Author: Nong Darol Mahmada
Masih ingat dengan
pernikahan anak lelaki Ustadz Arifin Ilham yang masih berusia 17 tahun? Hampir
semua media, khususnya media Islam, menulis tentang pernikahan ini dan
dipuja-puji karena berani memutuskan menikah di usia muda. Alasannya selalu
serupa: daripada pacaran berlama-lama dan berzina maka lebih baik menikah muda.
Kampanye menikah muda, lewat meme yang menarik dan lucu, juga gencar dilakukan
lewat media sosial oleh organisasi Islam yang mengusung khilafah dan
sejenisnya.
Memang salah satu penyebab
pernikahan muda adalah karena pemahaman keagamaan yang mentabukan diskusi
tentang seksualitas dan ketakutan akan zina. Dalam konteks di Indonesia yang
terbanyak karena faktor kemiskinan seperti kasus pernikahan antara Syekh Puji
dengan perempuan usia 12 tahun, Lutviana Ulfah. Lutviana yang masih belia
seperti “dijual” kepada Syekh Puji yang kaya untuk menjadi tulang punggung
ekonomi keluarganya yang miskin.
Ada banyak kasus pernikahan
muda yang terjadi khususnya karena kemiskinan, pemahaman keagamaan dan
rendahnya pendidikan, dan dua kasus di atas bisa mewakili apa yang terjadi di
lapangan. Penyebab pernikahan anak tidak bisa dilepaskan dari tiga hal:
(1) kemiskinan dan akses
buruk atas pendidikan;
(2) naiknya fundamentalisme
agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas serta takut akan zina; dan..
(3) akses buruk atas HKRS
(hak kesehatan reproduksi seksual) (Grijns,dkk, 2016)
Kondisi pernikahan anak di
Indonesia memang mengkhawatirkan. Data Susenas 2012 menunjukkan sekitar 11,13%
anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10 % menikah pada
usia 16-18 tahun.
Kalau kita tilik hukum
pernikahan di Indonesia memang masih diskriminatif dan berpotensi menjadi
faktor terjadinya pernikahan dan kekerasan terhadap anak perempuan. Keadaan ini
tentu saja akan berujung pada terhambatnya akses anak perempuan terhadap
hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam UU Pernikahan
No.1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 1 termaktub bahwa pernikahan hanya diizinkan bila
pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16
tahun.
Praktik pernikahan anak
harus dihentikan karena selain membatasi potensi anak juga berakibat pada
tingginya angka kematian ibu di Indonesia yang mencapai 359/100.000 kelahiran
hidup dan 48/1000 kelahiran untuk jumlah kelahiran di usia 15-19 tahun (SDKI,
2012 dalam Candraningrum, Jurnal
Perempuan Vol.88, Februari 2016). Dalam kasus di Jawa Barat
misalnya, rata-rata anak-anak yang menjadi pengantin anak berusia 14-18 tahun
baik di pihak anak laki-laki maupun perempuan. Inilah yang mendasari
diajukannya judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap batas umur pernikahan.
Negara abai melindungi anak
perempuan
Namun sayangnya putusan Judicial Review MK No
30-74/PUU-XII/2014 menolak menaikkan usia pernikahan di Indonesia. Hal ini
menjadi bukti bahwa negara abai melindungi anak perempuan. Padahal keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) ini bertentangan dengan UU No.35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, terutama pada pasal 26 ayat 1(c) yang menyebutkan bahwa
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak. Definisi anak-anak menurut pasal 1 UU
Perlindungan anak adalah usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Selain itu, ditolaknya JR
ini menjadi ironi di tengah seruan dunia untuk mengakhiri pernikahan anak. Hal
ini mengacu pada data yang dikeluarkan Council
of Foreign Relations yang menyebut Indonesia merupakan salah satu
dari sepuluh negara di dunia dengan angka tertinggi pengantin anak. Di kawasan
ASEAN, Indonesia berada di posisi kedua setelah Kamboja.
Di Indonesia, Jawa Barat
menyumbang angka tertinggi pengantin anak. Tentu saja hal ini semakin
berkelindan dengan posisi Jawa Barat dan Kalimantan Barat sebagai provinsi yang
memiliki angka tinggi untuk perdagangan manusia. Keadaan ekonomi global saat
ini dengan adanya kompetisi ketat di segala aspek, akan memicu kemiskinan pada
mereka yang tak siap, hingga menggerakkan orang melakukan apa saja untuk
bertahan hidup. Di kawasan ASEAN, pernikahan menjadi salah satu kamuflase
terhadap prostitusi dan perdagangan anak (Plambech, 2010; Lainez, 2010).
Pertanyaannya kemudian, apa
yang mesti dilakukan untuk mencegah makin meningkatnya pernikahan anak ini
setelah ditolaknya JR? Sebenarnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
bisa menjadi garda terdepan untuk mencegah meningkatnya pernikahan anak. Itu
sesuai dengan tugas utamanya melidungi anak Indonesia. Namun sayang sekali
ketika kalangan organisasi kemasyarakatan mengajukan judicial review ke MK
untuk menaikkan usia pernikahan sesuai UU Perlindungan anak pun KPAI sama
sekali tidak mendukung.
Namun kita tetap
optimistis, meski di tingkat JR MK gagal dan KPAI kurang memperhatikan
persoalan pernikahan anak ini, kita melihat di daerah-daerah ada upaya untuk
mencegahnya, yaitu dengan membuat kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda).
Ini misalnya terjadi di kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta melalui Peraturan
Bupati (Perbub) Gunung Kidul No.36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan
Usia Anak yang didasarkan pada fakta bahwa pernikahan anak mengalami
peningkatan drastis pada tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di
Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Surat Edaran Gubernur No.150/1138/Kum
tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang merekomendasikan usia perkawinan
untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun (www.ntbprov.go.id, 2015).
Bahu-membahu hapus
pernikahan anak
Berbagai kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah daerah sebagai upaya menghapus pernikahan anak adalah
angin segar di saat pemerintah pusat abai akan masalah ini. Selain itu,
pelibatan masyarakat juga perlu seperti yang terjadi di kecamatan Gedangsari,
Gunung Kidul, Yogyakarta. Para pemangku kebijakan bersama dengan warga bergerak
bersama dalam jejaring integrasi berbasis MoU (kesepakatan bersama) untuk
menghapus pernikahan anak (Sundari, 2016).
Ketika terjadi kasus
pernikahan anak, pihak terkait seperti Ketua RT, RW, Kepala Desa, petugas KUA,
puskesmas, kelompok pertanian, kepolisian, dan LSM bahu membahu turun untuk
mendatangi keluarga tersebut dan memberikan informasi sehingga pernikahan dapat
dicegah. Gerakan ini terbukti mengurangi pernikahan anak dari 9 kasus di tahun
2012, turun menjadi 8 kasus di tahun 2013, dan di tahun 2014 turun menjadi 5
kasus (Sundari, 2010:45-46).
Tak hanya dengan kebijakan
menghapus pernikahan anak lewat ranah pencegahan, tetapi juga pada ranah
pendampingan pasca pernikahan pun penting dikerjakan. Anak-anak yang sudah
melakoni pernikahan, padahal semestinya mereka berada di tahapan ceria dan
bahagia dengan bermain, belajar, dan mengembangkan potensi diri akhirnya
tercerabut dengan dimasukkannya mereka ke dalam wilayah rumah tangga, harus
“ditemani” dengan program pendampingan.
Programnya bisa meliputi
pendidikan atas kesehatan reproduksi seksual, pengajaran atas pengasuhan anak,
penguatan untuk menghapus trauma yang mungkin ada termasuk konsultasi hukum
bila ada kecenderungan untuk bercerai, serta pelatihan untuk mendorong potensi
mereka di bidang usaha kreatif. Pendampingan tersebut hendaknya melibatkan
kelompok-kelompok sosial seperti pihak pemerintah, masyarakat, kelompok
agamawan, dan secara khusus keluarga.
Terakhir, seperti sudah
dipaparkan di atas tak cukup untuk membendung gerakan pernikahan usia muda yang
didasarkan karena pemahaman agama seperti pada kasus anak lelaki ustadz Arifin
Ilham dan kelompok Islam lainnya.
Untuk menghadapi ini,
diperlukan juga rumusan penafsiran agama yang menekankan bahwa pernikahan bukan
hanya sekedar menghindari zina dan memenuhi hasrat seksual semata tapi juga
tugas berat terkait tanggung jawab suami dan istri supaya tercipta keluarga
ideal yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Juga pendidikan seks dan reprodukasi
sangat penting untuk diajarkan di level keluarga agar tidak menjadi tabu untuk
didiskusikan.
Note