Tak Semata Hindari Zina


Author: Nong Darol Mahmada

Nong Darol Mahmada; Nong; Darol Mahmada; Darol; Mahmada; NDM; nongandah; 23 Maret 1975; 23; 1975; Maret; Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Tak Semata Hindari Zina;

Masih ingat dengan pernikahan anak lelaki Ustadz Arifin Ilham yang masih berusia 17 tahun? Hampir semua media, khususnya media Islam, menulis tentang pernikahan ini dan dipuja-puji karena berani memutuskan menikah di usia muda. Alasannya selalu serupa: daripada pacaran berlama-lama dan berzina maka lebih baik menikah muda. Kampanye menikah muda, lewat meme yang menarik dan lucu, juga gencar dilakukan lewat media sosial oleh organisasi Islam yang mengusung khilafah dan sejenisnya.

Memang salah satu penyebab pernikahan muda adalah karena pemahaman keagamaan yang mentabukan diskusi tentang seksualitas dan ketakutan akan zina. Dalam konteks di Indonesia yang terbanyak karena faktor kemiskinan seperti kasus pernikahan antara Syekh Puji dengan perempuan usia 12 tahun, Lutviana Ulfah. Lutviana yang masih belia seperti “dijual” kepada Syekh Puji yang kaya untuk menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya yang miskin.

Ada banyak kasus pernikahan muda yang terjadi khususnya karena kemiskinan, pemahaman keagamaan dan rendahnya pendidikan, dan dua kasus di atas bisa mewakili apa yang terjadi di lapangan. Penyebab pernikahan anak tidak bisa dilepaskan dari tiga hal:
(1) kemiskinan dan akses buruk atas pendidikan;
(2) naiknya fundamentalisme agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas serta takut akan zina; dan..
(3) akses buruk atas HKRS (hak kesehatan reproduksi seksual) (Grijns,dkk, 2016)

Kondisi pernikahan anak di Indonesia memang mengkhawatirkan. Data Susenas 2012 menunjukkan sekitar 11,13% anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 % menikah pada usia 16-18 tahun.

Kalau kita tilik hukum pernikahan di Indonesia memang masih diskriminatif dan berpotensi menjadi faktor terjadinya pernikahan dan kekerasan terhadap anak perempuan. Keadaan ini tentu saja akan berujung pada terhambatnya akses anak perempuan terhadap hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam UU Pernikahan No.1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 1 termaktub bahwa pernikahan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun.

Praktik pernikahan anak harus dihentikan karena selain membatasi potensi anak juga berakibat pada tingginya angka kematian ibu di Indonesia yang mencapai 359/100.000 kelahiran hidup dan 48/1000 kelahiran untuk jumlah kelahiran di usia 15-19 tahun (SDKI, 2012 dalam Candraningrum, Jurnal Perempuan Vol.88, Februari 2016). Dalam kasus di Jawa Barat misalnya, rata-rata anak-anak yang menjadi pengantin anak berusia 14-18 tahun baik di pihak anak laki-laki maupun perempuan. Inilah yang mendasari diajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap batas umur pernikahan.

Negara abai melindungi anak perempuan

Namun sayangnya putusan Judicial Review MK No 30-74/PUU-XII/2014 menolak menaikkan usia pernikahan di Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa negara abai melindungi anak perempuan. Padahal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini bertentangan dengan UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, terutama pada pasal 26 ayat 1(c) yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Definisi anak-anak menurut pasal 1 UU Perlindungan anak adalah usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Selain itu, ditolaknya JR ini menjadi ironi di tengah seruan dunia untuk mengakhiri pernikahan anak. Hal ini mengacu pada data yang dikeluarkan Council of Foreign Relations yang menyebut Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka tertinggi pengantin anak. Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di posisi kedua setelah Kamboja.

Di Indonesia, Jawa Barat menyumbang angka tertinggi pengantin anak. Tentu saja hal ini semakin berkelindan dengan posisi Jawa Barat dan Kalimantan Barat sebagai provinsi yang memiliki angka tinggi untuk perdagangan manusia. Keadaan ekonomi global saat ini dengan adanya kompetisi ketat di segala aspek, akan memicu kemiskinan pada mereka yang tak siap, hingga menggerakkan orang melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Di kawasan ASEAN, pernikahan menjadi salah satu kamuflase terhadap prostitusi dan perdagangan anak (Plambech, 2010; Lainez, 2010).

Pertanyaannya kemudian, apa yang mesti dilakukan untuk mencegah makin meningkatnya pernikahan anak ini setelah ditolaknya JR? Sebenarnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bisa menjadi garda terdepan untuk mencegah meningkatnya pernikahan anak. Itu sesuai dengan tugas utamanya melidungi anak Indonesia. Namun sayang sekali ketika kalangan organisasi kemasyarakatan mengajukan judicial review ke MK untuk menaikkan usia pernikahan sesuai UU Perlindungan anak pun KPAI sama sekali tidak mendukung.

Namun kita tetap optimistis, meski di tingkat JR MK gagal dan KPAI kurang memperhatikan persoalan pernikahan anak ini, kita melihat di daerah-daerah ada upaya untuk mencegahnya, yaitu dengan membuat kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Ini misalnya terjadi di kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta melalui Peraturan Bupati (Perbub) Gunung Kidul No.36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak yang didasarkan pada fakta bahwa pernikahan anak mengalami peningkatan drastis pada tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Edaran Gubernur No.150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun (www.ntbprov.go.id, 2015).

Bahu-membahu hapus pernikahan anak

Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya menghapus pernikahan anak adalah angin segar di saat pemerintah pusat abai akan masalah ini. Selain itu, pelibatan masyarakat juga perlu seperti yang terjadi di kecamatan Gedangsari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Para pemangku kebijakan bersama dengan warga bergerak bersama dalam jejaring integrasi berbasis MoU (kesepakatan bersama) untuk menghapus pernikahan anak (Sundari, 2016).

Ketika terjadi kasus pernikahan anak, pihak terkait seperti Ketua RT, RW, Kepala Desa, petugas KUA, puskesmas, kelompok pertanian, kepolisian, dan LSM bahu membahu turun untuk mendatangi keluarga tersebut dan memberikan informasi sehingga pernikahan dapat dicegah. Gerakan ini terbukti mengurangi pernikahan anak dari 9 kasus di tahun 2012, turun menjadi 8 kasus di tahun 2013, dan di tahun 2014 turun menjadi 5 kasus (Sundari, 2010:45-46).

Tak hanya dengan kebijakan menghapus pernikahan anak lewat ranah pencegahan, tetapi juga pada ranah pendampingan pasca pernikahan pun penting dikerjakan. Anak-anak yang sudah melakoni pernikahan, padahal semestinya mereka berada di tahapan ceria dan bahagia dengan bermain, belajar, dan mengembangkan potensi diri akhirnya tercerabut dengan dimasukkannya mereka ke dalam wilayah rumah tangga, harus “ditemani” dengan program pendampingan.

Programnya bisa meliputi pendidikan atas kesehatan reproduksi seksual, pengajaran atas pengasuhan anak, penguatan untuk menghapus trauma yang mungkin ada termasuk konsultasi hukum bila ada kecenderungan untuk bercerai, serta pelatihan untuk mendorong potensi mereka di bidang usaha kreatif. Pendampingan tersebut hendaknya melibatkan kelompok-kelompok sosial seperti pihak pemerintah, masyarakat, kelompok agamawan, dan secara khusus keluarga.

Terakhir, seperti sudah dipaparkan di atas tak cukup untuk membendung gerakan pernikahan usia muda yang didasarkan karena pemahaman agama seperti pada kasus anak lelaki ustadz Arifin Ilham dan kelompok Islam lainnya.

Untuk menghadapi ini, diperlukan juga rumusan penafsiran agama yang menekankan bahwa pernikahan bukan hanya sekedar menghindari zina dan memenuhi hasrat seksual semata tapi juga tugas berat terkait tanggung jawab suami dan istri supaya tercipta keluarga ideal yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Juga pendidikan seks dan reprodukasi sangat penting untuk diajarkan di level keluarga agar tidak menjadi tabu untuk didiskusikan.

Note
Artikel ini diterbitkan melalui situs Deutsche Welle (DW), 26 September 2016. [lihat]