— penghibur bahadur menumbuhkan harapan
Tidak banyak kemenangan berhasil ditorehkan Maria Sharapova ketika
menghadapi Serena Williams. Namun dari yang tidak banyak itu, satu kemenangan
saat keduanya berjumpa di final Wimbledon 2004 menjadi pertandingan ikonik,
untuk Maria, Serena, tenis, juga olahraga. Kemenangan yang segera melejitkan
namanya, memberi rasa gembira pada kedua orangtua yang telah lama berpeluh
membantu buah hati mewujudkan impian terdalam. Kemenangan yang juga
membangkitkan semangat Serena untuk waspada pada yesterday afternoon sister, Maria Sharapova.
Dedikasi dan komitmen kedua orangtua Maria Sharapova, Yuri Viktorovich
Sharapov dan Yelena Sharapova, dalam melantan buah hati semata wayang kulitnya
luar biasa. Yelena mengandung Maria ketika tinggal di Gomel, Belarus, di tengah
bayangan bencana nuklir Chernobyl 1986. Sebagai usaha agar buah hati mbrojol dengan selamat, sehat, dan
lengkap, Yelena bersama suaminya memutuskan untuk pindah dari kawasan ini
dengan harapan jabang bayi Maria terhindar dari kanker dan radiasi dampak
nuklir.
Satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka adalah untuk pindah ke bekas
ladang minyak di Siberia Barat. Di sana, tepatnya di kota industri yang suram
bernama Nyagan, Maria memulai perjalanannya. Tepat pada 19 April 1987, buah
hati pertama dan satu-satunya Yuri-Yelena lahir dengan diberi nama Maria
Yuryevna Sharapova [Мари́я Ю́рьевна Шара́пова]. Sebagai kota industri, tak
banyak permukiman ada di kota ini. Yuri dan Yelena memutuskan tinggal di sini
pun lantaran desakan keterbatasan ekonomi.
Keadaan perekonomian keluarga dan rumah tangga Yuri-Yelena memang jauh dari
mewah. Yuri harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan harian sementara
Yelena mengasuh Maria di rumah. Saat itu, Yuri bekerja di ladang minyak,
Tyumen. Tempat kerja Yuri tak jauh dari rumah, namun termasuk lahan bekerja
yang menyeramkan. Suhu udara bisa anjlok hingga minus 40 derajat Celcius
disertai kepungan asap beracun. Yuri rela bekerja dengan risiko tinggi lantaran
bisa mendapat bayaran tinggi.
Ditumbuhkembangkan keadaan seperti itu sejak lahir membentuk kepribadian
Maria sebagai queen: memiliki sisi
lemah serta kuat sekaligus. Sebagai puan, Maria mudah menangis dalam pelukan
orangtua terutama ayah serta sanggup membengkokkan paku baja. Sang bunda,
Yelena, mendidiknya agar bisa menjadi wanita seutuhnya. Sementara sang ayah,
Yuri, banyak melatihkan kekuatan fisik Maria.
Sesudah empat tahun tinggal di lingkungan brutal, Yuri berhasil
mengumpulkan uang secukupnya untuk pindah tempat tinggal lagi ke lingkungan
yang lebih layak. Dia memboyong keluarganya ke pemukiman sebelah selatan dekat
Laut Hitam, Sochi, Krasnodar Krai, Rusia. Di tempat baru ini keluarga Yuri bisa
menjalani keseharian dengan enak. Setidaknya pekerjaan dan keseharian lainnya
tak terlampau berbahaya.
Di tempat baru pula Maria mulai menemukan panggilan nurani. Kebiasaan Maria
nginthili ayahnya setiap hari
membuahkan satu kegemeran yang lantas ditekuni. Yuri dengan senang mengajak
Maria bersama dalam keseharian saat tak bekerja. Sesekali, Yuri gemar bermain
tenis sebagai ajang menjaga kebugaran. Yuri hanyalah recreational tennis player alih-alih professional tennis player, walakin kegemaran inilah yang berhasil
diwariskan pada Maria.
Satu waktu, Maria nginthili
ayahnya yang sedang bermain bersama Yuri Yudkin, seorang pelatih tenis kawakan.
Maria hanya menunggu di pinggir lapangan kala dua laki dewasa itu sibuk dengan
kegiatannya sendiri. Merasa bosan menunggu sendirian tanpa diperhatikan, Maria
mengambil raket tenis dan bola untuk dimainkan di pinggir lapangan. Hal ini mengundang
perhatian dua laki dewasa ini.
“I hit my
first tennis ball on this court when I was 4 years old, so it definitely holds
a special place in my heart,” ungkap
Maria beberapa hari jelang Olimpiade musim dingin di Sochi, tempat bersejarah
baginya, tempat perjuangan mewujudkan impian bermula.
Lebih dari sekedar perhatian, permainan gadis manis berumur empat setengah
tahun mengesankan mereka. Bakat hebat dan minat kuat segera kentara oleh Yudkin
yang telah lama berpengalaman dalam menangani pemain. Yudkin terpukau dengan
cara Maria mengolah informasi yang diperoleh dari pandangannya untuk
menyelaraskan gerakan tangan dan matanya.
Dari sana Yudkin berinisiatif agar kegemaran tenis Maria bukan cuma semata
untuk main-main. Keinginan Yudkin berbalas dengan tanggapan bagus dari Maria.
Sementara Yudkin siap melatih, Maria siap dilatih olehnya. Berlatih bersama
untuk sanggup berunjuk rasa melalui tenis sedari dini.
Saat kemauan kuat sudah dimiliki, segala tantangan, sumbatan, maupun
rintangan bukan hambatan berarti. Ketiadaan alat tenis yang layak untuk dipakai
Maria berhasil diakali. Maria mulai menekuni tenis dengan bermain menggunakan
raket tenis untuk ukuran orang tua dengan pegangan raket tersebut digergaji.
“I was amazed that aged four-and-a-half Maria was
already intellectually mature. She absorbed everything I told or showed her,
and was an exceptionally quick learner. She was a very smart girl, I never had
to repeat instructions twice to her and she could do a spin serve age seven. In
the three years I worked with her she never once told me she was tired.” sebut Yuri Yudkin terkait Maria.
Tak lama waktu merentang, keberuntungan lain menghampiri Maria. Aleksandr
Kafelnikov yang telah menjadin persahabatan cinta yang tulus dengan Yuri
Sharapova, meng-hibah-kan raket bekas
anaknya untuk Maria. Bagi Maria, raket bekas yang diterimanya pada 1991
merupakan barang istimewa.
Anak Aleksandr Kafelnikov yang bernama Yevgeny Aleksandrovich Kafelnikov
merupakan petenis yang berhasil menorehkan sejarah untuk Rusia. Yevgeny
merupakan pemenang dua gelar Grand Slam serta menjadi petenis pertama asal
Russia yang menempati peringkat pertama dunia. Kemauan dan ketekunan yang
terfasilitasi membuat semangat Maria semakin menggelora.
Ketekunan yang ditunjukkan Maria meyakinkan Yuri Yudkin bahwa puan cantik
penggemar Madonna bakal menjadi juara dunia. Sebagai pendorong, Yuri Yudkin dan
Yuri Sharapov sepakat mengajak Maria jalan-jalan ke Moskow, ibu kota Rusia.
Keduanya mengajak Maria untuk menghadiri tennis
clinic yang melibatkan Martina Navrátilová di sana. Martina memberi
pembinaan serius untuk mereka yang hadir. Terlebih sebagai petenis top dunia, dia melihat Maria menampakkan
bakat kentara.
Keberanian Maria meladeni permainan dengan puan yang lebih tua memberi
kesan tersendiri. Petenis yang berkarier sejak 1975 ini menyarankan pada Maria
agar mengikuti pelatihan profesional di Nick Bollettieri Tennis Academy,
Florida, Amerika Serikat. Martina berkata bahwa di sana Maria bisa menerima
pelatihan dan bimbingan yang bagus sebagai jalan menjadi juara dunia.
Nick Bollettieri Tennis Acedemy yang saat itu sudah mulai dikelola oleh IMG
Acedemy merupakan sekolahnya petenis terkenal dunia seperti Andre Kirk Agassi,
Monica Seles, dan Anna Sergeyevna Kournikova. Saran Martina ditanggapi serius
oleh dua Yuri dan Maria. Yuri Sharapov memang tak memiliki ongkos cukup, tetapi
dia terus mengusahakan agar bisa membuka jalan Maria menjadi juara dunia.
Hingga setahun berlalu sesudah pertemuan itu, Yuri belum sanggup
mengumpulkan ongkos cukup, dia rela meminjam US$ 1000 pada orangtuanya (kakek
dan nenek Maria). Pinjaman tersebut hanya dipakai untuk melakukan lawatan ke
negeri Paman Sam serta mengongkosi kebutuhan saat tiba di sana.
Maria kemudian pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1994. Dia hanya bersama
ayahnya yang lucunya tak ada satupun dari kedunya bisa berbahasa Inggris.
Setibanya di Florida, Yuri segera membawa Maria ke akademi yang disarankan
Martina. Sayang lantaran usia Maria saat itu baru tujuh tahun, dia belum
diperkenankan masuk di akademi. Pengelola akademi menyatakan bahwa Maria baru
bisa masuk setahun lagi.
Dengan ongkos pas-pasan (tersisa US$ 700), Yuri tak mau lawatan ke Amerika
Serikat sia-sia. Rick Macci Tennis Acedemy menjadi sekolah pilihan Yuri untuk
menampung Maria sementara. Di Rick Macci Tennis Acedemy Maria mendapat
bimbingan dan pelatihan langsung oleh Rick Macci. Guna mencukupi kebutuhan
harian, Yuri melakukan banyak pekerjaan, mulai pencuci piring hingga pekerja
bangunan.
Walau keduanya sama-sama berada di Amerika Serikat, Maria jarang menjumpai
ayahnya. Kesibukan dengan pekerjaan serta kegiatan Maria di akademi memaksa
keduanya hanya sesekali berjumpa setiap akhir pekan saja. Yuri menyebut
masa-masa ini sebagai ‘a time of
survival’. Maria mengerti keadaan yang dialami dan merasa pengalaman ini
sangat berguna sebagai pelatihan alami dalam bertahan melakoni keseharian.
“When I arrived in America I was young, but I
already knew what I wanted. I think that when you start from nothing, when you
come from nothing, it makes you hungry.” ungkap Maria saat menggambarkan masa-masa brutal untuk survival ini, “My mother and father taught me not to cry. Coming
from an area devastated by a nuclear disaster, I was brought up with the word
perspective drummed into me. If I ever complained to my father he would just
tell me to get some perspective!” pungkasnya.
Dua tahun melalui masa-masa sulit, Maria akhirnya bisa masuk di Nick
Bollettieri Tennis Academy. Rasa kecewa ditolak masuk setahun sebelumnya
terbayar lunas dengan fullscholarship
yang diberikan akademi. Kemampuan yang ditunjukkan Maria saat didaftarkan
membuatnya bisa mendapatkan anugerah ini.
Yuri akhirnya kembali ke Sochi, menjalani keseharian bersama belahan jiwa
sesudah terpisah cukup lama. Menyirnakan rindu pada belahan jiwa meski
menumbuhkan rindu baru pada buah hatinya. Rindu yang ditahan demi kirana terang
yang didamba bersama.
Tinggal jauh dari orangtua saat masih belia di tanah rantau, Maria
menghadapi kesulitan dalam menjalani keseharian. Dia memang mendapatkan
beasiswa, hanya saja lingkungan pertemanan tak membuatnya merasa nyaman. Maria
ditempatkan di asrama bersama anak-anak yang lebih tua darinya. Hal ini
membuatnya kerap mendapat perilaku kejam dan kasar dari mereka.
Ungkapan risakan kerap diberikan bahkan sesekali ditantang berkelahi.
Terlebih Maria belum bisa bercakap lancar menggunakan bahasa setempat.
Perjuangan untuk membaur dengan lingkungan meninggalkan satu kesan tersendiri
dari sini. Maria memang sulit mendapat seorang sahabat.
“I never had the experience of being around other kids
every day, I was never in a normal school, but it’s hard to miss something when
you’ve never really had it.” tukas Maria akan hal ini.
Ketidaknyamanan lingkungan membuat semangat Maria melipat. Saat berlatih
tanding melawan anak-anak satu akademi yang lebih tua, dia tak banyak mengalami
masalah. Ketidaknyaman yang dirasakan tak menggerus kemampuan yang justru
semakin bagus. Maria biasa mengalahkan lawan berusia empat belas tahun saat
dirinya masih berumur sepuluh tahun.
“I’ve been playing against older and stronger
competition my whole life. It has made me a better tennis player, and I’m able
to play and win against this kind of level despite their strength and
experience.” kenangnya.
Kesulitan lain masih dihadapi Maria saat itu.
Perhatian yang kurang dari Yuri dan kepolosan Maria membuat sang ayah harus
bermasalah dengan pengelola akademi. Gara-garanya setiap akhir pekan Maria
rajin main ke akademi milik Rick Macci, tempat berlatihnya dulu. Maria merasa
senang dengan lingkungan di akademi yang pernah ditinggalinya ini.
Kebiasaan tersebut menimbulkan benturan
kepentingan bagi kedua belah pihak akademi. Pasalnya pengelolaan Bollettieri, akademi
Maria, dilakukan secara resmi oleh IMG sedangkan akademinya Rick Macci dikelola
oleh pemiliknya sendiri
dan tak terikat dengan IMG. Meski
begitu, Maria masih mendapat kesempatan belajar di Bollettieri.
Rick Macci yang peduli dengan karier para
pemula, segera menghubungi ayah Maria untuk menyarankan agar buah hatinya
dilatih lebih serius oleh Robert Lansdorp, pelatih kawakan yang tinggal di Los
Angeles. Yuri tak asing dengan nama pelatih ini. Sekitar waktu itu, dia pernah
menyaksikan di televisi saat Tracy Ann Austin dan Petros Sampras (Pete)
mengomentari groundshots luar biasa dari Lindsay Ann Davenport.
Tracy, Pete, maupun Lindsay adalah sama-sama
petenis polesan Robert yang dikenal dengan semangat kerja dan pendekatan
disipilin. “If any of my kids want to learn tennis, then Robert is the man I
would send them to for groundshots – without question.” tanggap Pete pada
Tracy dalam acara tersebut.
Berbekal pengetahuan seadanya dari para petenis
kawakan yang istimewa, Yuri menanggapi serius saran dari Rick Macci. Dia segera
menghubungi Robert Lansdrop agar bersedia melihat permainan putrinya. Pertemuan
selama dua jam pun segera diatur oleh mereka. Keduanya sepakat mengadakan
pertemuan tersebut di kediaman Robert, Los Angeles, California. Hal ini memaksa
Maria agar terbang seorang diri dari Florida.
“Her eyes nearly popped out of her head when she saw the number of balls I
had in my basket.” Kenang Robert saat menggambarkan perjumpaan perdana dengan Maria.
Setelah Maria menampilkan unjuk kebolehan, Yuri bertanya pada Robert mengenai
komentarnya terhadap Maria. “She hits the ball pretty well but her
concentration sucks,” ungkap Robert menanggapi.
Pertemuan yang rencananya hanya dua jam justru
mengalami kemuluran waktu hingga dua pekan. Bagi Robert, Maria adalah puan
mengagumkan dengan anugerah istimewa. Anugerah melimpah Maria membuat Robert
bingung untuk memutuskan puan Aries ketika bermain: dengan tangan kanan
atau kiri. Pasalnya setiap dicoba, Maria selalu bisa menunjukkan penampilan
mewanan dengan kedua tangan.
Setelah melalui serentetan percobaan, Robert
lalu menyarankan agar Maria menekuni permainan dengan tangan kanan. Hal ini
lantaran Robert melihat permainan Maria tampak lebih alami saat menggunakan
tangan kanan. Saran tersebut terus digunakan oleh
Maria sepanjang kariernya sebagai petenis.
Robert dikenal sebagai pelatih yang jarang
memuji penampilan anak asuhnya, walakin perlakuan beda untuk Maria. Pesona
permainannya sanggup meluluhkan Robert. Pelatih
pelit memuji pun dengan mudah menyatakan,
“She is a special player and a special person.”
Sebagai pelatih yang menanangi Maria, Robert
juga memiliki hubungan bagus dengan Yuri.
Keduanya tak pernah memiliki masalah berarti. Interaksi mereka cenderung lekat
sebagai sahabat personal alih-alih mitra profesional.
November 2000 menjadi perlintasan Maria melakoni keseharian baru. Namanya
mulai mendapat perhatian dari khalayak setelah dia memenangkan kejuaran Eddie
Herr untuk tingkat usia di bawah 16 tahun. Perhatian lebih didapatnya lantaran
saat memenangkan kejuaraan di Florida itu dia baru berumur 13 tahun.
Januari 2002, Maria semakin mempesona. Dia berhasil menjadi puan termuda
yang pernah mencapai babak final kejuaraan junior Australian Open. Kala itu
umurnya baru 14 tahun 9 bulan. Dua bulan merentang, namanya masuk ke deretan
peringkat dunia junior dengan menempati urutan ke-535. Tahun 2002 juga dia
berhasil mencatatkan prestasinya sebagai runner-up
kejuaraan junior Wimbledon.
Segala daya dan upayanya sepanjang tahun itu berhasil mengangkat
peringkatnya. Akhir tahun 2002, Maria menempati ururan ke-183, naik 352
tingkat. Bermodalkan rekam jejak menawan, Maria mulai bermain dua sisi setahun
berikutnya. Dia mulai unjuk kebolehan di tingkat senior melalui kejuaraan WTA tour. Selain itu, dia juga terus
menambah pengalaman dengan tetap bermain di tingkat junior.
Prestasi di tingkat senior belum tampak wah, walakin di tingkat junior
Maria berhasil menjuarai Australian Open. Maria perlahan menapaki peringkat
untuk lebih tinggi. Pertengahan tahun, ialah bulan Juni, Maria berhasil
menembus jajaran peringkat 100 besar. Enam bulan berselang, di akhir tahun, dia
menahbiskan dirinya berada di peringkat ke-32.
Peringkat terakhir itu menjadi modalnya untuk yakin diri melangkah ke
tingkat senior. Langkah Maria bertanding di tingkat senior tetap disertai
peningkatan penampilan yang membuatnya tak begitu saja ndelesor. Malah hanya dalam jangka waktu lima bulan, Maria berhasil
menembus jajaran peringkat 20 besar senior.
Dua bulan berselang, Maria menghentak khalayak. Penampilannya di Wimbledon
membuat banyak mata terbelalak. Memulai kejuaraan ini dengan semat unggulan
ke-13, Maria berhasil membuat perjuangan Serena Williams meraih hat-trick Wimbledon kandas. Kemenangan
bersejarah tersebut selain mengangkat martabat, juga meningkatkan peringkat.
Maria berhasil menempati peringkat keempat.
Menjadi satu kewajaran saat penampilan menawan menimbulkan keinginan liyan untuk membandingkan. Maria pun
demikian. Penampilan menawannya mengundang decak kagum yang membuatnya meraih
semat sebagai pelanjut Anna Kournikova, sesama petenis asal Rusia. Walau
begitu, Maria dengan tegas menolak semat ini dengan mengungkapkan, “I'm not the next anyone, I'm the first
Maria Sharapova.” Satu ungkapan yang kemudian mengubah sematnya menjadi Maria Sharapova is not the next anyone.
Bakat hebat, dukungan penuh kedua orangtua, hubungan harmonis orangtua,
ketekunan saat berlatih, kepedulian lingkungan tempatnya tumbuh-kembang, berpadu
dengan semangat kuat untuk meraih impian sebagai petenis dunia. Impian untuk
menahbiskan diri sebagai Maria Sharapova, yang pertama dan satu-satunya.
Maria merasa beruntung saat di Bollettieri fisiknya dilatih keras setiap
hari selama empat jam. Hal ini memberinya kemampuan untuk bersaing secara fisik
dalam pertarungan meraih mahkota kejuaraan.
“She is extremely strict, disciplined and a
perfectionist. She plays tennis like she’s preparing for an attack, a battle.
Every shot has a purpose. She runs for every single ball, there’s no monkey
business, she will smile but it’s a bloody damn business.” ungkap salah satu pelatih Maria saat di Bollettieri.
Agustus 2005, saat usianya belum genap 20 tahun, Maria berhasil menahbiskan
namanya di urutan teratas peringkat dunia. Satu impian yang dipendam sejak
lama.
“If you don’t want to be number one in the world then
why even start?” tegas Maria, “Why would you want to be number 20, and then when you
get to number 20 it’s like you don’t want to be number one, you know? It’s like
shoot for the moon, if you miss, you’ll still be amongst the stars, so why not
want to become number one?” tandas pemilik 32B ini.
Tracy Austin, yang mengetahui dengan bagus
perjuangan Maria berserta ayahnya, mengungkapkan
testimoni terhadapnya.
“Some kids have it easy, you have to ask
where the drive is coming from. But Maria’s background has definitely
contributed to her determination on court. Talk about having a will and drive
to win!” ungkap Tracy yang telah memenangkan
tiga gelar Grand Slam sepanjang berkarier.
Karier Maria dalam dunia tenis berjalan konsisten. Bekapan cedera yang
memaksanya menepi, rasa lara kala gagal mengandaskan lawan, serta ragam macam
cacian dan sanjungan, dihadapinya dengan laras. Paras cantiknya mempesona,
walakin dia lebih berhasrat pada tenis ketimbang menata parasnya semakin manis.
“Tennis is
what has made me what I am, but what am I supposed to do? It’s not my fault
that I’m beautiful, beauty sells and I’m not going to make myself deliberately
ugly am I?” ungkap
penggila sinema Pearl Harbor ini.
Sanjungan tak membuat Maria melayang. Begitu juga cibiran tak membuat
dirinya tumbang. Maria tetaplah Maria. Seorang penghibur yang membuat orang
lain gembira. Kehadirannya Maria selalu dirindukan. Namanya terus dielu-elukan. Dan, dia tetaplah wanita,
yang selalu sulit untuk dimengerti meski tetap bisa dinikmati. Untuk saat ini,
hingga saat nanti.