Author: Nong Darol Mahmada
Apa yang tersisa dari tragedi WTC 11 September 2001 dan rentetan pemboman
yang terjadi di Indonesia? Jawabannya, terorisme! Siapa yang mengira, kalau
Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam dan Islamnya dikenal sebagai Islam
yang moderat dengan representasi ormas NU dan Muhamadiyah, ternyata sekarang
dikenal sebagai sarang teroris. Dan ini sudah terbukti setelah tragedi Bali,
tragedi terdahsyat yang dilakukan teroris setelah tragedi WTC 2001 dan beberapa
peristiwa pemboman lainnya.
Tentu saja, rentetan pemboman ini merupakan pukulan yang dahsyat untuk
Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya,
isu terorisme di Indosesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah
dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan
masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam
kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini
dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan
di Indonesia.
Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai
peran dan posisi yang sangat penting bila bisa menegakkan dan menjalankan
kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Hal ini bisa menjadi model dan
rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya
bahkan cenderung menolak demokrasi.
Negara Muslim dan Demokrasi
HARUS diakui, di tengah arus meningkatnya jumlah rezim demokratis atau yang
semakin demokratis pada akhir abad ke-20, kecenderungan melegakan itu tidak
terjadi di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim.
Negara-negara Muslim ini umumnya dianggap tidak memiliki pengalaman demokrasi
yang memadai, dan, menurut Adrian Karatnycky, masih paling resisten terhadap
penyebaran demokrasi (1999).
Hal ini terungkap, misalnya, dalam penelitian Bill Lidle dan Saiful Mujani
pada tahun 1997/1998 terhadap seluruh (48) negara Muslim. Penelitian itu
menemukan bahwa hanya tiga negara (Mali, Banglades, dan Siprus) atau 8,7 persen
yang dapat dikategorikan demokratis. Sementara, negara semidemokratis cukup
besar (sekitar 30 persen), termasuk Indonesia. Proporsi paling besar adalah
otoritarianisme/sultanisme, sekitar 60,9 persen.
Selain itu, proporsi negara-negara Muslim yang mempunyai rezim paling represif
di dunia sangat besar, lebih dari separuhnya (2000).
Namun, di balik kecenderungan ini, sebenarnya peran Islam dalam politik di
negara-negara Muslim mulai mengalami perubahan secara signifikan sejak tahun
1970-an. Kelompok-kelompok Islam tidak lagi menjadi sekadar unsur reaktif dalam
komunitas politik, namun mulai tampil sebagai sumber inisiatif bagi
perkembangan dan perubahan politik. Gerakan-gerakan mereka menyuarakan aspirasi
yang menghendaki partisipasi yang lebih besar dalam proses politik dan
terwujudnya masyarakat yang lebih islami.
Yang mengejutkan, dalam menghadapi tantangan bagaimana menerapkan konsep
dan struktur Islam ke dalam realitas sosial-politik modern yang terpengaruh
Barat, gerakan demokratisasi di dunia Islam berlangsung dalam kerangka sistem
negara yang sudah ada (kecuali kasus revolusi Islam Iran). Sehingga aspirasi
ganda itu, Islamisasi dan demokratisasi, membentuk kerangka bagi hampir seluruh
isu penting di dunia Islam dewasa ini (Esposito & Voll:1999).
Kecenderungan ini menempatkan negara-negara Muslim menjadi arena
perbincangan yang paling menggairahkan mengenai tema-tema demokrasi, termasuk
di Indonesia. Para cendekiawan Muslim bergerak aktif dalam banyak kelompok dan
organisasi yang menuntut demokratisasi, dan sering menyatakan, ciri utama
gerakan politik Islam adalah karakter demokratis dan pluralis mereka. Mereka
lazimnya berpendapat, demokrasi adalah sebuah ide universal. Tidak ada versi demokrasi
yang khas Islam, meski nilai dan prinsip Islam amat mendukung gagasan universal
tentang demokrasi. Dari perspektif perbandingan, kedalaman dan keluasan
keterlibatan Muslim dengan literatur mengenai demokrasi dan modernitas itu amat
luar biasa. Sejak akhir tahun 1980-an, negara-negara Muslim menjadi tempat
utama bagi perdebatan yang hidup mengenai demokrasi dan gagasan-gagasan
pluralisme.
Terorisme menjadi Isu Utama
Namun, disadari atau tidak, belakangan ini telah terjadi pergeseran besar
dalam wacana politik di Indonesia. Jika selama dua dasawarsa lalu isu demokrasi
dan seluruh turunannya seperti hak asasi manusia, civil society, pluralisme, dan penghargaan terhadap kelompok
minoritas menjadi topik utama dalam hampir setiap forum dan karya akademik, trend ini telah digantikan oleh isu
terorisme. Pergeseran ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kampanye
besar-besaran politik luar negeri Amerika Serikat (AS) untuk memerangi
terorisme (war on terrorism).
Persoalannya adalah, isu terorisme ini menempatkan negara-negara Muslim
pada posisi yang tidak mudah, termasuk Indonesia, terutama dalam kerangka
proses demokratisasi.
Pertama, pada tataran wacana, perbincangan mengenai tema-tema demokrasi
mengalami stagnasi. Padahal, untuk mengukuhkan proses demokratisasi,
perbincangan dan perdebatan di ruang publik amat dibutuhkan untuk mengontestasi
pemikiran dan alternatif pemikiran guna menemukan tata cara, prosedur, dan
nilai-nilai demokrasi. Hal ini menjadi penting dalam rangka melakukan penataan
seluruh perangkat yang menyokong sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
Sayang, saat ini perdebatan seperti itu relatif telah terhenti dan diganti isu
terorisme yang tak banyak memberi manfaat bagi proses demokratisasi.
Kedua, kampanye perang terhadap terorisme menimbulkan kesulitan bagi
pemerintah Indonesia untuk menyusun kebijakan politik dalam negeri. Dalam
tataran ide, pemerintah setuju dengan kampanye itu, karena terorisme merupakan
kejahatan transnasional yang tidak identik dengan negara dan agama tertentu,
sehingga terorisme menjadi musuh bersama semua negara. Namun, karena sejak awal
terbangun citra, terorisme terkait erat dengan Islam radikal (dan ini tidak
lepas dari kampanye AS), maka banyak pemerintah negara-negara Islam mengalami
kesulitan menentukan kebijakan terhadap kalangan Muslim.
Kesulitan ini terjadi karena negara-negara Muslim memiliki ketergantungan
amat besar di bidang ekonomi, politik, dan militer terhadap AS. Sementara,
pemerintah negara-negara Muslim juga tidak mungkin begitu saja mengabaikan
kekuatan politik Muslim domestik dan bersedia menuruti kehendak AS untuk
memerangi kelompok-kelompok Islam radikal di dalam negeri. Karena, kekuatan
politik Muslim di negara-negara itu cukup kuat meski tidak selalu menentukan.
Akibatnya, muncul beragam tindakan yang berbeda di masing-masing negara,
khususnya Asia Tenggara.
Ketiga, isu terorisme telah menjadikan isu-isu tentang kelompok minoritas
Muslim di banyak negara non-Muslim menjadi terabaikan. Beberapa rezim seolah
menjadi pembonceng gratisan (free rider)
dan menggunakan isu terorisme untuk menekan kaum minoritas Muslim. Misalnya,
Vladimir Putin seolah mendapat pembenaran untuk menghancurkan kaum Muslim di
Chechnya. Israel seolah mendapat alasan bahwa yang mereka lawan bukan sebuah
bangsa Palestina yang menuntut hak, tetapi perang melawan kaum Muslim teroris.
Demikian juga yang terjadi di Xinjiang, Cina; di Moro, Filipina; dan di
Singapura.
Memang, di negara-negara itu konflik yang melibatkan kaum minoritas Muslim
telah terjadi sejak lama. Namun, konflik itu menjadi berbeda ketika Pemerintah
AS bersedia memberi bantuan keuangan dan militer untuk memerangi terorisme.
Dalam hal ini, AS tidak lagi menekankan isu-isu demokratisasi dan HAM sebagai
landasan kebijakan politik luar negerinya.
Keempat, isu terorisme seakan dijadikan alasan pembenaran bagi beberapa
rezim untuk memberlakukan undang-undang yang cenderung antidemokrasi. Misalnya,
Pemerintah Malaysia (dan Singapura) menggunakan Internal Security Act untuk menangkap beberapa aktivis Islam garis
keras. Juga Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No 15 tahun 2003
tentang tindak pidana terorisme.
Pemberlakuan undang-undang seperti ini dikhawatirkan akan mematikan
kebebasan pers dan kebebasan publik karena rezim biasanya mempunyai tafsir
resmi yang monopolistik tentang siapa saja dan tindakan apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai teroris dan terorisme. Tafsir resmi seperti ini, jika
disalahgunakan, akan dapat dipergunakan untuk menangkap para aktivis gerakan
mahasiswa, kelompok oposisi, cendekiawan kritis, aktivis Muslim, dan siapa saja
yang dianggap oleh rezim dapat mengganggu stabilitas negara.
Kelima, isu terorisme menjadi semacam undangan menarik bagi militer untuk
masuk dan bermain dalam wilayah politik. Dalam hal ini, pemberlakuan
undang-undang antiteroris memberi kesempatan kepada militer sebagai
satu-satunya kekuatan politik domestik yang dapat diandalkan untuk
menanggulangi terorisme, karena militer memiliki kekuatan senjata dan
keterampilan tempur.
Sebenarnya, dilema demokratisasi di dunia Muslim ini tidak akan makin
berlarut jika dilakukan dua hal.
Pertama, harus dibedakan antara terorisme dan radikalisme karena perlakuan
terhadap keduanya berbeda. Terorisme harus diperangi dan dibasmi karena
mengganggu keamanan dan stabilitas politik. Sedangkan radikalisme (agama) cukup
dihadapi dengan penegakan hukum karena menyangkut pemahaman keagamaan tertentu
yang diekspresikan dalam aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok yang memiliki
pemahaman berbeda.
Kedua, AS seharusnya dapat mendudukkan persoalan secara proporsional saat
menggalang semua kekuatan internasional untuk mendukung kebijakannya memerangi
terorisme. Orang akan sulit memahami keterkaitan antara perang melawan
terorisme dengan serangan AS ke Irak. Perang melawan terorisme pasti diamini
semua negara, tetapi serangan ke Irak sampai saat ini hanya tinggal Inggris
yang mendukung. Demikian juga dengan kebijakan Pemerintah AS yang memperlama
pengurusan visa bagi penduduk negara-negara Muslim. Dalam hal ini, AS tidak
mampu merumuskan secara tepat pemahaman tentang terorisme dalam bentuk
kebijakan operasional.
Sangat disayangkan jika proses demokratisasi di dunia Islam khususnya
Indonesia tidak berlangsung secara meyakinkan hanya karena isu terorisme yang
kini menjadi satu-satunya isu politik global. Padahal, jika demokratisasi ini
berlangsung mulus, kita akan menyaksikan sebuah tatanan politik global yang
berkeadaban, dan tentu saja sangat mengesankan.
Note
Artikel ini menjadi bahan
diskusi dalam acara Program of Global Youth Exchange, Japan Government,
Japan, Februari 2003, dan diterbitkan melalui blog Nong
Darol Mahmada pada 09 Mei 2007. [lihat]