فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Manusia adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi
manusia menjadi landasan yang kuat. Ketika ada seseorang yang memiliki satu set
badan lengkap tanpa dapat merasakan rasanya sendiri—apalagi rasa manusia
lainnya—dia seakan robot. Walau memiliki kepandaian—bukan kecendekiaan—melebihi para perancangnya, belum
bisa memiliki rasa.
Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti
berguna bagi keberlangsungan keseharian ummat manusia. Rasa kasih sayang
misalnya, sanggup membawa manusia pada rasa sama hingga segala yang dilakukan
memberikan kegembiraan. Sama-sama merasakan adanya kesamaan, kesetaraan, maupun
keserupaan rasa antara dia sendiri dengan seluruh ciptaan Pelantan.
Rasa kasih sayang menahan kita untuk tak melakukan segala hal yang merisak
rasa liyan (Jawa: orang lain). Rasa inilah yang dengan lembut menghantam hingga sukma
terdalam yang—ketika sudah tersentuh—bisa membuat segala rasa yang tertuang
menjadi terkenang. Saling mengapresiasi kesamaan sekaligus menghormati
ketidaksamaan berpadu dengan semangat untuk saling memuliakan dan melantan
muruah liyan.
Rasa sama membuat manusia terikat dengan liyan dan lingkungan
sehingga segala yang dilakoni tak merisak nurani. Kosok bali dari rasa beda
yang merasa berbeda—seperti rasa lebih tinggi maupun lebih rendah—dari liyan.
Rasa beda rentan memantik gairah pertikaian maupun ketidakpedulian yang
membuahkan perilaku meresahkan.
Tak jarang dalam beberapa pilihan manusia merasa memiliki satu kesamaan pilihan
antara dirinya dengan manusia lainnya. Dalam keseharian yang penuh dengan
pilihan, satu kesamaan merupakan satu titik temu untuk menciptakan
keharmonisan. Tak dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam
ketidaksamaan. Jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa
mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?
Sebagai makhluk berperasaan, berunjuk rasa merupakan perilaku yang wajar
dilakukan. Entah unjuk rasa melalui rupa, nada, gerakan, tulisan, dsb. dst.
termasuk bergeming. Unjuk rasa yang disertai rasa sama membuat manusia saling
mengapresiasi dan menghormati setiap pilihan keseharian yang dijalani.
Segala unjuk rasa yang yang bisa menggembirakan rasa ataupun menjadi sarana
melepas rasa lara menimbulkan kekaguman pada pengunjuk rasa. Kekaguman
menyebabkan manusia yang dikagumi mewujud sebagai panutan. Semua orang tentu
memiliki panutan, mulai dari orangtua, keluarga, tetangga, sahabat, guru,
teman, hingga sosok lainnya termasuk orang yang dikenal sebagai public
figure.
Panutan—baik seorangan atau sekerumunan—memberi semangat terhadap
langkah yang dijalani. Panutan memiliki peran psikis, yang dapat memengaruhi
pandangan (cara, sudut, jarak, sisi, dan resolusi) terhadap sesuatu bahkan bisa
memengaruhi seseorang sepenuhnya.
Seorang panutan biasanya menjelma sebagai sosok agung bagi pengagumnya.
Sosok yang memiliki daya dorong luar biasa hingga sanggup membawa batin
pengagumnya larut terhadap beberapa perkara. Saking hanyut batin itu sampai tak bisa dirunut dengan nalar biasa.
Setiap manusia layak menjadi panutan. Entah manusia tersebut dipandang
sebagai sosok besar karena banyak orang juga mengaguminya atau dipandang
sebagai sosok kecil karena sedikit orang yang mengenalnya. Sepanjang orang
menampilkan kesungguhan dalam menjalani keseharian, pasti ada orang yang
menjadikannya sebagai panutan, meski diam-diam.
Ada banyak sosok menjadi panutan saya, dari beragam
personalitas dan identitas yang melekat pada mereka. Satu titik pertemuannya ialah mereka
semua senantiasa menjadi manusia yang terus memotivasi (digugu)
sekaligus menginspirasi (ditiru) saya.
Orang-orang yang menjadi panutan saya memang manusia biasa—sosok berperasaan [الإنسان] yang peduli pada penampilan badan [البشر] dengan kemauan untuk membaur dalam
lingkungan [الناس]. Sepanjang menjalani keseharian pun, mereka
hanya berusaha untuk menghibur ketika lara dan mengingatkan saat mapan. Tak ada yang istimewa dari mereka karena semua manusia
bisa meniru untuk melakukannya. Malahan mereka sendiri mengagumi manusia
lainnya.
Walau tak istimewa, buat saya, mereka tetaplah sosok panutan yang patut
dianut. Semangat perjuangannya layak diperjuangkan. Perjalanannya merupakan
satu sisi megah tersendiri yang layak dikagumi. Mereka mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah
berjuang. Di-reken (Jawa: anggap) sukses atau tidak dalam pencapaian
bukan urusannya, yang merupakan kesuksannya hanyalah tak lelah mengayuh secara
terus-menerus.
Mengayuh... mengayuh... mengayuh perjalanan... saling mengapresiasi
kesamaan dan menghormati ketidaksamaan... “You say God give me a choice...”
seperti lantun Queen dalam Bicycle Race.
Mereka tak lelah mengayuh secara terus-menerus untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan. Keseimbangan
yang membuat orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa karena
memiliki rasa sama. Satu perjalanan yang patut diapresiasi.
Saling menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama.
Seperti diungkapkan oleh Muhammad [محمد] shallallahu'alaihiwasallam.
Sang Kirana Azalea bertutur bahwa menyapa adalah senjata manusia beriman
[الدعاء سلاح المؤمن]. Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna Louise Veronica
Ciccone melalui Like a Prayer.