Author: Nong Darol Mahmada
Judul Buku: Hal-hal yang tak terpikirkan tentang
isu-isu Keperempuanan dalam Islam
Penulis: Syafiq Hasyim
Penerbit: Mizan, Februari 2001
Judul Buku: Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender
Penulis: KH. Husein Muhammad
Pengantar: KH. MA. Sahal Mahfudh & Dr. Andree
Feillard
Editor: Faqihuddin Abdul Kodir, M.A.
Penerbit: Rahima, LKiS, The Ford Foundation; April 2001
Kedua buku ini mencoba membicarakan problematik posisi perempuan dalam
Islam. Selama ini sebagian ulama dianggap cenderung menafsirkan hadis yang
merugikan perempuan sehingga terbentuk “fikih patriarki”.
BENARKAH seorang perempuan tak boleh menjadi pemimpin negara? Kontroversi
tentang apakah seorang perempuan boleh menjadi pemimpin negara masih saja
terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. Masih hangat dalam ingatan kita saat
Megawati mencuat namanya sebagai calon presiden. Padahal, sebagai ketua partai
yang menang di Pemilu 1999, mestinya ia memperoleh posisi itu. Namun, yang
terjadi adalah penolakan yang keras, khususnya dari kalangan Islam. Bukti dari
penolakan itu misalnya deras bertebaran selebaran dalil-dalil Alquran dan hadis
yang mengharamkan perempuan menjadi presiden. Mereka memunculkan kembali
hadis-hadis dan cerita-cerita masa lalu tentang jeleknya bila perempuan menjadi
presiden. Umat tersedot untuk meyakini bahwa perempuan memang tak pantas dan
tak layak menjadi pemimpin negara. Tak hanya itu. Di kalangan parlemen,
politisi muslim yang tergabung dalam Poros Tengah membangun aliansi kekuatan
menolak perempuan menjadi presiden. Istilah ABM (asal bukan Mega) kemudian
menjadi populer hingga akhirnya Megawati kandas menjadi presiden.
Halal atau haramnya perempuan menjadi pemimpin adalah perdebatan kalangan
ulama sejak dulu. Ini disebabkan oleh perbedaan para ulama dalam menafsirkan
Alquran. Sayangnya, dari dulu sampai saat ini, penafsiran Alquran didominasi
oleh cara pandang laki-laki, yang akhirnya lebih menguntungkan kepentingan
laki-laki dan merugikan perempuan. Begitu juga dengan hadis, yang menjadi
sumber ajaran kedua setelah Alquran. Yang dimunculkan sebagian ulama adalah
hadis-hadis yang misoginis (hadis yang merendahkan perempuan).
Bangunan dan hasil pemikiran atau ijtihad para ulama klasik terhadap
penafsiran Alquran dan hadis atau biasa disebut fikih menjadi landasan
legal-formal umat Islam dalam beribadah dan berkehidupan sosial. Dalam fikih
itulah semua kehidupan umat Islam diatur, dari kehidupan pribadi seperti nikah,
puasa, zakat, salat, dan khitan, hingga kehidupan sosial dan politik. Akibat
dari kecenderungan menafsirkan Alquran oleh sebagian ulama yang didominasi
laki-laki, dan hadis yang diambil adalah hadis-hadis misoginis—meminjam istilah
Syafiq Hasyim—fikih menjadi fikih patriarki.
Karena itulah dua buku yang masing-masing berjudul Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam
karya Syafiq Hasyim dan Fiqh Perempuan:
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender karya K.H. Husein Muhammad
mencoba memunculkan kembali dan mengkritik persoalan-persoalan perempuan yang
selama ini “tak terpikirkan” yang tertuang dalam fikih. Biasanya kritik atau
dekonstruksi terhadap persoalan perempuan langsung menukik pada persoalan
teologi, seperti yang sudah dikerjakan oleh Rifaat Hasan, pemikir perempuan
Islam asal Pakistan. Padahal, fikih selama ini tidak lagi dipandang sebagai
kerja intelektual yang memiliki kenisbian kebenaran dan kontekstual serta
memiliki makna substansial dan rasional yang dikembangkan, tapi telah menjadi
agama dengan kesakralan dan keabadian maknanya (Husein: hlm. xxiv).
Karena kesakralan dan keabadiannya itu, umat Islam tidak berani
mengutak-atik rumusan fikih itu dan bersikap nrimo saja. Padahal, banyak persoalan perempuan dalam fikih,
seperti yang ditunjukkan oleh dua penulis dalam dua buku ini, yang melakukan
distorsi pesan-pesan kearifan dan kerahmatan agama. Pesan dan rahmat agama itu
sebenarnya memperlihatkan kepada umatnya makna-makna humanitas universal dan
ajaran-ajaran agama yang memberi makna humanitas kontekstual.
K.H. Husein, misalnya, mencontohkan tentang kepemimpinan perempuan dalam
sebuah negara. Dalam fikih, hampir semua sepakat bahwa kepemimpinan perempuan
tidak dibolehkan. Ini merujuk pada QS An-Nisa: 34, bahwa “Laki-laki adalah qawwam
(pemimpin) atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain.” Posisi laki-laki dalam ayat ini
sangat superior karena kata qawwam
dan melebihkan. Kalangan mufasir seperti Ar-Razi, Ibnu Katsir, dan
az-Zamakhsyari berpendapat superioritas laki-laki di situ mutlak adanya.
Ar-Razi dalam tafsirnya, At-Tafsir al-Kabir, juz X 88, mengatakan kelebihan
laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: ilmu pengetahuan, pikiran, akal (al-‘ilm) dan kemampuan (al-qudrah).
Artinya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal perempuan dan untuk
pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna dibandingkan dengan
perempuan.
Menurut K.H. Husein, semua superioritas yang dimutlakkan tadi kini tak
dapat dipertahankan lagi. Ini bukan saja karena hal itu dipandang sebagai
bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan dasar-dasar kemanusiaan
universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial telah membantahnya.
Sekarang, telah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan
melakukan peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik
laki-laki. Karena itu, karakteristik yang menjadi dasar argumen bagi
superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa,
melainkan merupakan produk dari sebuah proses sejarah yang berlangsung secara
evolutif dan dinamis. Apalagi Alquran telah merekam kepemimpinan perempuan
dalam cerita Ratu Balqis yang sukses secara gemilang memerintah negerinya, Saba’ (Husein: 21).
Banyak hal menarik yang akan kita dapatkan dalam kedua buku ini. Pertanyaan
yang cukup sensitif antara lain mengenai boleh-tidaknya perempuan menjadi imam
di tengah makmum lelaki, boleh-tidaknya perempuan berazan di masjid seperti
layaknya laki-laki, tentang khitan perempuan, batasan aurat, dan pemakaian
jilbab. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan kita temukan di kedua buku
ini.
Dalam buku Syafiq, kita akan menemukan berbagai macam pendapat dari
kalangan ulama tradisional sampai pemikir Islam modern. Dalam setiap bab,
dengan sistematis meski tidak begitu dalam, Syafiq merunut tokoh demi tokoh
untuk menjelaskan setiap persoalan perempuan secara tematis dan historis. Dalam
penutup tulisannya, Syafiq memberikan alternatif cara membaca fikih yang
membebaskan, bukan fikih patriarki, yakni dengan meminjam metode aliran
filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure, yaitu tazamuni (sinkroni) dan istqathi
(diakroni). Dan Syafiq lebih memilih cara baca istqathi karena cara baca model itu, khususnya dalam konteks fikih,
menggunakan makna-makna yang dikandung oleh teks-teks fikih masa lalu sebagai
pengetahuan sejarah makna, bukan sebagai pengikat makna. Cara baca seperti itu
diharapkan akan mengembangkan makna-makna teks fikih yang sesuai dengan
kebutuhan sekarang, bukan kebutuhan masa lalu (Hasyim: 266).
Sementara itu, dalam buku K.H. Hussein, kita akan menemukan pergulatan
dirinya sebagai kiai pesantren yang terganggu karena “agama” menjadi salah satu faktor penyebab
ketidakadilan terhadap perempuan. Dengan bahasa pesantren yang menjadi gaya
tulisannya ini, K.H. Husein mencoba membentuk sebuah pemikiran yang cukup utuh
dan sistematis mengenai fikih perempuan dalam perspektif keadilan gender.
Menariknya, buku ini disusun ala sistematik tematis fikih klasik: fikih ibadah,
fikih pernikahan, sosial kemasyarakatan. Sebagai orang yang memiliki latar
belakang tradisi kitab kuning yang cukup kuat, K.H. Husein mampu membaca dan
memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui
berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis.
Dua buku ini merupakan karya yang saling melengkapi dan memperkaya wacana
Islam dalam kajian fikih. Pemikiran dan pendapat yang diulas di dalamnya
memberikan nuansa dan masukan baru untuk ritual-ritual yang biasa dilakukan
umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan.
Untuk sebuah awal, apalagi untuk Indonesia, kedua buku ini cukup berhasil
membangun fikih yang pro-perempuan.
Note
Artikel ini diterbitkan
melalui Majalah TEMPO NO. 22/XXX/30
Juli - 5 Agustus 2001 [lihat]