Ahmad Dhani


Author : Dhani Ahmad Prasetyo

Dhani Ahmad Prasetyo; Dhani Ahmad; Prasetyo; Dhani; Ahmad; Ahmad Dhani Prasetyo; ADP; 26 Mei 1972; 26; Mei; 1972; Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Ahmad Dhani;

Kalau ada pertanyaan, apa yang paling kamu sesali seumur hidup? maka jawaban saya adalah, Kenapa saya bermimpi menjadi pemain band atau musisi Indonesia? Kenapa kok saya tidak bermimpi untuk menjadi musisi internasional seperti Bono atau Brian Eno. Padahal mimpi itu kan gratis? Padahal kalau saya bermimpi untuk jadi musisi dunia, mungkin saja tercapai. Siapa tahu? Only God knows.

Pernyataan di atas bisa saja dianggap pernyataan yang arogan atau sombong. Tapi pernyataan di atas bisa menjadi penyemangat dan pencerahan untuk anak-anak muda di Negeriku Indonesia. Karena semua bangsa yang besar diisi oleh generasi mudanya yang suka berimajinasi dan mewujudkan khayalannya.

Selain saya adalah seorang pemimpi, saya sadar dan mengerti benar bahwa saya adalah orang yang juga memiliki faktor luck, dan itulah yang membuat saya terus bisa berkarya hingga sampai saat ini masih bisa memperkaya [tidak hanya me-ramaikan] khasanah musik Indonesia. Pernah salah satu musisi Indonesia tidak percaya adanya faktor luck dan menyatakannya langsung di depan Habib saya. Kata Habib saya, Kalau faktor luck itu tidak ada, maka kata luck itu pun tidak ada di dalam kamus bahasa Inggris. Suatu jawaban yang logis.

Lalu apa faktor luck saya? Saya beruntung memiliki papa dan mama yang menggemari musik kelas dunia. Sejak saya masih dalam kandungan, mama adalah penggemar lagu-lagu populer Indonesia maupun dunia. Sangat mudah bagi saya ketika masih balita untuk menggemari lagu-lagu tersebut. Untungnya juga, mama selalu mengajak saya ke toko kaset dan membelikan kaset kesukaan saya. Dan karena waktu itu semua kaset adalah kaset bajakan, harganya terjangkau oleh keluarga sederhana seperti keluarga saya.

Karena saya terbiasa mendengar Frank Sinatra dan Andy Williams, maka sangat mudah bagi saya untuk menjadi penggemar berat Tony Bennett. Kadang saya berpikir, kenapa tidak banyak yang bisa menikmati dan menggilai album Tony Bennett dan Bill Evans? Padahal tidak lahir lagi orang dengan suara semahal Tony Bennett, Sarah Vaughan, dan juga tidak lahir lagi pemain piano jazz seperti Keith Jarret dan Chick Corea.

Saya beruntung memiliki saudara-saudara sepupu yang menggemari musik rock. Maka saya menyukai Queen, The Rolling Stones, dan Yes saat umur saya sama seperti ketiga anak saya sekarang. Saya beruntung ketika di SD punya sahabat penggemar Van Halen dan Led Zeppelin, sehingga saya banyak mendapat pengetahuan luas dan modern tentang musik rock. Saya beruntung ketika SMP bertemu dan bersahabat dengan teman- teman penggemar musik pop seperti Madonna, a-Ha, Spandau Ballet, Michael Jackson dan juga mulai ngeband bareng teman-teman penggemar musik fusion seperti Casiopea, Uzeb, dan Spyro Gyra. Beruntung juga gedung SMP saya dekat dengan toko kaset yang kasetnya bisa dicoba dulu sebelum membeli. Maka ketika bolos sekolah, saya ke toko kaset dan semua musik saya coba. Jadilah saya penggemar berat Michael Franks, Dian Pramana Putra, Indra Lesmana, Chaka Khan, Kenny Loggins, Gino Vanneli dan musisi-musisi yang jarang dimuat di Rolling Stone ini.

Saya beruntung, ketika SMA bertemu lagi dengan sahabat memperkenalkan saya pada Pat Metheny, dan langsung saya menjadi penggemar berat Pat Metheny. Sahabat saya, Roes, mengenalkan saya lebih dalam pada Miles Davis, Michael Brecker, Ornette Coleman dan banyak lagi. Di SMA saya juga bersahabat dengan penggemar Metallica, Anthrax, dan Megadeth. Tidak lupa juga pertemuan saya dengan Ari Lasso yang memperkenalkan saya pada Bon Jovi dan Warrant. Kalau saya tidak sempat menjadi penggemar easy rock, mungkin saya tidak beruntung bisa membuat lagu semudah "Kangen". Dikarenakan saya bergabung dengan Ari Lasso dalam sebuah band, maka saya harus mengadaptasi selera saya yang fusion dan jazz dengan musik easy rock. Terpilihlah Toto dan Chicago sebagai band yang harus dikhatamkan. Beruntunglah saya khatam semuanya.

Saya kembali beruntung dalam menjalani karier musik bersama Dewa19, bertemu dengan kawan bernama Think Morrison yang memperkenalkan saya pada Kayak, Alan Person Project, dan ELP. Kemudian saya bersahabat dengan Bebi dan Bimo yang mengenalkan saya lebih jauh dengan The Beatles.

Saya beruntung sampai saat ini saya dianugerahi oleh Allah SWT seabreg selera musik yang beraneka ragam, sehingga saya menikmati karya Sergei Rachmaninoff atau juga Maurice Ravel, akibat bergaul dengan pemain orkestra saat rekaman string untuk album-album Dewa19. Saya juga tidak tahu kenapa saya menggemari musik R&B, mungkin mencari format musik fusion yang memudar di era 90-an, maka saya menggemari TLC dan Faith Evans.

Saya beruntung bisa alat musik kibor dan gitar sehingga memudahkan saya memahami musik Steve Vai sekaligus musik elektronik Chemical Brothers. Karena saya mengerti gitar, maka saya mengagumi dan mengadopsi The Edge dan Brian May. Dan setelah saya lakukan riset lagi, memang musisi yang menguasai gitar dan kibor akan menghasilkan karya yang lebih beraneka ragam ketimbang musisi yang hanya menguasai satu alat musik. Dan keberuntungan saya yang terbesar adalah selalu mendapatkan kebetulan dalam memproduksi album. Kebetulan dapat nada-nada bagus. Kebetulan dapat lirik-lirik komersial. Kebetulan dapat sound-sound bagus. Kebetulan dapat ide bagus buat aransemennya. Kebetulan ada yang beli kaset/CD-nya. Kebetulan ada yang mengaktivasi RBT-nya. Kebetulan ada kebetulan yang lainnya.

Kenapa saya begitu yakin dengan faktor luck tersebut? Karena saya adalah orang yang tidak pernah berusaha untuk menciptakan karya musik yang bagus dan sekaligus digemari masyarakat. Karena memang tidak ada suatu usaha yang kongkret untuk bisa mencipta. Semuanya tergantung sumbernya. Kalau sumbernya sudah habis, ya habis saja. Bisa saja pendapat saya salah.

Satu yang pasti, apabila kita memiliki keberuntungan untuk bisa memahami berbagai macam jenis musik, tentunya kita akan paham bahwa musik adalah sebuah evolusi yang memengaruhi berbagai generasi sesudahnya. Contohnya, lagu Julia karya The Beatles mempengaruhi Run To Me milik Bee Gees. Lagu Run To Me mungkin saja mempengaruhi Jealousy karya Queen. Lalu semua lagu tersebut mempengaruhi Kosong-nya Dewa19. Orang awam atau wartawan musik awam akan dengan entengnya menyebut lagu Kosong menjiplak Jealousy dan Jealousy menjiplak Run To Me. Begitu juga seterusnya. Capek deh…

Note
Artikel ini diterbitkan melalui situs RollingStone.co.id pada 23 November 2015. [lihat]