Sekarang kita dalam situasi pemilihan kepala daerah
(Pilkada) di Jakarta, tapi yang menjadi perhatian adalah seakan-akan suasana
sosial dan suasana batin yang sangat mengkhawatirkan di Jakarta, yaitu dengan
munculnya isu-isu suku, agama, ras, antar golongan (SARA), serta fanatisme
agama dan hal-hal yang dikaitkan dengan multi power. Kami mengundang Nong Darol
Mahmada yang adalah anggota Nahdlatul Ulama (NU).
Nong Darol Mahmada mengatakan sangat sedih dengan
kondisi sekarang yang semestinya kita sebagai negara sudah maju sudah tidak
membicarakan lagi atau memperdebatkan lagi isu suku, agama, ras, dan
antar-golongan (SARA) yang sangat sensitif.
Sebenarnya dalam kasus, misalnya Ahok yang Tionghoa,
tidak akan ada penolakan begitu besar kepada etnis ini kalau tidak
dimobilisasi. Itu karena sebenarnya kelompok masyarakat yang ditolak oleh
masyarakat Indonesia bukan Cina, tetapi adalah kelompok ISIS.
Nong Darol Mahmada melihat ini bukan hanya soal Ahok,
ini soal Indonesia. Soal bagaimana kita mempertahankan kebhinnekaan kita, soal
kita mempertahankan bahwa berbeda itu biasa. Ini semua untuk Indonesia yang
Bhinneka. Indonesia dikenal oleh dunia sebagai negara mayoritas umat Islam yang
memiliki corak berbeda-beda namun tetap satu.
Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Wimar
Witoelar sebagai pewawancara dengan nara sumber Nong Darol Mahmada.
Dalam pemilihan kepala
daerah (Pilkada) di Jakarta terdapat tiga calon, sekarang tinggal dua, yaitu
Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan. Saya menangkap bahwa pilihan orang
tidak berdasarkan atas kemampuan masing-masing calon dan bukan juga harapan,
tapi ketakutan bahwa agamanya itu disalah gunakan. Bagaiamana komentar Anda?
Sebenarnya sangat sedih
juga dengan kondisi sekarang semestinya kita sebagai negara sudah maju sudah
tidak membicarakan lagi atau memperdebatkan lagi isu suku, agama, ras, dan
antar-golongan (SARA) yang sangat sensitif.
Saya melihat bahwa karena
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak bisa dikalahkan dengan program dan prestasi,
maka yang diserang soal SARA dan kebetulan dalam diri Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) memiliki double minority, yaitu dia kristen dan juga Cina, itu
luar biasa Handicap-nya.
Yang kita sayangkan adalah
kemudian pihak lawan Ahok, katakanlah itu benar-benar memanfaatkan posisi itu,
dan itu menurut saya benar-benar tidak mendidik masyarakat. Pilkada itu
seharusnya kita jadikan ajang edukasi publik, pendidikan politik, sekarang saya
melihat sebaliknya.
Orang-orang itu betul-betul
memanfaatkan yang namanya sentimen dan emosi masyarakat yang dulunya tidak.
Saya pribadi tidak mempredisikan bahwa ini akan terjadi seperti ini, maksudnya
emosi masyarakat, dan itu yang paling sangat primordial yaitu soal agama,
ketuhanan, surga-neraka. Menurut saya, Indonesia masih diangap sebagai negara,
yang dalam tanda kutip, masih relatif pendek umurnya dalam membangun transisi
demokrasi yang semu, tetapi ini seperti dimentahkan lagi.
Informasi dari Pricewaterhouse
Coopers, proyeksi ekonomi pada tahun 2030 nanti akan menjadi lima negara
super power dalam bidang ekonomi berdasarkan index-indexnya. Mereka adalah
nomor satu China, kedua India, ketiga Amerika, keempat Rusia, dan nomor lima
Indonesia. Kalau dikacaukan oleh isu SARA, kita bisa mundur 50 tahun. Isu SARA
ini justru dihembuskan oleh orang-orang yang sebetulnya pluralis, demokratis,
dan berpendidikan. Mereka menggunakan kebodohan masyarakat dengan menanamkan
pikiran yang salah.
Saya sebenarnya tahu
siapa-siapa saja aktor di belakang semua ini, di situ saya merasa sedih juga.
Kita seharusnya mengedukasi masyarakat agar pintar, kok malah membuat
masyarakat menjadi bodoh. Namun dengan adanya putaran kedua Pilkada,
saya merasa kagum pada masyarakat. Yang dipikirnya masyarakat bisa dipengaruhi
dengan cara seperti ini ternyata mayoritas malah tidak. Mungkin yang mayoritas
itu masih setengah-setengah, tapi saya optimis bisa menarik mereka untuk tidak
atau jangan mau dibodohi pakai isu SARA.
Misalnya, kita
terus-menerus berkutat pada isu itu maka akhirnya menjadi tidak eksklusif. Kalau
sudah begitu, fokusnya berubah menjadi bukan untuk mencari pemimpin atau
pelayan publik yang kompeten tapi malah memilih yang nyaman. Kita tidak tahu
sampai kapan nyamannya, pertanggung jawabannya bagaimana, kita harus
betul-betul rasional. Satu-satunya cara adalah jangan persoalan SARA ini
ditonjolkan.
Apakah isu Agama itu begitu
kuat sampai mengabaikan kesejahteraan masyarakat itu sendiri karena mereka yang
protes juga tinggal di Jakarta, tidak mau Jakarta banjir, dan macet?
Saya pribadi tidak bisa menyalahkan
atau menganggap salah orang yang mengambil posisi itu. Karena itu saya
mengatakan bahwa ini soal kenyamanan. Soal bahwa yang namanya agama itu kita
merasa tenang, tidak perlu rasional. Tetapi justru itu tantangan bahwa tidak
bisa juga seperti itu.
Seperti tulisan Burhanuddin
Muhtadi kemarin yang mengupas fenomena Pilkada DKI bahwa antara hati dan kepala
itu beda. Jadi kalau kepala mengatakan "survey 70% mengakui kinerja kepala
daerah yang sekarang" tapi dalam hati terlihat pada saat putaran pertama
tidak 70% tapi 40-an. Antara hati dan kepala itu berbeda. Namun itu belum tentu
yang 20 persen juga begitu. Itu menunjukkan faktor anomali.
Ini juga sebenarnya
dibuktikan dengan survei Wahid Foundation beberapa bulan lalu. Pada aksi damai
massa kedua, kita semua terkaget-kaget ketika ada yang menyebutkan sampai
jutaan jumlahnya. Jumlah yang sangat banyak. Tapi kita juga harus fair untuk
melihat bahwa itu semua ada upaya mobilisasi, ada yang menggerakkan, dan ini
terkait dengan politik Pilkada. Itu disampaikan secara jelas oleh Saiful
Munjani, berdasarkan hasil survei juga ini lagi-lagi bicara soal fakta dan
data.
Sebenarnya dalam kasus,
misalnya Ahok yang Tionghoa, tidak akan ada penolakan begitu besar kepada etnis
ini kalau tidak dimobilisasi. Itu karena sebenarnya kelompok masyarakat yang
ditolak oleh masyarakat Indonesia bukan Cina, tetapi adalah kelompok ISIS.
Artinya, masyarakat Indonesia tidak menginginkan Indonesia berdasarkan pada
negara Islam. Dalam konteks kita melihat penolakan terhadap pemimpin Cina ini
tidak akan terjadi kalau tidak ada mobilisasi. Ini cara-cara politik yang kita
menyayangkan orang-orang pintar dibelakangnya kok memakai cara seperti ini.
Menurut Anda sebagai tokoh
berlatar belakang Islam, apakah ada isu yang benar-benar agama sehingga kalau
Gubernur Ahok terpilih lagi maka umat islam akan terancam?
Tidak, justru menurut saya,
terpilihnya lagi Ahok justru akan menguntungkan. Saya pernah menulis tentang
Ahok sebagai pemimpin Islami dan artikelnya menjadi viral. Pasti ada yang Pro
dan Kontra, tapi bisa saya pertanggungjawabkan semua itu bahwa Ahok bisa
dibilang sebagai pemimpin yang Islami.
Kita harus rendah hati melihat
bahwa Ahok memimpin dengan amanah, tidak pernah korupsi. Kedepannya saya tidak
tahu tapi sampai sekarang saya bisa memegang bahwa Ahok itu amanah, tabligh,
fathannah. Itu sifat-sifat yang menurut Islam merupakan ciri kepemimpinan
umat Islam.
Dari segi pembangunan
fisik, jangan jauh-jauh, kemarin dia meresmikan pembangunan Kalijodo. Dulu image
Kalijodo jelek sekali, sebagai tempat trafficking. Dibanding
gubernur-gubernur Jakarta sebelumnya, Ahok yang Cina, Kristen, bisa mengubah
Kalijodo menjadi Taman dan ruang terbuka publik. Ali Sadikin boleh dibilang
sebagai Pembangun Fondasi. Pembangunan selanjutnya mestinya dilanjutkan oleh
gubernur-gubernur setelah Bang Ali.
Yang lebih kasatmata lagi,
baru pada masa pemerintahan Ahok kita bisa mendengar yang namanya Masjid Raya
DKI Jakarta yang sebentar lagi diresmikan di Daan Mogot. Ini berbeda dengan
Istiqlal karena Ahok merasa bahwa DKI Jakarta perlu punya masjid raya sendiri.
Ini juga berbeda dengan Masjid di Balai Kota Jakarta, yang juga diresmikan oleh
Ahok. Jadi kalau kita melihat secara fisik saja, bangunan yang dibangun untuk
umat Islam yang paling kelihatan jelas pada masa pemerintahan Ahok.
Ahok juga sangat concern
dengan tokoh islam yang oleh umat Islam sendiri sering diabaikan. Misalnya
Marbot (penjaga mesjid), dulu sebelum Ahok Marbot ini tidak diperhatikan,
sekarang diberangkatkan Umrah. Bahkan tiap bulan jumlah yang diumrahkan
bertambah. Hal-hal seperti itu yang kadang saya pribadi berharap umat Islam
masih punya pandangan bahwa dengan segala hasil kerja Ahok itu nantinya bisa
tersentuh.
Sebenarnya umat Islam yang
teruntungkan kalau ia menjadi pemimpin. Itu juga karena dia mengatakan, “Saya ini menciptakan keadilan sosial.” Yang kebetulan warga dia itu mayoritas
umat islam. Jadi dia menjadi manajer, harus melakukan A dan B, dan yang
merasakan hasilnya umat Islam.
Sangat sederhana
sebenarnya, tapi dibuat rumit oleh orang-orang yang haus kekuasaan jika kita
lihat yang memimpin proses ini bukan orang bodoh. Ini demi kepentingan politik
dan demi kekuasaan. Apakah ini akan memberikan dampak permanen, atau setelah
Pilkada nanti akan kembali menjadi toleran?
Pastinya setelah pesta
demokrasi usai akan kembali ke ritme awal lagi. Namun kalau dalam politik, itu
tidak berhenti sampai di situ. Dampaknya akan merambah ke kota-kota lain dan
kota kita sendiri juga.
Publik bisa menilai sendiri
siapa orang-orang dibalik Anies dan Sandi. Mereka bersilaturahmi ke FPI,
didukung PKS, yang kita tahu terus-menerus memperjuangkan Negara Islam. Jakarta
itu sebagai miniatur Indonesia, kalau mempunyai pemimpin seperti ini saya tidak
tahu masa depannya.
Saya pribadi melihat ini
bukan hanya soal Ahok, ini soal Indonesia. Soal bagaimana kita mempertahankan
kebhinnekaan kita, soal kita mempertahankan bahwa berbeda itu biasa. Ini semua
untuk Indonesia yang Bhinneka.
Kita Indonesia sangat kuat
karena Kebhinnekaan. Namun banyak yang tidak sadar bahwa Kebhinnekaan itu harus
dirawat.
Indonesia dikenal oleh dunia
sebagai negara mayoritas umat Islam yang memiliki corak berbeda-beda namun
tetap satu.
Note
Artikel ini diterbitkan melalui situs PerspektifBaru.com pada 07 Maret 2017. [lihat]