Author: Nong Darol Mahmada
Selasa (18/12) jam 16.30 saya mendapat sms dari Pak Abdul Khobir, salah
seorang menantu KH. Ilyas Ruhiyat yang juga guru saya di SMA dulu: “Innalillahi
wainna ilaihi roji’un, telah wafat bapak kita tercinta Pak Ilyas Ruhiyat hari
ini di Cipasung Tasikmalaya. Mohon dimaafkan semua kesalahan dan
kekhilafannya”. Saya langsung membalas: “Allahummaghfirlahu warhamhu….”
KH Ilyas Ruhiyat, pimpinan Pesantren Cipasung dan mantan Rais ‘Am PBNU,
meninggal dunia di usia 73 tahun 11 bulan. Ia meninggal karena sakit stroke dan
penyakit komplikasi lainnya. Setelah sempat dirawat Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung selama 40 hari dan kemudian dipulangkan ke rumahnya Cipasung karena
dianggap kondisinya membaik. Namun kondisi itu hanya berlangsung dua minggu.
Dengan didampingi dua putrinya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu serta
beberapa santrinya, beliau menghembuskan nafas terakhir.
Di mata para santrinya dan kalangan nahdhiyin, pak Ilyas (sejak di
pesantren saya selalu memanggilnya Bapak) merupakan kiai besar atau dalam
istilah sunda ajeungan, yang penuh
kharisma dan sangat berwibawa. Pembawaannya yang kalem,
nada bicaranya yang sangat datar dan senyumnya yang selalu tersungging di
bibirnya merupakan ciri khas beliau. Dalam kepribadiaannya itu tersimpan
ketegasan dan kekonsistenannya dalam bersikap. Sejarah mencatat bagaimana sikap
beliau yang tidak mau terkooptasi kekuasaan saat beliau menjadi Rais ‘Am
mendampingi Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Muktamar di Cipasung tahun 1995.
Saat itu, negara begitu kuat mengintervensi semua ormas termasuk NU. Di tangan
pak Ilyas, NU bisa tetap bersikap independen meski terus di-kuyek kuyek. Pak Ilyas pun dikenal sebagai pribadi yang tidak
haus kekuasaan dan posisi. Meski ditawarkan untuk tetap menjabat Rais ‘Am, tapi
ia lebih memilih berhenti, konsentrasi ke pesantren, dan menyerahkan posisi itu
kepada KH. Sahal Mahfoudz.
Pak Ilyas memang tidak dikenal sebagai kiai yang banyak menulis,
melontarkan pendapat di media, atau sering menyampaikan pemikiran-pemikirannya
dalam seminar-seminar dan Konferensi namun, mengutip tulisan Ulil Abshar
Abdalla di milis Jaringan Islam Liberal, pak Ilyas adalah sebuah mazhab
tersendiri. Gaya kekiaian pak Ilyas adalah salah satu di antara corak kekiaian
yang berkembang dalam tubuh NU. Pesantren Cipasung yang diasuh olehnya
merupakan contoh pelaksanaan dari prinsip yang dikenal dan dihayati dalam NU, al-muhafazah ‘ala al-qadim
al-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid
al-aslah, memelihara yang lama yang baik,
menyerap yang baru yang lebih baik.
Saya mengamini pernyataan Ulil ini. Pak Ilyas tidak pernah alergi dan
sangat terbuka menerima gagasan progressif dan baru yang datang dari luar.
Apalagi gagasan itu untuk memajukan pemikiran santrinya dan kesejahteraan
masyarakat di sekitar pesantren. Setiap tamu dari kalangan mana pun, NU atau
non NU, Islam atau non Islam, pasti disambutnya dengan ramah. Makanya tak aneh
bila di lingkungan Pesantren Cipasung banyak santri dan pengurus pesantren,
termasuk anak-anaknya pak Ilyas, yang aktif di LSM-LSM yang bergerak dalam pemikiran
dan pemberdayaan masyarakat. Di sini, santri dikondisikan tak hanya belajar
mengaji saja tapi juga dituntut berpikir kritis dan menjadi aktivis.
Saya beruntung karena selama saya nyantri di Cipasung enam tahun saya
tinggal di rumah beliau, di Asrama Esa. Saya bisa melihat secara langsung
bagaimana pak Ilyas menjalankan kehidupan rumah tangganya, mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya serta “mencuri” dengar setiap pembicaraan dengan
tamu-tamunya. Sebagai santri yang masih junior, saya belum banyak mengerti dan
belum sempat diajar ngaji langsung olehnya. Sebagaimana layaknya kyai besar,
pak Ilyas hanya memegang santri kelas advent
dan pengajian khusus kyai-kyai seluruh Tasikmalaya. Hubungan saya dengannya
seperti ayah dan anak. Kalau saya dianggap “nakal” olehnya pasti saya dimarahi
langsung.
Ibu Hj Dedeh Fuadah, istri pak Ilyas yang meninggal enam bulan lalu (allahumaghfirlaha), buat saya sudah
seperti ibu sendiri. Beliaulah yang menjadi guru mengaji pertama saya di
pesantren ini. Kepada isterinya ini, pak Ilyas sangat mencintai dan
menyayanginya sampai akhir hayatnya.
Sebagai seorang ayah, saya melihat, Pak Ilyas merupakan figur ayah yang
moderat dan toleran bahkan sangat moderen untuk ukuran kyai NU. Biasanya
seorang kyai besar yang memiliki pesantren besar seperti beliau ini “memaksa”
anak-anaknya hanya belajar di pesantren dan kuliah di sekolah agama misalnya
IAIN atau perguruan tinggi di Timur Tengah, agar menguasai ilmu-ilmu agama
supaya bisa melanjutkan posisinya. Atau untuk anak perempuannya, dijodohkan
atau dianjurkan menikah dengan anak kyai besar dan pintar mengaji. Tradisi
seperti ini biasa kita lihat dalam pola pendidikan dan cara pernikahan di
keluarga pesantren-pesantren besar di NU.
Namun hal itu tidak terjadi dalam keluarga pak Ilyas. Anaknya yang pertama,
Acep Zam Zam Noor dikenal sebagai seniman, pelukis dan penyair besar lulusan
seni rupa ITB. Ia menikah dengan perempuan dari keluarga yang tak berbasis
pesantren. Dua anak perempuannya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu kuliah
di IKIP Bandung dan bersuami bukan berlatar belakang pendidikan pesantren.
Meski tak menguasai kitab kuning dan hanya berpendidikan sekuler, anak-anak dan
menantunya kini bahu membahu memajukan Pesantren Cipasung.
Satu hal lagi kesan mendalam saya ketika nyantri di Cipasung adalah
hubungan yang sangat baik antara Pesantren Cipasung dan umat Ahmadiyah. Hal ini
dikarenakan sikap pluralis dan toleran pak Ilyas dalam membina hubungan dengan
masyarakat sekitarnya termasuk dengan umat Ahmadiyah. Sekitar 500 meter dari
pesantren Cipasung berdiri komplek pemukiman Ahmadiyah. Dulu, saya sering iseng
main ke tempat itu. Ketika Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, pemukiman ini
juga dijadikan tempat menginap bagi sebagian peserta muktamar. Bila Ahmadiyah
dianggap sesat dan salah, semestinya dari dulu pak Ilyas dan pesantren Cipasung
sudah menyesatkannya dan berdakwah untuk mengembalikan akidah umat Ahmadiyah di
situ. Tapi hal itu tak terjadi. Malah saya melihat hubungan antara mereka dari
dulu sangat harmonis. Bahkan ada kerabat dekat pak Ilyas dari turunan ayahnya
yang menjadi kaum Ahmadi.
Namun sekarang hubungan baik yang sudah terjalin lama itu dihancurkan
dengan adanya penyerangan oleh kelompok yang merasa akidah dan dirinya paling
benar. Ironisnya penyerangan kaum Ahmadi saat itu dilakukan ketika keluarga
besar Cipasung sedang dirundung duka karena Ibu Hj Dedeh Fuadah, isteri
tercinta pak Ilyas meninggal Juni lalu. Ini betul-betul memperlihatkan bahwa
yang melakukan penyerangan itu adalah bukanlah orang Tasikmalaya atau
masyarakat sekitarnya. Saya perlu menyinggung hal ini karena untuk mengingatkan
kembali sikap pak Ilyas yang sangat toleran terhadap umat Ahmadiyah di saat
kelompok ini sekarang sedang dalam proses penghabisan oleh kelompok-kelompok
yang merasa paling benar.
Kini kita kehilangan ajeungan yang menjadi panutan untuk semuanya. Ribuan
orang berduyun-duyun menghantar kepergiannya. Proses pemakamannya dilakukan
dengan estafet dari mesjid ke komplek pemakaman yang berjarak 300 meter dan
menghabiskan waktu sekitar satu jam. Beberapa orang bersaksi bahwa langit pun
ikut serta menghantarkan kepergiannya ke rumah abadinya. Terlihat di langit ada
pelangi yang sangat indah, meski saat itu hujan tak turun.
Rabu malam kemarin saya mendapat sms dari Pak Khobir lagi: “Semoga anak-anak dan cucu-cucunya bisa meneruskan
perjuangan beliau.” Saya kira, tak hanya anak dan
cucunya yang harus meneruskan perjuangannya, kita juga wajib turut
meneruskannya dan mencontoh sikap dan tindakannya untuk kelangsungan hidup
bangsa ini.
Note
Atikel ini diterbitkan melalui
blog Nong Darol Mahmada pada 22
Desember 2007. [lihat]