— love to love you summer sunshine
Kekaguman pada Nong Darol Mahmada yang sudah
lama bermula tak berlangsung istimewa. Dari dulu seperti itu saja dia, wajahnya
... sikapnya ... tak banyak berubah. Saya tak bisa mengingat dengan rapi dan
rinci bagaimana saya bisa mulai mengaguminya. Namun sulit untuk tidak menyebut
nama Dhani Ahmad Prasetyo, se-nyebel-in apapun dia
berulah.
Ada bagusnya juga saya mengagumi Mbak Nong—sapaan padanya—sebelum akrab dengan dunia dalam jaringan (internet).
Hal ini membuat nama Mbak Nong termasuk sosok-sosok awal yang saya cari namanya
melalui mesin pencarian. Tak dimungkiri beberapa posting-an yang arahnya
menjatuhkan nama Mbak Nong memang marak. Walau begitu, rasa kagum tak begitu
saja bisa dirisak.
Justru dari posting-an seperti itulah saya mantap memilihnya sebagai
salah satu role model. Karena awalnya saya memandang Mbak Nong tanpa
cela namun menjumpai beberapa posting-an yang isinya mencela dirinya,
membuat saya membandingkan keduanya. Salah satu bentuk membandingkannya ialah
membicarakan dengan orangtua saya.
Orangtua bukannya berusaha menjauhkan saya dari Mbak Nong, malah mendukung
saya dalam memilih puan kelahiran 23 Maret 1975 ini. Sebagai penegasnya,
orangtua malah mengapresiasi bahwa saya mulai bisa menentukan pilihan sendiri.
Kekaguman pada Mbak Nong termasuk kekaguman berkelanjutan, yang setelah
dilanjutkan ... matematika. Semakin ditelusuri semakin tidak karuan saja
ini Mbak Nong. Terakhir dia membuat saya penasaran dengan The Corrs dan Hypatia
of Alexandria. Kebetulan saat itu saya sedang mencari brand musik baru
dan sosok puan pemula gelola kajian keilmuan. Tengkiyu mbak Nong ...
Walau saya bergembira ria setelah mendapat ‘petunjuk’ tak terduga ini,
namun saya masih memendam perasaan tak enak pada Mbak Nong. Manunggaling
susah-bungah, sejenis demikian. Pasalnya rasa penasaran pada The Corrs dan
Hypatia muncul saat saya sedang menulis tentang Mbak Nong untuk mengabadikan
kekaguman dengan cara yang bisa saya lakukan.
Perasaan tak enaknya timbul lantaran tanpa memberi tahu sebelumnya, saya
memasukkan bagian bagi mereka yang mengalami tentu tak enak rasanya. Saya
merasa bersalah memasukkan bagian yang mulanya ingin menunjukkan bahwa Andrea
Azalia Ardhani adalah anak bermental kuat. Sayang tampaknya penuturan saya jauh
melesat.
Entah perasaan saya tepat atau melesat, yang jelas kabut rasa tak enak pada
Mbak Nong masih menggelayuti saya. Tak lama berselang, saya main ke
Jakarta untuk ikut serta wisuda sahabat saya. Sayang waktunya tak tepat, Mbak
Nong sedang sibuk-sibuknya. Ya sudah, lain kali saja berjumpa untuk memohon
maaf—tepat atau melesat perasaan saya.
Barangkali kalau saya berkesempatan berjumpa kembali dengan Mbak Nong,
kesan yang dirasakan berbeda dengan perjumpaan pertama. “The first date is
never forgotten,” tutur Valentino Rossi beberapa hari lalu. Sampai saat
ini, perjumpaan pertama dengan Mbak Nong masih sangat berkesan bagi saya. Satu
peristiwa yang menempati kapling permanen dalam kalbu.
Saat itu saya ikut serta acara haul Gus Dur. Sebenarnya saya tak berencana
ke Ciganjur. Namun oleh teman-teman, saya diajak ke sana. Nyaris tiada moment
terkenang hingga saya hendak pulang andai wajah Mbak Nong tak sengaja
dipandang. Dengan berbalut busana hitam dan mengenakan kaca mata, saya segera
menyapanya.
“Mbak Nong...” teriak saya di tengah kerumunan yang
padat saat itu.
“Hei, sini,” tanggapnya sambil tersenyum melambaikan
tangan seakan kami adalah sahabat yang lama tak berjumpa.
Saat itu saya sudah diminta keluar oleh penjaga rumah Gus Dur, bersama
beberapa orang yang berjejal masuk ke dalamnya. Namun karena penjaga tersebut
melihat Mbak Nong tampak akrab menanggapi saya, dia memperkenankan saya begitu
saja.
First time sit beside her make me speechless. Duduk tepat di samping sosok yang selama ini dikagumi
... dengan keramahan yang diberikan ... tak hanya menghapus rasa lelah seharian
keluyuran walakin ikut serta memberi energi tambahan. Kalau Mbak Nong masih
ingat, saking speechless -nya saya, ungkapan yang keluar dari mulut pun
tak terstruktur.
Hanya beberapa menit saja kami berjumpa. Perjumpaan yang nyaris tanpa
disertai perbincangan apa-apa. Mata bicara banyak hal saat bibir tertutup rapat
tak sanggup menjelaskan yang sedang dirasa.
Saya hanya duduk saja ... memandangi Mbak Nong yang tampak sudah lelah di
sampingnya ... sejenak time travelling betapa telah lama saya
mengagungkannya walau kami sama-sama manusia biasa. Mata perlu ditahan biar tak
banjir karena gembira.
Beruntung baterai ponsel saya masih terisi sehingga saya bisa meminta foto
bersamanya. “Players need to stop & take pictures with fans, for you its
one second, for them it’s a lifetime,” tutur Alessandro Del Piero. Tepat
juga ungkapan pesepak bola asal Italia ini.
Beruntung lagi, wajah lelah saya tak lusuh-lusuh amat dalam foto yang alhamdulillah
tidak nge-blur. Jadi kalau saya ingin mencetaknya tak perlu di-edit.
Lebih beruntung lagi, saat saya memintak kontak pribadi Mbak Nong, dia berkenan
memberikan.
Sebagai penggemar berat, wajar kalau perkara maupun peristiwa seperti ini
terus melekat. Tak peduli Mbak Nong terus menerus menerima hinaan dan caci
maki, bagi saya dia adalah seberkas sinar pengantar saya untuk menerima segala
tatanan Sang Pencipta.
Ada masa-masa ketika saya menyadari kalau sosok seperti Mbak Nong
mendapatkan tekanan lebih daripada saya. Mbak Nong ikut serta dalam urusan
lingkungan di panggung utama, Jakarta. Hal ini membuatnya mudah mendapat
sorotan media (massa dan sosial).
Kenyataannya, karena dia lebih tua, dia berada dalam keadaan seperti itu
untuk jangka waktu yang lebih lama. Dan sepanjang waktu itu, nyaris tak ada
perubahan yang ‘membanting’ masa lalunya.
Banyak terjadi saat yang mengecewakan ketika akhirnya kita bertemu sosok
yang dikagumi, role model yang senantiasa memberi inspirasi. Kalau
perjumpaan dengan sosok yang dikagumi berlangsung pada saat yang tidak tepat,
rentan memberikan kesan yang melesat. Dan kejadian yang tidak diharapkan ini
akan mengubah pandangan terhadap role model tersebut.
Kita bisa berpikir kalau sosok yang dikagumi ternyata kurang ajar dan
angkuh, meski mungkin dia sedang mengalami saat yang tidak baik. Atau kita
telah memiliki gambaran tentangnya namun nyatanya dia tidak sesuai dengan
gambaran yang dimiliki. Perjumpaan kadang-kadang bisa mengubah bahkan ‘membanting’
sebuah hubungan. Apalagi saat sosok yang ingin dijumpai dianggap tidak dapat
memberi cukup perhatian.
Saya bersyukur perjumpaan pertama dengan Mbak Nong berlangsung pada saat
tepat. Mungkin saya gede rasa saja lantaran perjumpaan tersebut terasa istimewa
dikarenakan Mbak Nong tampak berusaha untuk tidak mengecewakan saya. Dan saya
tak pernah kecewa dengan perjumpaan itu sepertihalnya tak pernah kecewa menjadi
penggemarnya sejak mulai mengaguminya.
Kalau Mbak Nong tampak terlampau saya istimewakan seakan dipuja tanpa cela
karena dia memang selalu istimewa bagi saya. Mata yang cinta cenderung tumpul
dari cela. Apalagi selepas pertemuan pertama dengannya. Saya merasa
diperlakukan setara dengannya, tak menganggap saya sebagai penggemar yang bisa
semena-mena digunakan semau-maunya.
Wajar kalau saya memilih Guru yang
Menyapih sebagai judul catatan saya tentang cuplikan perjalanan dan untuk
Mbak Nong. Puan Aries ini hanya melangkah tanpa pernah meminta saya
mengikutinya alih-alih memaksa. Namun tanpa permintaan maupun pemaksaan, saya
merasa ingin mengikutinya.
Wajar juga kalau sampai saat ini saya tetap menggunakan Blogger
sebagai blog pribadi saya. Dulu saya berusaha mengenali diri maupun
gagasan Mbak Nong melalui Blogger-nya.
Lalu saya menirunya. Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling luhur dan dalam tanpa perlu
digaungkan dengan kata-kata.