Karbala


— yang berjuang, yang terkenang

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice;

Mu'awiyyah bin Abi Sufyan merasa lega setelah Ali bin Abi Thalib terbunuh di Kufah. Lawan politik gubernur Syam saat itu sudah wafat. Tak ada battle-mate yang diperhitungkan lagi. Ali terbunuh pada waktu subuh, Jumat 17 Ramadhan 40 H, oleh Abdurrahman bin Muljam. Pasca wafatnya Ali, Mu'awiyyah bin Abi Sufyan segera mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa tunggal, Raja. Setelah itu Mu’awiyyah cepat-cepat mengangkat anaknya yang bernama Yazid menjadi putra mahkota yang akan mewarisi kerajaan.

Yazid adalah anak dari seorang ibu bernama Maysun dari suku baduwi (pedalaman) yang merupakan salah satu selir Mu’awiyah. Dia orang Nasrani-Yakobus dan Nasionalis yang tak betah hidup di istana lalu kembali ke habibatnya di pedalaman. Dengan diangkatnya Yazid sebagai putra mahkota, praktis Yazid segera menjadi raja sesudah Mu’awiyyah wafat. Tak lama merentang waktu, dia segera ber-manuver sesudah mendapat semat sebagai raja.

Yazid bergegas memerintahkan beberapa orang yang berangkat dari Damaskus ke seluruh provinsi untuk mengambil bai'at (sumpah setia) dari tokoh-tokoh yang ada di sana. Provinsi tersebut antara lain ke Madinah, kediaman Husain bin Ali bin Abi Thalib. Di Madinah sendiri terdapat beberapa tokoh dengan pengaruh kuat, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab. Abdullah bin Umar yang tidak mau ikut-ikutan berpolitik mau bai'at  lantaran di bawah intimidasi. Hanya saja, Husain memilih langkah lain dengan menunda bai'at-nya.

Di tengah penundaan bai’at, Husain bersama keluarga dan beberapa pengikut meninggalkan Madinah menuju Makkah. Perjalanan ‘menjemput takdir’ berlangsung dalam gelapnya malam. Ketika rombongan mereka memasuki kota Makkah, orang pada datang untuk haji karena kebetulan sedang musim haji. Begitu Hari Tarwiyyah tanggal 08 Dzulhijjah, ketika jemaah haji pergi ke Mina, rombongan tersebut keluar dari Makkah untuk menuju Kufah.

Dalam perjalanan Makkah–Kufah, rombongan Husain berjumpa seseorang yang menyarankan agar tidak ke Kufah. Menurut orang tersebut, watak orang Kufah tidak konsisten, mudah berubah dalam tekanan. Orang tersebut menyarankan agar rombongan Husain ke Yaman saja, yang orangnya konsisten dan jauh dari Damaskus, ibu kota Kerajaan Dinasti Umayyah. Saran itu ditolak dengan santun oleh Husain.

Husain kemudian berjumpa dengan penyair terkenal sejak era Ali, Farazdaq, yang menyarankan serupa. Namun Husain keukeuh melanjutkan perjalanan ke Kufah dengan menunjukkan bukti-bukti berupa surat yang diterima beliau dari Kufah. Inti surat tersebut adalah memanggil Husain ke Kufah, untuk ikut serta berjuang melawan Yazid. Bukan melawan seorang Yazid sebenarnya, walakin melawan kelaliman yang dipentaskan oleh seorang raja dadakan.

Saran dari dua orang yang dijumpai di perjalanan tak menghalangi langkah Husain beserta rombongan. Mereka pun tetap melanjutkan perjalanan menuju Kufah. Perjalanan dilanjutkan terus hingga sampai di Padang Karbala. Di padang Karbala, mereka dihadang oleh pasukan militer kerajaan. Pasukan militer tersebut berjumlah 400 tentara (terdapat versi lain), yang dipimpin oleh Jenderal Umar bin Sa'ad bin Abi Waqash. Upaya untuk menghadang rombongan Husain ini diperintahkan oleh gubernur Kufah yang baru, Ubaidillah bin Ziyad yang merupakan salah satu bagian koalisi Yazid.

Setelah saling ‘menyapa’ sejenak, terjadi peperangan yang tidak seimbang. 54 orang dari pihak Husain melawan 400 pasukan militer dari kerajaan. Semua pasukan dari pihak Husain dan putra-putranya meninggal kecuali empat orang. Mereka adalah Husain sendiri dan putra beliau Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin sendiri bisa selamat karena demam, sehingga tidak keluar tenda. Selain mereka, Fatimah (istri Husain) dan Zainab (adik Husain) juga selamat.

Sebenarnya sejak awal perang, bisa saja Husain terbunuh. Namun tidak ada yang berani mengeksekusi beliau karena ragu-ragu. Bahkan ketika waktu sholat, perang dihentikan untuk sholat berjamaah. Dalam setiap sholat, tidak ada yang berani menjadi imam sholat. Semua sepakat imam sholatnya adalah Husain. Sampai akhirnya seorang bernama Dzil Jausyan yang paling berani mengeksekusi Husain.

Dzil Jausyan menarik Husain dari kudanya. Begitu Husain jatuh, dia menaiki tubuh Husain, menginjak, kemudian menebas leher Husain. Tubuh Husain akhirnya menyatu dengan tanah Karbala setelah turut diinjak pula oleh kuda. Kepala Husain di tancapkan di tombak, kemudian di bawa ke Kufah untuk diarak keliling Kufah bersama keluarganya yang selamat (Ali Zainal Abidin, Fatimah, Zainab).

Dari Kufah kepala Husain kemudian di bawa ke Damaskus menggunakan sebuah kereta. Kereta tersebut memuat kepala Husain, Fatimah, Zainab, dan Ali Zainal Abidin. Sampai di Damaskus, kepala Husain di pajang di depan istana Yazid. Setiap orang yang lewat di suruh mencaci di depan kepalanya. Yazid tampak bergelora dalam melampiaskan amarahnya pada Husain sehingga merasa dia berhak orang lain memiliki gelora yang sama dengannya.

Setelah cukup lama di Damaskus, Fatimah meminta izin kepada Yazid untuk kembali ke Madinah bersama keluarga dan kepala Husain. Permintaan Fatimah dipenuhi. Namun dalam perjalanannya menuju Madinah, Fatimah disusul oleh utusan Yazid agar mencegah ke Madinah dan dibelokkan menuju Mesir.

Hal tersebut dilakukan oleh Yazid karena takut kalau kepala Husain sampai di Madinah justru menumbuhkan semangat perlawanan hebat kepada Yazid. Yazid menyadari bahwa pengaruh Husain tak akan mati meski jasad-nya tak lagi berada di Bumi. Maka kepala Imam Husain berada di Kairo, Mesir. Sedangkan Ali Zainal Abidin, dipulangkan ke Madinah.

Satu kekejaman luar biasa berhasil dilakukan oleh Yazid beserta para pembokat setianya. Satu peristiwa yang layak diperingati sepanjang masa oleh seluruh manusia. Banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari tragedi kelam ini. Antara lain agama tidak akan besar tanpa ada perjuangan hingga pertumpahan darah. Apapun agamanya, tak sebatas satu agama saja. Islam bisa besar karena ada pengorbanan, Katholik, Protestan, Budha, Hindu, Yahudi, dsb dst.

Dalam Katholik, seseorang bernama Petrus beserta beberapa pengikutnya yang tidak seberapa, dikejar-kejar tentara Kerajaan Romawi. Mereka berhasil lolos dari kepungan dan melepas lelah dalam gelapnya malam di suatu tempat yang sudah aman dari kejaran tentara Kerajaan Romawi. Tiba-tiba Petrus ‘melihat’ Yesus (arabic : ‘Isa) berjalan melintasinya. Seolah tidak percaya dengan pandangannya, Petrus menegur Yesus, yang bagi Petrus sudah disalib beberapa tahun sebelumnya.

Konon Yesus menjawab kalau dirinya mau ke Roma untuk disalib kedua kalinya. Petrus memutuskan malam itu juga kembali ke Roma, meski sempat diprotes pengikutnya. Petrus merasa Yesus menginginkannya untuk kembali ke Roma. Sekembalinya Petrus ke Roma, tentara Kerajaan Romawi langsung menangkapnya. Dia langsung dijatuhi hukuman salib, persis seperti ‘penampakan’ Yesus yang dilihatnya.

Petrus menghadapi hukuman dengan tenang dan meminta satu hal yang harus dikabulkan: dia ingin agar disalib dengan posisi kepala di bawah. Menurutnya, tidak pantas baginya disalib dalam posisi yang sama dengan Yesus. Yesus sendiri konon ber-nubuwat bahwa pada pundak Petrus-lah akan dibangun Gereja Yesus. Oleh Gereja Katholik, Petrus diakui sebagai Paus Pertama. Gereja Katholik pun dibangun atas fondasi pengorbanan St. Petrus.

Dalam Islam sendiri kali pertama nyawa melayang dalam perjuangan agama dilakukan oleh seorang puan. Sumaiyyah, istrinya Yasir dan ibunya ‘Ammar, dibunuh oleh Abu Jahal lantaran tak mau mengikuti ajaran yang dianut Abu Jahal. Yasir, sang suami, juga mengalami peristiwa serupa istrinya. Yasir tak mau menerima paksaan keyakinan yang membuatnya rela nyawanya dihabisi oleh Abu Jahal. Tinggallah anak Sumaiyyah dan Yasir, ‘Ammar yang menunggu giliran.

Berbeda dengan orangtuanya, ketika 'Ammar hendak dieksekusi dia pura-pura murtad. Sekedar kepura-puraan lantaran dalam kalbunya masih tetap berserah pada Ilahi-Rabbi (arabic : Islam). Setelah batal dieksekusi, ‘Ammar segera menemui Muhammad untuk menceritakan peristiwa ini. Muhammad memberi apresiasi terhadap keputusan ‘Ammar. Tak perlu ngoyo dalam mementaskan keyakinan.

Peristiwa yang terjadi pada keluarga Sumaiyyah, Yasir, dan ‘Ammar memberi pesan pada kelompok laki yang merasa Islam agar tak gede rasa telah berkorban. Sejarah menunjukkan bahwa darah mengalir bukan dari pihak laki walakin dari puan. Baru kemudian disusul banyaknya darah lain dari laki, seperti Hamzah bin Abdul Muthalib. Semua darah yang mengalir demi tegaknya Islam.

Begitu juga dengan darah Husain, yang diperingati haulnya setiap 10 Muharram, tidak sia-sia. Islam bisa sampai ke tanah Jawi (Nusantara: kepulauan Indonesia, kepulauan Philipina, dan semenanjung Malaya) antara lain sebab wafatnya Husain. Begitu keluarga Husain, dibenci oleh penguasa saat itu, maka ada salah satu keturunannya, yakni Ali al-Quraidhi hijrah dari Kufah ke Madinah.

Ali al-Quraidhi tak menjejak dua kakaknya yang terjun ke dunia politik, Musa al-Kadzim dan Isma’il. Ali al-Quraidhi memilih menekuni arena keilmuan. Ali Al-Quraidhi berputra Isa yang berputra Ahmad. Ahmad kemudian hijrah dari Madinah ke Yaman. Dari pilihan inilah Ahmad dijuluki al-Muhajir sehingga akrab disapa Ahmad al-Muhajir. Dari pilihan ini pulalah keturunan Ali dan Fathimah tumbuh dan berkembang hingga sampai ke Indocina dan Nusantara.

Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Perjuangan Husain yang sanggup bertahan hingga hembusan nafas terakhir menimbulkan dampak beruntun. Diantara dampak beruntunnya ialah mempercepat Islam sampai ke beragam penjuru planet Bumi, termasuk Nusantara. Seandainya tidak ada tragedi Karbala barangkali sejarah lain ceritanya. Barangkali Islam telat masuk ke Nusantara.

Wajar jika peristiwa Karbala layak diperingati. Kita memang tak bisa kembali ke masa-masa kelam saat kekejaman itu terjadi. Tapi kita bisa terus memperingati peristiwa bersejarah karena selalu ada hikmah yang bisa digali. Boleh saja hikmah yang kita ambil berbeda, namun bukankan hal ini semakin memperkaya? Tak semua manusia harus sama dalam menggali makna sebuah peristiwa.

Tragedi Karbala bukan hanya layak diperingati oleh ummat Islam, apalagi kelompok Syi’ah. Tragedi Karbala juga tak hanya layak diperingati oleh masyarakat di tanah Meditterania, apalagi warga negara setempat saja. Tragedi Karbala merupakan salah satu peristiwa tragis peradaban manusia. Sekelompok pasukan militer ngoyo membela kelaliman penguasanya saat itu hingga tanpa merasa cemen menghabisi serombongan orang biasa saja.

Lebih dari itu, pembunuhan terhadap Husain adalah satu perilaku kejam. Seorang yang sudah tak didampingi rombongan besar menghadapi pasukan militer terlatih. Saat raga seorang itu mulai kehabisan semangat, lawan dengan tega memenggal kepala, menginjak badannya, lalu mengarak kepala yang dipenggalnya. Tak sampai disitu, bahkan kepala yang tak lagi bernyawa pun menjadi sasaran cacian yang dipaksakan.

Mengenang Karbala, titik tolak menuju sikap tenggang rasa, toleransi, dan mengapresiasi warisan sejarah. Tanpa memandang Husain sebagai putra istimewa, dia tetaplah panutan yang patut dianut dan perjuangannya pantas diperjuangkan. Sialnya, saat sebagian orang dengan syahdu memperingati peristiwa itu, sebagian orang justru berbuat anarki merisak suasana. Mereka yang berbuat anarki, kira-kira lebih pantas dianggap menjejak langkah Husain atau Yazid jika dikaitkan dengan peristiwa Karbala?