Author: Nong Darol Mahmada
Ketika saya pertama kali membaca kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang
terjadi pada YY beberapa waktu lalu, saya tak bisa tidur. Saya menangis dan
terus berdoa untuk YY dan para korban sepertinya.
Saya akui, saya memang terlalu emosional. Mungkin karena saya seorang ibu
dan punya anak yang dua-duanya perempuan. Terus terang, kasus ini menjadi teror
buat saya. Terbayang terus menerus wajah YY yang masih belia tak berdaya dan
kesakitan karena diserang dan diperkosa 14 laki-laki, 7 di antaranya masih di
bawah usia dewasa, tapi kelakuannya sadis dan tak punya nurani. Tak hanya
diperkosa keroyokan, YY pun disiksa sampai meninggal dan tubuhnya yang sudah
tak bernyawa itu dibuang ke jurang.
Sedihnya lagi, peristiwa ini baru diketahui publik setelah sebulan
kejadiannya. Setelah peristiwa ini ramai muncul pelbagai tulisan yang
menjelaskan situasi sosial tempat kejadian perkara. Salah satunya ada yang
mengatakan, di tempat peristiwanya, yakni Rejang Lebong Bengkulu, peristiwa
pemerkosaan merupakan hal yang biasa terjadi. Penyebabnya karena kemiskinan,
pendidikan yang rendah, pengangguran, minuman keras dan lainnya.
Bisa dibilang daerah YY adalah “daerah merah”. Minuman keras kemudian
dijadikan kambing hitam karena pelaku pemerkosaan terhadap YY terjadi
setelah para pelaku melakukan pesta miras. Buat saya kondisi seperti itu
tak bisa dijadikan causa prima kasus pemerkosaan itu terjadi.
Bahkan ketua komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrori
Niam, berkata nyaring menyalahkan minuman keras sebagai penyebab
pemerkosaan. Tak hanya Niam, berbondong-bondong para aktivis legalisasi anti
minuman keras menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk mendorong pengesahan
RUU pelarangan minuman keras. Ini jelas-jelas ngawur, mengaburkan
persoalan dan tidak adil untuk korban.
Ada juga pernyataan dari salah satu wakil rakyat kita yang menyalahkan
korban karena berjalan sendirian. Ini lebih ngawur lagi. Sudah menjadi
korban disalahkan lagi.
Menurut saya, persoalan miras bukanlah penyebab utama terjadinya
pemerkosaan. Banyak bukti menunjukkan hal tersebut. Salah satu contoh misalnya
di Aceh. Daerah yang menerapkan Syariat Islam ini pastinya melarang minuman
keras dan kewajiban pakaian tertutup untuk perempuan. Namun apa yang terjadi?
Justru kejadian kekerasan seksual paling tinggi kejadiannya di Aceh dibanding
di daerah lainnya.
Secara keseluruhan, data yang dikumpulkan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, sepanjang tahun 2015
tercatat 16.217 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya
pemerkosaan. Dari tahun 2001-2012, data Komnas Perempuan menunjukkan, setiap
dua jam ada tiga perempuan, termasuk anak-anak di bawah umur, menjadi korban
kekerasan seksual. Ini benar-benar mengerikan!
Data di atas memperlihatkan kekerasan terhadap perempuan adalah bagian dari
keseharian banyak perempuan dalam masyarakat kita. Kenapa begitu? Karena budaya
kita masih kuat dengan cara pandang maskulin yang menganggap perempuan adalah
obyek seks. Ini yang disebut budaya patriarkhi. Budaya patriarki ini telah
menguasai dan mengungkung cara berpikir dan bertindak, dengan tidak
mengakomodasi kesetaraan jenis kelamin. Hubungan laki-laki dan perempuan
menjadi hubungan subordinasi, dalam wujud dominasi laki-laki terhadap perempuan
di berbagai level.
Pertanyaannya, apakah korban pemerkosaan seperti dalam kasus YY dan jutaan
kasus pemerkosaan lainnya akan mendapat keadilan? Tentu jawabannya akan sulit
untuk korban mendapat keadilan selama budaya patriarkhi masih kuat dalam
masyarakat kita. Alih-alih korban dilindungi, malah distigma. Bahkan kita
sering mendengar tentang ketidakberpihakan pejabat publik, aparat dan perangkat
hukum kepada korban.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, korban kerap malah yang
dipersalahkan. Seperti dalam kasus YY misalnya disalahkan karena berjalan
sendirian. Dalam banyak kasus lainnya yang disalahkan adalah cara berpakaian
perempuan, yang terbuka dan dianggap menggoda.
Bahkan yang paling parah lagi adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh
8 laki-laki di Aceh. Alih-alih korbannya dilindungi, malah dia dihukum cambuk.
Yang lebih gila lagi, ada pernyataan dari Bupati di Aceh Barat yang mengatakan
perempuan yang tidak berpakaian sesuai Syariah Islam layak diperkosa.
Ada banyak hal atau pekerjaan yang mesti diselesaikan bangsa ini terkait
keadilan untuk korban. Selain bagaimana mengubah mind set, paradigm,
cara pandang yang patriarkis yang sudah berakar kuat di masyarakat menjadi lebih
menghargai dan menghormati perempuan, juga dibutuhkan payung hukum yang
benar-benar berpihak pada korban.
Di sinilah pentingnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) secepatnya
disahkan, bukan RUU pelarangan minuman keras. Dalam UU PKS ini ada upaya, cara,
usaha mengubah pandangan dan perilaku penegak hukum, pembuat kebijakan dan
masyarakat umum tentang kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan
sekedar masalah susila.
Yang paling penting lagi, UU ini mengatur proses penyidikan dan peradilan
yang berpihak pada korban. Dalam UU ini dikatakan secara tegas bahwa tindakan
pemerkosaan dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Karena itu pelaku
kejahatan kekerasan seksual pastinya mendapatkan hukuman yang setimpal akibat
perbuatannya itu. Undang-undang ini diharapkan bisa memberikan keadilan untuk
korban meski kehidupan yang sudah direnggut oleh si pemerkosa tak mungkin bisa
kembali.
Note