— kirana persembahan dari surga
Saya sedang menonton sinteron Cinta
Indah malam itu ketika Tata mengirim SMS ke ponsel saya.
“Mas, besok
kamu mau nggak makan bareng aku dan Leily?” ungkap Tata memula obrolan
melalui SMS malam itu.
Sejak pertemuan pertama kami di
rumah Leily Selasa Pon 06 Syawal 1941 (1429) 07 Oktober 2008, Tata memanggil
saya dengan tambahan ‘mas’. Sebelumnya dia biasa menyapa sesuai nama panggilan
saya saja, tanpa embel-embel apapun. Entah siapa yang memulai, Tata atau Leily,
yang jelas sejak saat itu pula keduanya konsisten selalu menyapa saya dengan
sapaan ini.
Saya sendiri lebih suka disapa nama
panggilan saja tanpa perlu diimbuhi ‘mas’. Kesannya ada gap ketika
mereka menyapa saya seperti itu. Tak dimungkiri usia saya lebih tua daripada
mereka walakin tak ada salahnya bukan hanya memanggil nama saja? Walau
demikian, saya biasa saja disapa dengan cara apa saja yang disukai penyapa.
Kalau orang lain merasa nyaman menyapa demikian, buat apa saya merisaukan?
Belakangan Hida juga mengikuti
mereka meski saya dan Hida sama-sama kelahiran 1994. Maklum, Hida turut hadir
ketika hubungan Tata, Leily, dan saya terbilang mapan. Saya tetap menyapa Tata
dan Leily seperti biasa, tanpa embel-embel ‘dek’, seperti halnya saya menyapa
Hida.
“Bisa Ta,”
jawab saya singkat.
Ketika Tata mengirim SMS pembuka,
bersamaan dengan pemutaran langgam pengiring sinetron Cinta Indah, Munajat
Cinta dari The Rock, proyek Ahmad Dhani Prasetyo di luar DEWA19. Hal ini
masih teringat lantaran sinetron Cinta Indah adalah sinetron terakhir
yang saya nikmati. Setelah itu tak ada lagi sinetron yang menarik bagi saya,
termasuk kelanjutan Cinta Fitri yang
sebelumnya saya nikmati.
Tata lalu bilang kalau esok hari
saya harus turun gunung sepulang sekolah. Tak masalah, tak ada agenda apapun
hari itu setelah pulang sekolah. Sebelum berangkat ke sekolah, Ibuk titip
barang yang diberikan pada nenek. Kebetulan hari itu sekolah pulang lebih awal,
jam 10 pagi. Bersama Achmad Mufarrichin (Marijan Manchunian) saya langsung main
ke rental PS dulu di dekat gedung madrasah. Rental PS yang oleh kami berdua
pemiliknya dianggap mirip Sandra Dewi pemeran utama Cinta Indah.
Kami main selama dua jam berdua dan
langsung meluncur ke rumah nenek sendirian setelahnya. Hari itu saya tak
membawa ponsel saya ke sekolah. Ponsel jarang terpakai ketika di sekolah, belum
masanya ponsel merajalela di lingkungan saya. Tak banyak teman-teman membawa
ponselnya ketika sekolah walau mereka sudah memiliki sendiri.
Tak membawa ponsel ke sekolah tidaklah
bermasalah bagi saya. Masalahnya adalah saya ke rumah nenek lebih dulu sebelum
pulang ke rumah dan kebiasaan saya kalau saya ke rumah nenek bisa pulang sampai
malam atau minimal sore hari. Untung hari itu saya meluncur dari rumah nenek
sekitar pukul setengah tiga.
Di tengah asyiknya bercengkerama dengan nenek, teringat
kalau hari ini Tata dan Leily mengajak saya makan bersama. Tak baik tiba-tiba
membatalkan acara yang telah disepakati bersama meski dengan alasan lupa.
Dengan memacu sepeda motor ala pebalap, saya bisa sampai di rumah tepat ketika
adzan ashar berkumandang. Ibuk saya langsung menyambut saya di depan pintu
dapur.
“Dicari
temanmu tu lho, tadi habis ditelepon.” ungkap ibu sambil tersenyum
melihat saya yang tampak kesusu.
“Iya buk,
lupa bawa HP tadi,” jawab saya sambil melepas helm Takachi kesayangan.
“HP tinggal
ditaruh saku tah tas saja ditinggal. Kasihan temannya kalau mau ngajak
pergi.”
Saya dan Ibuk memiliki interaksi
intim. Dulu kami sering terlibat beragam obrolan yang mulai beberapa tahun
terakhir jarang kami lakukan. Usia dan keseharian adalah sebagian penyebabnya
walau lebih utama disebabkan sudah adanya saling memahami terhadap kepribadian.
Belum juga saya melepas sepatu, Ella
segera menyapa saya.
“Ditelepon
mbak Tata mas,”
“Iya,” jawab
saya sambil melepas sepatu.
Ella, adik saya dan kakaknya Hikmal,
selalu menjadi orang pertama yang menanggapi panggilan di ponsel saya ketika
tak sedang dibawa.
Langsung saja saya menelepon Tata
dan bilang maaf sekalian bertanya tempatnya.
“Sholat
dulu, biar nanti tenang, gak kesusu,” kata Ibuk.
Kebetulan sudah masuk waktu sholat
ashar. Ibuk mungkin sudah lelah mengingatkan saya untuk tak buru-buru dan juga
tak panik, dua kebiasaan buruk yang sulit saya hindari meski saya sadari.
Setelah sholat, langsung kembali
meluncur dengan gaya seperti ketika pulang, sok jadi pebalap. Padahal
postur tubuh saya saat itu masih sangat mungil dan motor yang dipakai adalah
Yamaha Jupiter Z yang ringan dengan ukuran cukup besar.
Saya menunggu Tata dan Leily di
dekat Gereja dekat pabrik Polytron. Menunggu mereka di depan gang rumah Leily
tak enak, jalan terlalu ramai dan kurang aman. Nyamper ke rumah Leily juga tak enak, jalannya sempit dan langsung
pergi lagi. Leily datang memboncengkan Tata. Saat itu Tata belum bisa
mengendarai sepeda motor, baru bisa sepeda onthel sementara Leily sudah
bisa memacu sepeda motor seperti pebalap.
Makan siang bersama tertunda
akhirnya terlaksana di KFC sebelah
utara Masjid Agung Kudus. Satu peristiwa lucu yang sempat tertangkap pandangan
saya adalah kegugupan Butcah Chuniez
ketika membayar, kurang Rp 5.000 dan meminta ke Leily. Beruntung Leily
membawanya dan lebih beruntung lagi saya bisa menahan tawa yang bisa merisak
suasana pada sore hari Selasa 21 Oktober 2008.
Menu makannya sama semua, burger.
Tata dan Leily duduk di depan saya, Tata di kanan saya dan Leily di kiri saya.
Kami memilih meja sebelah utara karena cukup tertutup. Leily sudah mulai berjilbab
setelah rambut kritingnya di-bonding.
Saat itu nama Hida mulai sering diucapkan mereka. Saat itu juga menjadi momen
terakhir kami bertiga sebelum Hida ikut serta dalam kebersamaan yang kami
jalani, tepat sepuluh hari kemudian.
Untung saya yang makannya selalu
cepat tak diimbangi Tata yang sangat lama. Leily dan saya menghabiskan burger
ketika Tata baru habis setengah. Setelah burger saya dan Leily habis Tata
tampak tak berselera makan, mungkin sungkan. Jadi malah tambah lama. Bagus juga
Tata makannya lama, bisa memperpanjang kebersamaan. Pasalnya setelah Tata
menghabiskan burgernya, kami langsung berpisah. Sore itu Leily mengantar Tata
ke rumahnya lewat Karang Malang, “Kayak
pebalap,” ungkap Tata dua hari kemudian ketika kami berjumpa bersama Citra dan
Nisa.
Tata dan Leily memiliki hubungan
sangat erat sepanjang saya lihat. Lalu mereka membuka ruang bagi saya untuk
turut terlibat dalam ikatan persahabatan mereka. Diantara kami bertiga, Leily
yang paling muda usianya tapi dia terkesan paling dewasa. Leily bisa tampil
tenang, tak emosional seperti saya serta tak mudah gugup seperti Tata. Leily
juga cenderung pendiam dan tidak narsis, kosok bali dengan Tata. Keduanya
saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati perbedaan, baik kepribadian
maupun pilihan.
Saya lebih dulu berkenalan dengan
Tata daripada Leily. Malah melalui perantara Tata lah kami bisa saling
mengenal. Tapi saya lebih dulu bertemu dengan Leily dan Leily juga lebih dulu
main ke rumah saya. Dia bisa tahu rumah saya setelah diantar Rori. Rori datang
ke rumah tanpa memberi kabar sebelumnya. Beruntung saya tak pergi jauh dari
rumah.
Sayang saat itu Leily datang
ramai-ramai dengan teman-temannya beserta pasangan mereka. Sayang memang
lantaran belum saya kenal seluruhnya. Hanya Ristiana dan Indah (Indah sepupu
Hida, bukan Indah tetangga Leily) saja yang sempat saya dengar namanya. Mungkin
mereka sudah lupa dengan rekaman pernah saling menyapa ketika masih sama-sama
remaja. Yang jelas, Ristiana dan Indah sama-sama berkepribadian kuat.
Beberapa tahun kemudian ketika saya
di Bandung, masa-masa sesudah interaksi kami sempat terhenti, Leily menjadi
orang pertama yang saya hubungi. Kami berkomunikasi melalui Facebook.
Akun Facebook Leily tak pernah ganti, masih yang dulu, seperti punya
Hida. Tata sempat tiga kali membuat akun Facebook hingga saat itu dan saya sempat kehilangan
kontak komunikasi dengan mereka.
Leily masih menjadi santri mukim
ketika saya mulai kuliah sehingga kami tak sering SMS-an atau telepon-an saat
itu. Sialnya, Leily belum bisa membantu saya yang putus kontak dengan Tata dan
Hida. Dua orang ini baru bisa saya hubungi Maret 2013.
Sepanjang 2012, saya jarang
berkomunikasi dengan Tata dan Leily dan juga tak pernah berjumpa mereka. Baru
pada 2013 saya bisa melepas rindu yang lama terpendam pada dua puan pasangan immortal friendship ini.
Saya yang saat itu pulang di akhir
Ramadhan baru bisa bertemu mereka ketika lebaran. Ketika kalbu memendam rasa
rindu mendalam, pertemuan singkat menjadi satu hal berkesan kuat. Tata, Leily,
Rori, dan Faiz, seluruhnya saya hubungi untuk saya ajak kumpul bersama. Hida
juga andai dia tak keburu pergi ke Banda Aceh. Ada rasa tersendiri ketika bisa
berjumpa meski komunikasi melalui media elektronik masih berjalan baik.
Semuanya bilang bisa hadir pada hari
keenam lebaran. Lalu saya meminta saran tempat yang enak untuk mini-reuni pada
Tata. Dia menyarankan untuk makan di Payaman. Saya memang meminta tempat lesehan kalau mau makan, serta yang
ekonomis. Lebaran tahun itu adalah lebaran paling meriah dalam mini-reuni yang
saya lakoni. Mulai masa balita hingga akhir remaja, semua sosok-sosok penting
bagi saya diajak berjumpa.
Lebaran menjadi saat paling saya
suka untuk berjumpa bersama ketimbang Ramadhan. ‘Idul Fitri yang berarti perayaan dengan makan-makan menjadi momen
yang selalu saya pakai untuk urusan kebersamaan. Kosok bali dengan Ramadhan
yang lebih banyak saya nikmati sendiri. Kalau orang bilang saya egois, puncak
keegoisan saya terjadi pada bulan Ramadhan setiap tahunnya.
Sehari sebelum pertemuan itu
dilaksanakan, saya menjumpai Tata ke rumahnya bersama Arul (Fachrul Harri
Wibowo). Arul bersama saya sedang mempersiapkan mini-reuni tersulit yang pernah
kami hadapi hingga saat ini. Dia adalah sepupu jauh sekaligus sahabat dekat
saya yang pernah bersama membentuk grup bersama Sisca (Sisca Rahmawati) dan
Mamad (Ahmad Fuad Ria Sahana).
Semula grup kami diberi nama A.S.A.M
hingga akhirnya berubah menjadi M.A.S.A.M ketika Maya (Maya Ulfah) ikut serta
bergabung. Nama yang diambil dari gabungan akronim sapaan ‘resmi’ kami ini
terinspirasi dari grup band paling saya gilai, DEWA19 (Dhani, Erwin, Wawan, dan Andra) –kemudian ditambahi 19
oleh Ari Lasso. Kebetulan saja kalau terdapat keserupaan dalam hal pembentukan
selain tentunya penamaan.
Saya menjumpai Tata untuk memintanya
memesan tempat buat esok hari. Tata menunggu di depan rumah dengan mengenakan
kaos hitam dan celana pendek. Penampilan yang sama seperti dalam foto yang
pernah ia unggah di Facebook tahun 2012 silam. Arul memilih menunggu
saja di atas sepeda motor. Ada beberapa anak kecil saat itu yang sedang bermain
di rumah Tata yang cukup sejuk untuk ukuran lingkungan bersuhu panas. Di
sebelah tenggara, ada beberapa bapak-bapak yang berkumpul bersama menikmati senja.
Esok harinya kami bertemu di
Payaman. Leily, Rori, dan Faiz sudah bilang akan datang pada acara
kumpul-kumpul itu. Hida tak mungkin datang. Sedangkan Tata pasti datang. Tata
tak pernah janji pada saya tapi dia selalu melakukan apa yang dikatakan.
Hari itu, Rabu 14 Agustus 2013, pagi
hari saya sudah turun gunung menuju Jepara. Seperti disebutkan sebelumnya,
lebaran tahun tersebut adalah lebaran ‘tersibuk’ untuk mini-reuni. Sementara
sore harinya saya mengajak Tata dkk. berjumpa, pagi hingga siangnya saya pakai
waktu untuk bertemu dengan ‘Nyak’
Ofis (Syarofis Si’ayah), Novi ‘Kaka’
(Novi Khoirunnisa Kurniawati), Layli ‘Nunung’
(Layli Nur Aini), Abid ‘Mas Roy’
(Royyan Abid), serta Kyky ‘Ndig’
(Muhammad Aldian Muzakky).
Kyky adalah orang yang banyak saya
mintai tolong mengambil gambar saya selama masa SMA. Dia nyaris sebagai ‘tukang
foto’ pribadi saya. Sambil menunggu waktu yang masih tersisa beberapa jam
sebelum kumpul bersama Tata dkk., saya mampir ke rumah Kyky, adu ketangkasan
memainkan game Winning Eleven di
tempat yang dekat dengan Stadion Kamal Junaidi itu.
Kabar tak mengenakkan datang dari
Rori dan Faiz ketika saya di rumah Kyky. Dimulai dari Rori yang tiba-tiba
bilang tak bisa datang. Kemudian beberapa saat Faiz mengatakan hal serupa. Saya
hampir marah pada mereka dan kemudian menghubungi satu per satu melalui
telepon. Cukup memaksa sebenarnya karena saya juga ingin berkumpul bersama
mereka. Keduanya tetap tak bisa datang meski saya memaksa mereka. Ya sudahlah.
Begitu jarum jam menunjukkan pukul 3
sore saya segera menuju Kudus. Sudah terdengar suara adzan pertanda masuk waktu
Ashar tapi saya memilih sholat di Kudus saja. Setengah jam kemudian saya sampai
di Loram Kulon dan sholat Ashar di sana. Lalu menuju ke depan Museum Kretek
untuk menunggu Tata dan Leily. Tata menjemput Leily di rumahnya dan berangkat
bersama memakai satu motor. Setelah cukup lama menunggu akhirnya mereka datang
juga bersama.
Leily yang mengendarai motor dan
Tata duduk di belakang. Keduanya sama-sama memakai jilbab. Leily dengan baju
hijau bergaris dipadu rok hitam polos sedangkan Tata memakai baju pink
bergaris dipadu celana jeans biru. Kami bertiga segera menuju Payaman
bersama-sama.
Tahun 2013 adalah tahun ketika
mereka lulus SMA dan MA dan melanjutkan kuliah mereka. Obrolan kami saat itu
lebih banyak seputar kuliah. Apapun obrolannya terasa asik karena ini adalah
pelampiasan kerinduan pada dua sahabat hebat yang ada dalam kehidupan saya.
Ketakhadiran Rori dan Faiz membikin
suasana seakan déjà vu dengan makan
siang kesorean tahun 2008. Kami bersama bertiga dengan posisi duduk yang sama
persis. Saya berhadapan dengan mereka berdua dan Tata di sebelah kiri Leily.
Satu keadaan yang kembali terulang di rumah saya pada lebaran tahun ini.
Dengan anugerah daya ingat berlipat,
mudah saja bagi saya untuk banyak hal yang pernah terjadi. Termasuk ketika Tata
dan Leily ke rumah saya pada hari ketiga lebaran mengingatkan saya pada hari
ketiga lebaran 2007 saat Tata pertama kali bercakap dengan saya melalui ponsel.
Segala rekaman peristiwa bersama
masih terekam kuat. Sayang, rekaman peristiwa bersama tersebut tak didukung
dengan gambar untuk mengabadikan. Pengabadian peristiwa yang bisa dinikmati
oleh siapa saja. Bacot-an saya bahwa
saya termasuk orang yang rajin menyimpan rekaman peristiwa lawas, antara lain
melalui foto jaman baheula, boleh
dianggap sombong. Tapi kenyataan demikian tak terbantahkan ‘kan?
Rekaman peristiwa dengan gambar itu
pula yang belum ada sepanjang saya terlibat persahabatan dengan Tata dan Leily.
Walau sudah dimulai sejak era Into the
New World-nya Girls’ Generation,
baru pada era The Baddest Female-nya
CL of 2NE1 kami bertiga sempat foto bersama. Saya ingin memiliki
kenangan gambar dengan mereka, foto berdua saja dengan Tata dan Leily serta foto
bertiga sekaligus, sepertihalnya saya menyimpan gambar kenangan dengan orang
lainnya.
Sayang saat di Payaman 2013 itu baru
keturutan foto berdua lantaran tak ada orang yang bisa membantu kami
untuk foto bertiga. Foto bertiga untuk kali pertama baru keturutan 15
Mei 2014, di alun-alun Kudus. Rasanya sangat lucu telah bersahabat lama, tapi
hanya ada satu foto bertiga antara kami hingga tujuh tahun usianya.
Tata dan Leily termasuk pribadi
berkarakter kuat yang ada dalam kehidupan saya. Mereka sudah terlibat ikatan
persahabatan erat jauh sebelum berkenalan dengan saya. Saya sangat bersyukur
mereka membuka ruang pada saya untuk ikut terlibat di dalam persahabatan
bersama mereka.
Bisa jadi ketika Tata dan Leily
mulai membuka ruang pada saya, bersamaan dengan dimulainya persahabatan mereka
berdua dengan Hida. Satu hal bagus ketika saya kemudian juga bisa bersahabat
dengan Hida. Perjumpaan berempat dua tahun terakhir selalu menjadi satu
peristiwa mengharukan batin saya. Mereka tak hanya hadir untuk meramaikan
kehidupan saya, walakin ikut serta mewarnai dan memperkaya.
“Pokoknya kita berempat tak boleh
bubar!” ungkap salah satu dari mereka ketika bercakap dengan saya melalui
ponsel 24 November 2015 silam. Yes,
kita bisa mulai berhitung dari 0, 1, 2, 3, 4, dan kita bisa terus menerus
melanjutkan tanpa berhenti. Sudah adakah yang memastikan berapa besarnya tak
terhingga?