— memang manusia biasa, hanya saja istimewa
Berkali-kali
kajian keilmuan dibuldoser dengan pandangan tertentu. Para pelaku buldoser itu
berlaku seolah-olah Mûsâ bin Amram menghujat Fir’aun [فرعون atau Pharaoh] era
Mûsâ (Ramesses II?). Meskipun mereka belum tentu seperti Mûsâ, dan yang dihujat
belum tentu seperti Fir’aun. Tentu dengan menggunakan cara semacam ini sulit
untuk menciptakan keharmonisan lingkungan.
Biasanya para
pelaku buldoser ini adalah manusia yang memiliki sikap fanatik terhadap
pandangan sempit, sehingga manusia yang berbeda—apalagi berlawanan—dengan
pandangannya disebut dengan ungkapan tak mengenakkan perasaan. Seringkali
manusia seperti itu begitu membenci mereka yang disebut dengan ungkapan perisak
ruang rasa. Tak jarang kebencian dilampiaskan dengan tindakan merusak. Rasa
sama sebagai manusia telah luntur tergusur oleh lekatnya pandangan yang terlalu
diyakini kebenarannya.
Mbak Nong
telah banyak mengalami sendiri rasanya mendapat perlakukan oleh para pelaku
buldoser itu. Wanita yang mengagumi Fatima Mernissi ini juga terlanjur akrab
dengan berbagai fitnah yang dialamatkan pada dirinya selalu. Setahu saya dan
menurut pengakuannya, Mbak Nong adalah pemeluk Islam. Namun saya tidak tahu
menahu dan tidak perlu mencari tahu seberapa besar kadar ke-Islam-an Mbak Nong.
Dalam kitab
mulia al-Quran [القرآن الكريم] dituturkan:
يا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ۞ [القرآن الكريم سورة
البقرة : ٢٠٨]
Kata كَافَّةً mungkin
memiliki banyak penafsiran. Mbak Nong tentu memiliki penafsiran tersendiri
tentang kata tersebut.
Mbak Nong
termasuk sosok yang menarik perhatian banyak kalangan, antara lain melalui
catatan yang diterbitkan olehnya. Beberapa catatannya memantik semangat catatan
lain untuk menanggapi guna memberi dukungan dan tolakan dengan cara yang sama
dalam beragam bentuk yang tersedia. Sebagian lainnya menggunakan cara kejam
dalam menanggapi, seperti berungkap semaunya dan bersikap tanpa memiliki rasa
sama terhadap sesama manusia.
Bila
menyempatkan waktu untuk sejenak membaca kemudian menelaahnya, catatan Mbak
Nong tak terlampau megah dalam hal pembaruan gagasan. Namun melalui catatan
yang ditampilkan, dapat dilihat keterkaitan pengalaman personal dan pergaulan
sosial dengan wawasan keilmuan dengan. Catatan Mbak Nong banyak memuat cupilkan kajian
lintas ruang dan waktu, menampakkan perjalanan gagasan sejak zaman kekunoan hingga kekinian.
Membaca
catatan Mbak Nong seakan
berhadapan dengan sebuah peta yang disusun mengagumkan. Walau tak selalu
sepakat dengan cuplikan yang dimuat, khazanah keilmuan yang dia lumat
ditunjukkan.
Melalui lumatannya Mbak
Nong berupaya mengaitkan dengan pengalamannya sendiri maupun pergaulan yang
dihadapi. Dari sini dia mulai berani berunjuk gagasan untuk ikut serta
membangun lingkungan.
Dengan demikian, tampak jelas perjalanan
gagasan tidak seperti terpenggal dan sebuah kajian tak lepas dari lingkungan
sosial dan pengalaman personal. Pada
aspek cara inilah Mbak Nong amat menawan dan sangat istimewa
buat saya. Penuturan berisi dan tertata rapi disertai keterkaitan dengan kecenderungan
keadaan yang ada menjadi cara kesukaan saya ketika membuat catatan. Itu tak
lepas dari pengaruh Mbak Nong.
Mbak Nong tanpa sengaja telah mengajarkan pada saya
mengenai ijtihād. Ijtihād buat saya merupakan upaya untuk
mempertahankan kaitan antara landasan agama dengan pergaulan sosial dan
perjalanan personal. Upaya tersebut membuat ruang ijtihād terbuka menganga untuk semua orang, dipandang high intellectual maupun low intellectual, dianggap sebagai sosok
scholar maupun sosok popular.
Mengenai hasil ijtihād,
tinggal diserahkan pada lingkungan. Kalau hasil ijtihād tersebut dipandang berguna untuk ruang rasa tanpa merisak
ruang rasa manusia lainnya, tak masalah ijtihād
tersebut mendapatkan penerimaan. Kalau tak dianggap demikian, cukup diabaikan
saja. Sehingga tanpa perlu bertindak kejam, ijtihād
yang diabaikan akan mangkrak tak mengalami perkembangan.
Lebih lanjut, cara yang ditunjukkan Mbak Nong dalam
menafsirkan al-Quran membuat pembedaan pendekatan aqliyyah dan naqliyyah
tampak sirna buat saya. Pendekatan naqliyyah
biasa memaknai teks dengan merujuk sumber-sumber tekstual dalam mengambil
kesimpulan. Namun dalam praktiknya, proses pengambilan kesimpulan tersebut
kemampuan akal juga berpadu persama. Ketika teks al-Quran dibaca, tentu akal
ikut serta nego dengannya, membentuk
ruang tersendiri ketika akal menyediakan cakupan dan teks Alquran memberikan
batasan.
Pengaruh Mbak Nong yang paling megah buat saya ialah
dalam memandang sebuah persoalan perlu ditilik dari beberapa sisi, paling tidak
dari dua sisi yang saling dipertentangkan. Misalnya dalam persoalan `Ādam ketika
memetikkan buah terlarang untuk menuruti kemauan Hawa. Sebagian kalangan girang
betul menyebut Hawa adalah biang keladi terusirnya manusia dari Surga dan
terdampar di planet Bumi hingga perbuatan tersebut dianggap sebagai kesalahan.
Namun tanpa kemauan Hawa itu, tujuan awal penciptaan manusia sebagai khalīfah di Bumi bisa jadi tak akan
terlaksana.
Tanpa ada perbuatan tersebut, mungkin Hawa dan `Ādam
selamanya menjadi penghuni surga. Barangkali pula ungkapan bahwa “wanita tak
pernah salah” ada tepatnya, karena dari peristiwa Hawa bisa dilihat
kesalahannya pun memiliki kebenaran. Pula menunjukkan bahwa sejak awal pria
memiliki sisi lemah terhadap wanita. Tak dimungkiri wanita sanggup membuat pria
merangkak di hadapannya untuk memohon kasih sayang dengan penuh rasa sumringah,
selantang apapun pandangan rendah terhadap wanita digaungkan.
Dengan atau tanpa sadar, pada titik ini pria justru
berlaku lebih rendah di hapan wanita. Tak salah kalau salah satu bagian tubuh
wanita iberi nama dengan mencuplik asmā’ Allāh al-ḥusnā, ialah Raḥīm [رحيم]. Dengan atau tanpa sadar
pula, pada titik ini Mbak Nong dengan gagah meluruhkan pengaruh pada saya.
Pengaruh untuk tak lelah menebarkan sifat raḥīm,
melawan perbuatan zalim.
Mungkin Mbak Nong tak semenawan Aspasia dalam berjuang
bersama Periklēs membangung lingkungan. Barangkali Mbak Nong tak segagah
‘Ā’isha [عائشة] dalam menggerakkan kerumunan untuk bertarung di medan
peperangan. Bolehlah Mbak Nong tak sepenting Ḥafṣah [حفصة] dalam berperan
menyusun teks al-Qur’an. Bisa jadi segala usahanya tak berdampak banyak laiknya
Émilie du Châtelet dalam mengembangkan gagasan.
Walau demikian, Mbak Nong tetap menempati kapling
permanen dalam kalbu. Kita bisa berbeda pandangan, tak dimungkiri kadang
berlawanan, namun Mbak Nong tetap wanita yang laras, panutan yang pantas. Buat
Mbak Nong, semoga keteladanan darimu sepanjang mengayuh perjalanan membuahkan riḍhā Allah selalu.
Bandung, 23 Maret 2017.
Alobatnic, never ever
ending admiring.