Dalam
hidup kesempatan memang hanya datang satu kali datang dalam berbagai bentuk.
Meski tidak selalu dengan keinginan kita, yang pasti itu adalah yang dibutuhkan,
seperti yang dialami oleh Rachel Florencia ini. Rachel Florencia pernah gagal mewujudkan
keinginan bergabung JKT48 2014 silam seiring tak lolos audisi grup tersebut.
Meski
hanya sebagai finalis, masa-masa tersebut adalah pengalaman yang sangat
berharga dan mendatangkan keuntungan bagi Rachel. Sejak kegagalannya menjadi
anggota JKT48, Rachel mendapatkan tawaran dari sebuah agensi untuk menjadi idol
jejepangan. Sejak saat itu, perempuan kelahiran Cianjur, 2 Februari 2000 mulai memperoleh
popularitas serta jaringan luas dalam dunia hiburan.
Kini,
7 tahun setelah kegagalan bergabung JKT48, Rachel Florencia bukanlah nama asing
di dunia hiburan. Apalagi erotic capital berupa paras menawanan dan
kesintalan badan mengesankan kerap ia bagikan. Akun Instagram, Twitter, Facebook,
bahkan YouTube terbilang
cukup perhatikan. Pemilik NIM 2017730080 di Universitas Parahyangan ini dikenal
sebagai selebgram, juga brand ambassador tim esport Morph. Sebagai brand
ambassador, Rachel memiliki peran untuk memperkenalkan Morph ke khalayak
ramai.
Kegagalan
bergabung JKT48 yang ia sikapi dengan terus mengayuh perjalanan membawa dirinya
menjadi satu sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang. Kekaguman yang
membuatnya menjalani keseharian dengan sanjung puja dari banyak kalangan
sebanding dengan caci maki yang juga diterimanya. Sosok yang terlatih dengan
dua hal tersebut kerap menjadi sosok besar. Terlatih untuk tak melayang dengan
pujian dari para pengagumnya dan tak langsir kata nyinyirdari kalangan pandir
yang sirik tiada akhir. Sosok yang pesonanya sanggup hidup merasuk jiwa manusia
lainnya.
Rachel
mendapatkan semua ini setelah pilihan menjadi penghibur dilakukan dengan penuh
kesungguhan. Menjadi seorang penghibur adalah sebuah panggilan nurani yang tak
bisa dia elakkan. Sebagai seorang penghibur, ambisi yang dimiliki membuatnya
tak sekedar menembus jajaran papan atas melawan kemapapan sosok lawas, Rachel
juga terus berusaha mengembangkan karya berkualitas karya sekaligus sikap yang laras
dan pantas. Wajar jika penggemarnya kian melipat, kehadirannya selalu disambut
hangat, karyanya banyak dinikmati, bahkan tak sedikit yang menggilai. Kekaguman
kepada Rachel kini melintas batas nalar terliar. Penggemarnya lintas kelas,
lintas generasi, lintas latar belakang.
Pada 2
Februari 2021 ini, umur Rachel baru genap 21 tahun menurut kalender Gregorian. Namun,
sekarang dirinya eakan kian mantap mengayuh perjalanan yang membuat namanya
memiliki harga jual. Kehadirannya pun dapat memiliki nilai komersial. Kalau
dulu dirinya ditolak bergabung dengan grup idola, sekarang dirinya dikejar oleh
para pemirsa. Para pemirsa yang selalu memiliki waktu untuk mengungkap sanjung
puja kepada Rachel dengam beragam cara.
Meski
demikian, tak sedikit khalayak yang memandang Rachel “modal badan doang”. Tak
dimungkiri bahwa kesintalan badan turut berperan dalam melambungkan nama Rachel.
Wajar saja. Sah-sah saja. Mungkin penampilan Rachel mungkin memantik amarah
sebagian orang. Amarah yang muncul karena cemburu, dengki, atau jengkel.
Sementara tak bisa dielakkan lagi bahwa, “Mata yang penuh amarah hanya
memandang segala yang nista sepertihalnya mata yang cinta akan tumpul terhadap
semua cela.”
Pertanyaannya,
salahkah memanfaatkan modal badan, semisal menjual kecantikan? Sebagian orang
mungkin akan menjawab iya. Naomi Wolf dalam buku The Beauty Myth
menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk
mengeksploitasi perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik. Pandangan
Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan, namun kurang
lengkap untuk menjadi genggaman. Pasalnya Naomi tak mementingkan paras cantik
sebagai salah satu modal untuk perempuan, seperti diungkapkan oleh Catherine
Hakim melalui konsep erotic capital.
Erotic capital merupakan kombinasi dari
daya tarik fisik, estetik, visual, sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang
untuk menarik orang lain. Ada enam (atau tujuh) bagian dalam erotic capital.
Erotic capital sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya.
Sepertihalnya jenis modal lain, erotic capital juga dapat diupayakan, kosok
bali dengan pandangan yang cenderung menyangka bahwa kecantikan hanyalah
ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan) atau suatu kebetulan alamiah (buat
yang cuma percaya Hukum Alam).
Cibiran
terhadap Rachel banyak berpijak dari pandangan yang menyebut bahwa pintar
adalah hasil tekun belajar, sedangkan penampilan badan adalah bawaan lahir.
Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja keras, sedangkan kecantikan
adalah anugerah yang didapat tanpa usaha. Padahal posisinya bisa saja terbalik.
Pasalnya faktor genetis pun, terutama dari ibu, berperan penting dalam
menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil cantik, seseorang perlu
banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola konsumsi, merias wajah,
hingga berpikir menentukan pakaian.
Tak
perlu membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat
beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Sharapova.
Pendapatan sebagai model jauh lebih banyak ketimbang menjadi petenis. Maria
bahkan masih tetap menambah kekayaan saat diskors gara-gara kasus obat-obatan
terlarang.
Erotic
capital sama
pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya. Pertanyaan selanjutnya,
mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan sepertihalnya
kecerdasan? Ketika ada perempuan dandan, dibilang menghabiskan waktu tak
berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka waktu diisi dengan kegiatan
bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak jarang
otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan perempuan, seperti modelling,
diberi stigma sebagai pekerjaan hina.
Kecantikan
dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta
kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan
kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh
perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan
semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa?
Whyyy? Lebih menyesakkan lagi, ketika ada perempuan cantik ingin menikahi
lelaki kaya dilabeli ‘matre’ yang mengkhianati kesucian cinta dalam perkawinan.
Padahal, alasan di balik julukan ‘matre’ ini adalah bahwa lelaki harus
mendapatkan kenikmatan yang mereka inginkan dari perempuan secara gratis,
terutama seks (sex).
Seks berbeda dengan nafsu lain, misalnya nafsu makan. Adakah orang, terutama lelaki, yang sanggup suntuk berjam-jam menyaksikan tayangan dengan sajian berupa adegan-adegan orang sedang makan bakwan biarpun orang itu adalah Via Vallen? Adakah media pendulang iklan yang menjebak pengunjung dengan gambar Grace Natalie sedang mangap ngemplok cilok? Saking sosialnya nafsu yang satu itu, ia jadi begitu canggih buat menyedot perhatian. Ia jadi empuk sebagai bahan berita dengan judul-judul menggemaskan. Ia juga legit buat stok pengalihan isu, yang bisa dengan gampang ditembakkan sewaktu-waktu. Sebab, kabar terkait seks tidak cuma memberikan informasi, walakin memberdayakan imajinasi.
Rachel
menyadari sisi ini, mengerti hal ini. Tak risau dengan segala caci-maki maupun
puja-puji, dirinya berusaha memanfaatkannya memenuhi kebutuhan diri, juga
menjadi penopang keluarganya sendiri.