— yang berjuang, yang terkenang
Mu'awiyyah bin Abi Sufyan merasa
lega setelah Ali bin Abi Thalib terbunuh di Kufah. Lawan politik gubernur Syam
saat itu sudah wafat. Tak ada battle-mate
yang diperhitungkan lagi. Ali terbunuh pada waktu subuh, Jumat 17 Ramadhan
40 H, oleh Abdurrahman bin Muljam. Pasca wafatnya Ali, Mu'awiyyah bin Abi
Sufyan segera mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa tunggal, Raja. Setelah
itu Mu’awiyyah cepat-cepat mengangkat anaknya yang bernama Yazid menjadi putra
mahkota yang akan mewarisi kerajaan.
Yazid adalah anak dari seorang ibu
bernama Maysun dari suku baduwi (pedalaman) yang merupakan salah satu selir
Mu’awiyah. Dia orang Nasrani-Yakobus dan Nasionalis yang tak betah hidup di
istana lalu kembali ke habibatnya di pedalaman. Dengan diangkatnya Yazid
sebagai putra mahkota, praktis Yazid segera menjadi raja sesudah Mu’awiyyah
wafat. Tak lama merentang waktu, dia segera ber-manuver sesudah mendapat semat sebagai raja.
Yazid bergegas memerintahkan
beberapa orang yang berangkat dari Damaskus ke seluruh provinsi untuk mengambil
bai'at (sumpah setia) dari tokoh-tokoh yang ada di sana. Provinsi
tersebut antara lain ke Madinah, kediaman Husain bin Ali bin Abi Thalib. Di
Madinah sendiri terdapat beberapa tokoh dengan pengaruh kuat, seperti Abdullah
bin Umar bin Khattab. Abdullah bin Umar yang tidak mau ikut-ikutan berpolitik
mau bai'at lantaran di bawah
intimidasi. Hanya saja, Husain memilih langkah lain dengan menunda bai'at-nya.
Di tengah penundaan bai’at, Husain bersama keluarga dan
beberapa pengikut meninggalkan Madinah menuju Makkah. Perjalanan ‘menjemput
takdir’ berlangsung dalam gelapnya malam. Ketika rombongan mereka memasuki kota
Makkah, orang pada datang untuk haji karena kebetulan sedang musim haji. Begitu
Hari Tarwiyyah tanggal 08 Dzulhijjah, ketika jemaah haji pergi ke Mina,
rombongan tersebut keluar dari Makkah untuk menuju Kufah.
Dalam perjalanan Makkah–Kufah,
rombongan Husain berjumpa seseorang yang menyarankan agar tidak ke Kufah.
Menurut orang tersebut, watak orang Kufah tidak konsisten, mudah berubah dalam
tekanan. Orang tersebut menyarankan agar rombongan Husain ke Yaman saja, yang
orangnya konsisten dan jauh dari Damaskus, ibu kota Kerajaan Dinasti Umayyah.
Saran itu ditolak dengan santun oleh Husain.
Husain kemudian berjumpa dengan
penyair terkenal sejak era Ali, Farazdaq, yang menyarankan serupa. Namun Husain
keukeuh melanjutkan perjalanan ke Kufah dengan menunjukkan bukti-bukti
berupa surat yang diterima beliau dari Kufah. Inti surat tersebut adalah memanggil
Husain ke Kufah, untuk ikut serta berjuang melawan Yazid. Bukan melawan seorang
Yazid sebenarnya, walakin melawan kelaliman yang dipentaskan oleh seorang raja dadakan.
Saran dari dua orang yang dijumpai
di perjalanan tak menghalangi langkah Husain beserta rombongan. Mereka pun
tetap melanjutkan perjalanan menuju Kufah. Perjalanan dilanjutkan terus hingga
sampai di Padang Karbala. Di padang Karbala, mereka dihadang oleh pasukan
militer kerajaan. Pasukan militer tersebut berjumlah 400 tentara (terdapat
versi lain), yang dipimpin oleh Jenderal Umar bin Sa'ad bin Abi Waqash. Upaya
untuk menghadang rombongan Husain ini diperintahkan oleh gubernur Kufah yang
baru, Ubaidillah bin Ziyad yang merupakan salah satu bagian koalisi Yazid.
Setelah saling ‘menyapa’ sejenak,
terjadi peperangan yang tidak seimbang. 54 orang dari pihak Husain melawan 400
pasukan militer dari kerajaan. Semua pasukan dari pihak Husain dan
putra-putranya meninggal kecuali empat orang. Mereka adalah Husain sendiri dan
putra beliau Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin sendiri bisa selamat karena
demam, sehingga tidak keluar tenda. Selain mereka, Fatimah (istri Husain) dan
Zainab (adik Husain) juga selamat.
Sebenarnya sejak awal perang, bisa
saja Husain terbunuh. Namun tidak ada yang berani mengeksekusi beliau karena
ragu-ragu. Bahkan ketika waktu sholat, perang dihentikan untuk sholat
berjamaah. Dalam setiap sholat, tidak ada yang berani menjadi imam sholat.
Semua sepakat imam sholatnya adalah Husain. Sampai akhirnya seorang bernama
Dzil Jausyan yang paling berani mengeksekusi Husain.
Dzil Jausyan menarik Husain dari
kudanya. Begitu Husain jatuh, dia menaiki tubuh Husain, menginjak, kemudian
menebas leher Husain. Tubuh Husain akhirnya menyatu dengan tanah Karbala
setelah turut diinjak pula oleh kuda. Kepala Husain di tancapkan di tombak,
kemudian di bawa ke Kufah untuk diarak keliling Kufah bersama keluarganya yang
selamat (Ali Zainal Abidin, Fatimah, Zainab).
Dari Kufah kepala Husain kemudian di
bawa ke Damaskus menggunakan sebuah kereta. Kereta tersebut memuat kepala
Husain, Fatimah, Zainab, dan Ali Zainal Abidin. Sampai di Damaskus, kepala
Husain di pajang di depan istana Yazid. Setiap orang yang lewat di suruh
mencaci di depan kepalanya. Yazid tampak bergelora dalam melampiaskan amarahnya
pada Husain sehingga merasa dia berhak orang lain memiliki gelora yang sama
dengannya.
Setelah cukup lama di Damaskus,
Fatimah meminta izin kepada Yazid untuk kembali ke Madinah bersama keluarga dan
kepala Husain. Permintaan Fatimah dipenuhi. Namun dalam perjalanannya menuju
Madinah, Fatimah disusul oleh utusan Yazid agar mencegah ke Madinah dan
dibelokkan menuju Mesir.
Hal tersebut dilakukan oleh Yazid
karena takut kalau kepala Husain sampai di Madinah justru menumbuhkan semangat
perlawanan hebat kepada Yazid. Yazid menyadari bahwa pengaruh Husain tak akan
mati meski jasad-nya tak lagi berada
di Bumi. Maka kepala Imam Husain berada di Kairo, Mesir. Sedangkan Ali Zainal
Abidin, dipulangkan ke Madinah.
Satu kekejaman luar biasa berhasil
dilakukan oleh Yazid beserta para pembokat setianya. Satu peristiwa yang layak
diperingati sepanjang masa oleh seluruh manusia. Banyak pelajaran yang bisa
diperoleh dari tragedi kelam ini. Antara lain agama tidak akan besar tanpa ada
perjuangan hingga pertumpahan darah. Apapun agamanya, tak sebatas satu agama
saja. Islam bisa besar karena ada
pengorbanan, Katholik, Protestan, Budha, Hindu, Yahudi, dsb dst.
Dalam Katholik, seseorang bernama
Petrus beserta beberapa pengikutnya yang tidak seberapa, dikejar-kejar tentara
Kerajaan Romawi. Mereka berhasil lolos dari kepungan dan melepas lelah dalam
gelapnya malam di suatu tempat yang sudah aman dari kejaran tentara Kerajaan
Romawi. Tiba-tiba Petrus ‘melihat’ Yesus (arabic
: ‘Isa) berjalan melintasinya. Seolah tidak percaya dengan pandangannya,
Petrus menegur Yesus, yang bagi Petrus sudah disalib beberapa tahun sebelumnya.
Konon Yesus menjawab kalau dirinya
mau ke Roma untuk disalib kedua kalinya. Petrus memutuskan malam itu juga
kembali ke Roma, meski sempat diprotes pengikutnya. Petrus merasa Yesus
menginginkannya untuk kembali ke Roma. Sekembalinya Petrus ke Roma, tentara
Kerajaan Romawi langsung menangkapnya. Dia langsung dijatuhi hukuman salib,
persis seperti ‘penampakan’ Yesus yang dilihatnya.
Petrus menghadapi hukuman dengan
tenang dan meminta satu hal yang harus dikabulkan: dia ingin agar disalib
dengan posisi kepala di bawah. Menurutnya, tidak pantas baginya disalib dalam
posisi yang sama dengan Yesus. Yesus sendiri konon ber-nubuwat bahwa
pada pundak Petrus-lah akan dibangun Gereja Yesus. Oleh Gereja Katholik, Petrus
diakui sebagai Paus Pertama. Gereja Katholik pun dibangun atas fondasi pengorbanan
St. Petrus.
Dalam Islam sendiri kali pertama nyawa melayang dalam perjuangan agama
dilakukan oleh seorang puan. Sumaiyyah, istrinya Yasir dan ibunya ‘Ammar,
dibunuh oleh Abu Jahal lantaran tak mau mengikuti ajaran yang dianut Abu Jahal.
Yasir, sang suami, juga mengalami peristiwa serupa istrinya. Yasir tak mau
menerima paksaan keyakinan yang membuatnya rela nyawanya dihabisi oleh Abu
Jahal. Tinggallah anak Sumaiyyah dan Yasir, ‘Ammar yang menunggu giliran.
Berbeda dengan orangtuanya, ketika
'Ammar hendak dieksekusi dia pura-pura murtad. Sekedar kepura-puraan lantaran
dalam kalbunya masih tetap berserah pada Ilahi-Rabbi
(arabic : Islam). Setelah batal
dieksekusi, ‘Ammar segera menemui Muhammad untuk menceritakan peristiwa ini.
Muhammad memberi apresiasi terhadap keputusan ‘Ammar. Tak perlu ngoyo dalam mementaskan keyakinan.
Peristiwa yang terjadi pada keluarga
Sumaiyyah, Yasir, dan ‘Ammar memberi pesan pada kelompok laki yang merasa Islam agar tak gede rasa telah
berkorban. Sejarah menunjukkan bahwa darah mengalir bukan dari pihak laki
walakin dari puan. Baru kemudian disusul banyaknya darah lain dari laki,
seperti Hamzah bin Abdul Muthalib. Semua darah yang mengalir demi tegaknya Islam.
Begitu juga dengan darah Husain,
yang diperingati haulnya setiap 10 Muharram, tidak sia-sia. Islam bisa sampai ke tanah Jawi (Nusantara: kepulauan Indonesia,
kepulauan Philipina, dan semenanjung Malaya) antara lain sebab wafatnya Husain.
Begitu keluarga Husain, dibenci oleh penguasa saat itu, maka ada salah satu keturunannya,
yakni Ali al-Quraidhi hijrah dari Kufah ke Madinah.
Ali al-Quraidhi tak menjejak dua
kakaknya yang terjun ke dunia politik, Musa al-Kadzim dan Isma’il. Ali
al-Quraidhi memilih menekuni arena keilmuan. Ali Al-Quraidhi berputra Isa yang
berputra Ahmad. Ahmad kemudian hijrah dari Madinah ke Yaman. Dari pilihan
inilah Ahmad dijuluki al-Muhajir sehingga akrab disapa Ahmad al-Muhajir. Dari
pilihan ini pulalah keturunan Ali dan Fathimah tumbuh dan berkembang hingga
sampai ke Indocina dan Nusantara.
Tidak ada perjuangan yang sia-sia.
Perjuangan Husain yang sanggup bertahan hingga hembusan nafas terakhir
menimbulkan dampak beruntun. Diantara dampak beruntunnya ialah mempercepat Islam sampai ke beragam penjuru planet
Bumi, termasuk Nusantara. Seandainya tidak ada tragedi Karbala barangkali
sejarah lain ceritanya. Barangkali Islam
telat masuk ke Nusantara.
Wajar jika peristiwa Karbala layak
diperingati. Kita memang tak bisa kembali ke masa-masa kelam saat kekejaman itu
terjadi. Tapi kita bisa terus memperingati peristiwa bersejarah karena selalu
ada hikmah yang bisa digali. Boleh
saja hikmah yang kita ambil berbeda,
namun bukankan hal ini semakin memperkaya? Tak semua manusia harus sama dalam
menggali makna sebuah peristiwa.
Tragedi Karbala bukan hanya layak
diperingati oleh ummat Islam, apalagi
kelompok Syi’ah. Tragedi Karbala juga tak hanya layak diperingati oleh masyarakat di tanah Meditterania,
apalagi warga negara setempat saja. Tragedi Karbala merupakan salah satu
peristiwa tragis peradaban manusia. Sekelompok pasukan militer ngoyo membela kelaliman penguasanya saat
itu hingga tanpa merasa cemen
menghabisi serombongan orang biasa saja.
Lebih dari itu, pembunuhan terhadap
Husain adalah satu perilaku kejam. Seorang yang sudah tak didampingi rombongan besar
menghadapi pasukan militer terlatih. Saat raga seorang itu mulai kehabisan
semangat, lawan dengan tega memenggal kepala, menginjak badannya, lalu mengarak
kepala yang dipenggalnya. Tak sampai disitu, bahkan kepala yang tak lagi
bernyawa pun menjadi sasaran cacian yang dipaksakan.
Mengenang Karbala, titik tolak
menuju sikap tenggang rasa, toleransi, dan mengapresiasi warisan sejarah. Tanpa
memandang Husain sebagai putra istimewa, dia tetaplah panutan yang patut dianut
dan perjuangannya pantas diperjuangkan. Sialnya, saat sebagian orang dengan
syahdu memperingati peristiwa itu, sebagian orang justru berbuat anarki merisak
suasana. Mereka yang berbuat anarki, kira-kira lebih pantas dianggap menjejak
langkah Husain atau Yazid jika dikaitkan dengan peristiwa Karbala?