada awal-awal
Islam, telah mengondisikan iklim demokratis yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan.
Kalaupun ada dominasi itu hanya ada pada Nabi. Karena Nabi mempunyai
otoritas wahyu dari Allah sehingga mempunyai posisi dan peran sebagai problem solver yang menjawab semua
persoalan umat Islam.
Dalam Islam tidak jelas dikotomi publik dan privat. Perempuan Islam tetap
menjalankan tugas reproduksinya tanpa meninggalkan kehidupan publiknya. Ini
terlihat dari keterlibatan dan keaktifan isteri-isteri Nabi dan sahabat-sahabat
perempuan beliau yang bisa kita baca dalam sejarah hidup Nabi.
Kenapa hal ini terjadi? Menurut Mernissi karena sejak awal tata ruang yang
diciptakan Nabi sudah mengondisikan perempuan untuk aktif dalam ruang publik.
Ruang yang diciptakan Nabi yang terdiri dari mesjid, tempat tinggal Nabi dan
isteri-isterinya serta sahabat-sahabat terdekatnya, telah membentuk kesatuan.
Kesederhanaan bentuk pemukiman mereka, kedekatan satu sama lain, dan
kedekatan mereka dengan mesjid, memberikan dimensi demokratik dalam masyarakat
muslim. Pada saat itu, mesjid menjadi pusat kegiatan politik dan keagamaan. Suara
dan aspirasi kaum perempuan juga terakomodir di sini dan menjadi opini publik.
Sama halnya dengan suara kaum laki-laki. Ingat misalnya kasus Ummu Salama yang
memprotes Nabi dan kasus Kubaysya binti Ma’an.
Menyatunya tempat tinggal dan mesjid ini tidak menghalangi keterlibatan
perempuan Islam, baik isteri-isteri Nabi atau sahabat-sahabatnya, dalam
berperan baik sosial, politik dan keagamaan. Perempuan-perempuan biasa keluar
masuk mesjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi.
Jalinan perasaan antara perempuan dan mesjid telah menciptakan poros dalam
masyarakat dan mengangkat tingkat kesadaran dan peran serta mereka dalam
masyarakat. Hasil nyatanya telah dapat disaksikan pada zaman Nabi dengan
munculnya banyak sahabat perempuan teladan.
Hijabisasi Perempuan
Setelah Nabi Saw wafat, aktivitas perempuan berangsur-angsur surut.
Ditambah dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah (isteri Nabi) dalam memimpin
perang unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu kontroversial
dikalangan pemikir Islam klasik. Ada satu pendapat yang mengatakan, tindakan
itu merupakan ijtihad Aisyah sehingga tidak berdampak politis apa-apa dan ia
mendapatkan satu pahala.
Ada juga sebagian kalangan yang mengatakan, peristiwa itu biang perpecahan
umat Islam. Sehingga menjadi legitimasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah
di bidang politik. Ini juga didukung dengan adanya hadis yang diriwayatkan Abu
Bakrah tentang kepemimpinan perempuan.
Puncak pembatasan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan
Abbasiyah. Pada dinasti Umayah masa Khalifah Al-Walid II (743-744 M), perempuan
pertama kalinya ditempatkan di harem-harem
dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Gaung keterlibatan perempuan,
pada masa ini, hampir tidak terdengar. Pada akhir kekhalifahan Abbasiyah yaitu
pada pertengahan abad ke-13 M, sistem harem
telah tegak kokoh.
Pada periode inilah, lahirnya tafsir-tafsir Al-Qur’an klasik semisal Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi,
Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya. Ini mempengaruhi penafsiran-penafsiran mereka
yang mengabaikan ayat-ayat kesetaraan. Pada masa ini juga, hadis-hadis yang
tadinya merupakan sunnah yang hidup (living
sunnah) menjadi terkodifikasikan dalam bentuk baku. Sehingga tak bisa dimungkiri akan adanya hadis-hadis yang bersifat
misoginis, merendahkan perempuan.
Kondisi ini melahirkan pemikir Islam yang ingin mengembalikan posisi
perempuan seperti dalam zaman Nabi Saw. Gerakan ini diawali oleh Qosim Amin,
salah satu murid Muhammad Abduh, dalam bukunya Tahrirul Mar’ah yang merupakan tonggak gerakan perempuan dunia Islam.
Qosim mempreteli konsep hijab, poligami dan thalaq yang katanya sangat merendahkan perempuan Islam. Sekarang,
banyak pemikir Islam yang menyuarakan hal itu. Bahkan beberapa pemikir
perempuan secara serius menggali teks-teks suci, misalnya Fatima Mernissi di
Marokko, Riffa’at Hassan di Pakistan, Amina Wadud Muhsin di Malaysia, Nawal
Al-Saadawi di Mesir dan sebagainya.
Di Indonesia, hijabisasi terhadap perempuan sempat ramai lagi seiring
dengan derasnya tuntutan diberlakukannya syari’at Islam. Dan hijabisasi
merupakan agenda pertama dari penerapan syariat Islam. Ini bisa kita lihat
dalam bentuk diwajibkannya memakai jilbab, pembatasan ruang gerak dan
sebagainya.
Contohnya di Aceh dan Padang atau daerah-daerah yang menghendaki
pemberlakuan syariat Islam. Bahkan mesjid yang dulu berfungsi sebagai ruang
publik sekarang hanya milik kaum lelaki. Praktik-praktik seperti
ini pun terjadi di negara-negara yang mendasarkan pada syari’at Islam, misalnya
Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Sudan dan sebagainya.
Dalam konteks sekarang, dimana kesetaraan perempuan tidak lagi
dipersoalkan, membatasi perempuan dari ruang publik merupakan langkah yang
mundur bagi keberlangsungan masa depan Islam.
Note