— mengenang sahabat yang hebat
Tidak
banyak brand musik yang saya suka,
dalam arti beberapa hal terkait bisa
diingat seluruhnya meski tidak dihafal seutuhnya. Walakin dari yang tidak
banyak itu, sebagian bisa menjadi perekam perjalanan yang telah berlalu. Salah
satunya ialah lagu Hipnotis dari
Indah Dewi Pertiwi, yang membuat saya teringat pada Novi Khoirunnisa
Kurniawati. Saat sedang dhemen
mendengarkan lagu ini, memang bersamaan dengan awal perkenalan saya dan Novi.
Hanya saja bukan IDP penghibur favoritnya, Asmirandah katanya yang disuka
olehnya.
Kebersamaan
kami sudah lama teranyam, sejak Idul Adha 2011 silam. Moment tersebut menjadi Idul Adha terakhir saya di MUS-YQ, dan
memilih merayakannya di pesantren ini. Sembari menikmati kebersamaan dengan
teman-teman pesantren, Novi dan saya berkenalan satu sama lain.
Tembakan
awal Novi bahwa saya tipikal egois, barangkali tampak sadis. Namun perkenalan
dengan jalan seperti ini kerap membangun kebersamaan yang manis. Soalnya ada
sedikit keterusterangan dalam mengungkapkan, hatta pernyataan yang dirasa tidak elok diucapkan. Malah hal inilah
yang memberikan perasaan nyaman saat Novi dan saya terlibat obrolan. Obrolan yang dialami membuat saya merasa
dirinya adalah sosok bersahabat. Sosok yang peduli untuk menjadi penghibur
sekaligus pengingat dalam banyak hal yang diperbuat.
Novi
dan saya sebenarnya tak sering-sering amat dalam terlibat obrolan. Namun dia
adalah satu-satunya partner mbacot
pertengahan 2012 silam, yang buat saya merupakan sejenis perlintasan perubahan.
Biasanya pada masa-masa seperti ini saya banyak berungkap grenengan—sesuatu yang dipendam dalam batin. Pada masa-masa seperti
inilah koreksi diri terjadi besar-besaran. Mulai dari yang bersifat menguatkan,
meruntuhkan, atau sekadar mempertahankan. Belakangan baru saya mengerti kalau
hal semacam ini disebut dialektika. Hal ini diketahui dari perkenalan verbal dengan Tan Malaka.
Kebetulan
Novi memiliki peran penting buat saya sepanjang menelisik perjalanan epik sosok
kelahrian Minang tersebut. Peran penting yang membuat sumbangan Novi tak mudah
dicabut. Soalnya Tan Malaka sendiri punya kapling permanen dalam kalbu.
Sementara Novi menjadi sosok yang membantu membuka kapling itu.
Novi
mulai tahu kalau saya mengagumi Bapak Republik yang Terlupakan ini setelah
sesekali tersebut namanya dalam obrolan maupun pesan pendek sepanjang kami
berinteraksi. Satu waktu dia memberi informasi kalau melihat buku tentang Tan
Malaka karangan Harry Albert Poeze. Tanpa jeda langsung saya minta tolong untuk
dibelikan. Tak tanggung-tanggung, empat jilid sekalian. Malahan belakangan saya
minta tolong untuk dibantu mencari jilid lainnya, sayang sampai saat ini belum
kesampaian. Tertanggal 11 Juni 2014 buku Tan
Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia sampai melalui jasa pengiriman
barang sesuai pesanan.
Uniknya,
setelah masa “bulan madu” dengan Tan Malaka usai, interaksi dengan Novi
berkurang pelan-pelan. Interaksi mulai berkurang hanya karena kami sedang sibuk
dengan dunia masing-masing. Soalnya tak dilatarbelakangi satupun perselisihan.
Apalagi ketika kembali berinteraksi, rasanya tak ada satupun yang pernah
berpaling.
Selain
Tan Malaka, Novi juga tahu beberapa sosok lain yang saya suka. Bukan sekadar
sosok yang dianggap besar, melainkan juga sosok yang dipandang kecil. Contoh
paling bagus ialah Yuli Rachmawati (Jupe) dan Dewi Murya Agung (Depe). Saking
tahunya sesekali dirinya suka usil, dengan mengirim pesan pendek saat salah
satu atau kedua sosok ini sedang tampil di televisi.
Keusilan
Novi terkait hal ini memuncak ketika Jupe dan Depe sedang terlibat perkelahian.
Dengan nada bercanda, Novi bertanya saya memihak siapa. Tentu tak memihak salah
satunya, “Auukkk ah,” kira-kira
demikian tanggapan saya ketika pertanyaan usil itu dilontarkan. Pasalnya Jupe
dan Depe sama-sama saya kagumi dengan pemujaan yang setara terhadap keduanya.
Jupe dan Depe mungkin bukan sosok istimewa untuk dijadikan sebagai panutan.
Hanya saja keduanya berhasil menekan sifat arogan dengan membuat saya merasa bukan
siapa-siapa di depannya.
Seberapa
banyak sosok yang saya kagumi diketahui Novi tak terlampau penting amat. Yang
jelas dia bisa mengerti dengan bagus kalau mereka tetap melekat. Bahkan saat
tak sedang selaras dalam berpendapat. Satu hal penting dari Novi ialah dirinya
bisa membaca pandangan saya (cara, sudut, jarak, sisi, resolusi). Meski tak
pernah ada pernyataan tersurat darinya mengenai hal ini, dalam beberapa
ungkapan yang diucapkan saya tak bisa menyangkalnya. Malah perubahan pandangan
saya pun bisa dilihatnya.
Pembacaan
terhadap pandangan tersebut barangkali yang membuat Novi menjadi sosok manis.
Dirinya tak canggung dalam bersikap kritis namun tak terasa sadis, atau bisa
disebut Novi itu kritis dan etis. Hal inilah yang paling saya rasakan darinya
dan kurang saya dapatkan dari beberapa sosok lainnya. Sebagian orang bisa
bersikap kritis, namun nyaris tak etis, juga sebaliknya.
Mungkin
terlalu gede rasa saja kalau menyangka Novi sebagai sahabat saya. Bisa jadi
segala kesan yang saya rasakan didapatkan orang-orang lain di sekitarnya.
Apalagi banyaknya interaksi antara kami tak sebanding dengan perjumpaan yang
dialami. Sampai saat ini, seluruh perjumpaan Novi dengan saya masih bisa
dihitung jari.
Wajar saja, perkenalan kami terjadi ketika
masih sama-sama nyantri. Lalu selepas
lulus MA, kami melanjutkan jenjang pendidikan tinggi di kota yang berbeda. Novi
kuliah di UIN Sunan Kalijaga, sementara saya di UPI. Kuliahnya terbilang
normal, dalam arti tidak lulus melebihi waktu normalnya S1, 4 tahun. Novi
mengakhiri kuliahnya di program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan
skripsi mengenai lingkungan (maksudnya
lingkungan alam selain pergaulan sosial manusia).
Upaya yang dilakukan oleh Novi untuk
mengaitkan pelajaran PAI dengan topik lingkungan sangat layak diapresiasi. Salah satu
tantangan dalam mengaitkan muatan pelajaran dengan topik tertentu ialah dengan
menunjukkan teknis pelaksanaan (praktiknya).
Tantangan tersebut bisa dijawab Novi
secara bagus, berupa melihat penerapan Program Adiwiyata di SMPN 2 Kalasan lalu mengaitkan
dengan muatan Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan rasa cinta terhadap
lingkungan. Tentunya penuturan yang ditulis melalui skripsi tersebut baru usaha
awal, yang tak menutup kemungkinan untuk ditindaklanjuti lagi oleh dirinya
sendiri maupun orang lain. Just the
beginning.
Kalau saya tak salah arah dalam
mengambil kesan, melalui skripsinya Novi ingin berpesan bahwa Islam mempunyai
ajaran kasih tanpa pilih kasih «رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ». Salah satu bentuknya
ialah melawan kesewenang-wenangan, seperti kesewenang-wenangan terhadap
lingkungan. Terus terang ketika melihat kata lingkungan dalam judulnya saya
tersenyum.
Wajar kalau bisa membacanya dengan
cepat dan banyak bagian yang diingat. Soalnya Novi bisa keluar dari persoalan
daur ulang berulang-ulang, seperti budaya lokal, bentuk negara, serta hak asasi
manusia (HAM). Secara langsung wanita penggemar Asmirandah ini menerapkan
kaidah fikih berupa: «إختلاف الأئمة رحمة للأمة ولكن الخروج من الخلاف مستحب».
Pembahasan skripsi ini sendiri
dimulai dari persoalan hampir tak ada kepedulian manusia terhadap lingkungan
sekitar serta perubahan pandangan masyarakat terhadap SMP N 2 Kalasan terkait
lingkungan. Dari sini Novi mulai berupaya membahas kaitannya dengan muatan
pelajaran PAI dalam meningkatkan rasa cinta terhadap lingkungan.
Meski terdapat beberapa salah ketik
dan tulis, secara keseluruhan penuturannya bagus: runut dari awal sampai akhir
serta seluruh istilah yang dijelaskan secara rapi dan rinci. Memang penuturan
tampak panjang serta analisis terasa kurang gereget, walakin namanya skripsi
yang penting lulus bukan?
Melalui pesan yang saya tangkap dari
skripsi ini, ajaran Islam bisa berguna untuk semua jika tak melupakan lingkungan.
Keadaan manusia sebagai bagian dari alam raya perlu ditekankan (tak hanya
ditunjukkan) sebagai upaya untuk melaksanakan tugas pengelolaan di planet bumi (khalifah fi al-ardh). Keadaan ini
ditandai dengan kebutuhan manusia terhadap lingkungan, misalnya untuk bernafas.
Walau kebutuhan ini disadari namun kesadaran jarang menjadi penggerak untuk
peduli dalam merawat lingkungan.
Kalau pesan yang disampaikan oleh
Novi melalui skripsinya ini ditindaklanjuti secara serius, bisa menjadi semacam
tawaran kegiatan untuk tak melulu mempersoalkan khilafiyyat yang ngeselin
bangetz macem bacaan qunut hingga daar al-Islam. Khilafiyyat
sejenis demikian tak perlu diperdebatkan selama tak mengacaukan pergaulan
lantaran masing-masing penganutnya sudah memiliki dalil dan dalih sendiri yang
dianggap menguatkan. Tak perlu mempermasalahkan pemakaian jilbab maupun
pemimpin tak beragama Islam, yang penting kita semua rajin kerja bakti agar
lingkungan sekitar tetap asri, kira-kira sejenis demikian kalau diterapkan.
Cinta yang perlu dibuahkan sebagai
manusia bukan saja cinta yang tertuju kepada sesama manusia saja, seperti
pacaran dan persahabatan. Membuahkan cinta terhadap sesama manusia memang
perlu, namun tak lengkap tanpa dibuahkan kepada lingkungan. Dulu Kiai Achmad
Siddiq merumuskan tiga bentuk persaudaraan yang saling terkait: ukhuwah islamiyah, wathaniyyah, dan basyariyah.
Dari gagasan ini Novi menangkap sisi berlubang yang perlu diisi biar tak
kurang, sebut saja ukhuwah khalqiyyah
(persaudaraan antar ciptaan Allah).
Farid Esack, cendekiawan asal Afrika Selatan, membagi hubungan seseorang
dengan Al-Quran ke dalam enam bentuk. Farid mengumpamakan interaksi seseorang
dengan Al-Quran bagaikan hubungan antara Pecinta (lover) dengan
Kekasihnya (beloved). Keenam bentuk itu adalah: the uncritical lover
(pecinta buta), the scholarly lover (pecinta ilmiah), the critical
lover (pecinta kritis), the friend of lover (kerabat pecinta), the
voyeur (para pengintai), dan the polemicst (para pembantah).
Bentuk pertama, yaitu the uncritical lover (pecinta buta). Mereka
yang tergolong ke dalam bentuk ini memperlakukan Al-Quran sebagai kitab sakral.
Bentuk pertama ini mengukuhkan kesucian Al-Quran tanpa kajian. Sehingga mereka
merasa tak perlu mempertanyakan apapun dalam Al-Quran dan tak pernah tahu apa
makna dan kegunaannya.
Bentuk kedua adalah the scholarly lover (pecinta ilmiah). Para
Pecinta Ilmiah berupaya melakukan kajian untuk memperkaya pemahaman mengenai
Al-Quran. Melalui pemahaman ini mereka berupaya menjelaskan mengenai
keistimewaan-keistimewaan Al-Quran sembari mengajak agar setiap pihak menerima
keistimewaan tersebut. Bentuk kedua ini berupaya mengukuhkan kesucian Al-Quran
dengan argumen ilmiah.
Bentuk ketiga adalah para the critical lover (pecinta kritis).
Pecinta kritis tak ragu bersikap kritis atas beragam permasalahan yang termuat
di dalam Al-Quran. Pecinta kritis berusaha memberikan pemahaman lain mengenai
Al-Quran. Sehingga seringkali para penafsir dalam seperti ini mendapat kecaman
dan kerap dipertanyakan rasa kecintaannya terhadap Al-Quran.
Bentuk keempat adalah the friend of lover (kerabat pecinta). Kerabat
pecinta ini berupaya menunjukkan empatinya terhadap Al-Quran tanpa rasa sungkan
menampakkan kekaguman mereka terhahadap kitab mulia umat Islam tersebut. Mereka
turut melakukan kajian kritis namun dalam pengungkapan pendapatnya diberikan
dengan cara yang simpatik dan empatik.
Bentuk kelima adalah the voyeur (para pengintai). Mereka adalah para
pengkaji Al-Quran yang mengkritis habis Al-Quran secara membabi-buta. Mereka
biasa bersikap negatif terhadap Al-Quran namun kadang masih mengakui sisi positif
Al-Quran selama diungkapkan dengan alasan yang meyakinkan.
Bentuk keenam adalah the polemicst
(para pembantah). Para pembantah berupaya melakukan studi tentang Al-Quran yang
hanya mengungkap sisi-sisi lemahnya saja. Mereka membaca dan memandang Al-Quran
dengan nada sumbang yang terus bersikap antipati pada Al-Quran.
Mengadopsi gagasan Farid tersebut, dalam mengaitkan diri dengan program
studinya, Novi cenderung berada pada posisi scholarly
lover. Novi tampak ingin menunjukkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI)
sebagai mata pelajaran di sekolah memiliki keunggulan dibanding mata pelajaran
lain. Hal ini terlihat dari penuturannya, “Melalui ranah Pendidikan Agama
Islam, siswa dibekali ilmu dan pengetahuan tentang kebijakan alam serta
keteraturan alam semesta.” Pula dari seluruh penuturannya, Novi ingin
menunjukkan bahwa pembahasan PAI tak hanya berkaitan dengan topik kekunoan, misalnya Negara Madinah,
melainkan juga topik kekinian,
misalnya lingkungan.
Kami memang tak selalu bersama. Malahan tak jarang berbeda pandangan, kadang berlawanan, namun semua itu tak menghancurkan
persahabatan yang cukup lama bermula. Mungkin
gede rasa saja kalau menyebutnya sebagai sahabat, lantaran bisa jadi buatnya
saya bukan siapa-siapa. Yang jelas, ada semacam
rasa sama antara saya dengan Novi. Rasa sama itulah yang mungkin
membikin saya merasa dekat dengan wanita kelahiran 17 November 1994 ini.
Secara pribadi, Novi termasuk
sosok yang menginspirasi saya untuk yakin diri
tanpa merendahkan liyan, tak melayang dengan pujian, maupun tak mati
oleh ragam cacian. Dalam beberapa kesempatan, dirinya juga terasa berusaha membersarkan hati saya. Membesarkan
hati saya sebagai pemacu untuk segera bangkit dari dalam waktu singkat keterpurukan.
Beberapa kali Novi membesarkan
hati saya. Tentu saya
harus tahu diri. Saya cuma laki yang tak bisa membesarkan hati wanita. Saya belum
pernah merasakan sakitnya datang bulan, mengandung bayi, menyusui bayi,
mengasuh anak dengan penuh kasih sayang, karena memang tak akan merasakan sendiri
pengalaman yang sudah dan akan dirasakan oleh Novi.