Author : Dhani Ahmad Prasetyo
Kalau ada pertanyaan, “apa yang paling kamu sesali seumur
hidup?”
maka jawaban saya adalah, “Kenapa
saya bermimpi menjadi pemain band atau musisi Indonesia?” Kenapa kok saya tidak bermimpi untuk
menjadi musisi internasional seperti Bono atau Brian Eno. Padahal mimpi itu kan
gratis? Padahal kalau saya bermimpi untuk jadi musisi dunia, mungkin saja
tercapai. Siapa tahu? Only
God knows.
Pernyataan di atas bisa saja
dianggap pernyataan yang arogan atau sombong. Tapi pernyataan di atas bisa
menjadi penyemangat dan pencerahan untuk anak-anak muda di Negeriku Indonesia.
Karena semua bangsa yang besar diisi oleh generasi mudanya yang suka
berimajinasi dan mewujudkan khayalannya.
Selain saya adalah seorang
pemimpi, saya sadar dan mengerti benar bahwa saya adalah orang yang juga
memiliki faktor luck,
dan itulah yang membuat saya terus bisa berkarya hingga sampai saat ini masih
bisa memperkaya [tidak hanya me-ramaikan] khasanah musik Indonesia. Pernah
salah satu musisi Indonesia tidak percaya adanya faktor luck dan menyatakannya
langsung di depan Habib saya. Kata Habib saya, “Kalau faktor luck itu tidak ada, maka
kata luck itu
pun tidak ada di dalam kamus bahasa Inggris.” Suatu jawaban yang logis.
Lalu apa faktor luck saya? Saya beruntung
memiliki papa dan mama yang menggemari musik kelas dunia. Sejak saya masih
dalam kandungan, mama adalah penggemar lagu-lagu populer Indonesia maupun
dunia. Sangat mudah bagi saya ketika masih balita untuk menggemari lagu-lagu
tersebut. Untungnya juga, mama selalu mengajak saya ke toko kaset dan
membelikan kaset kesukaan saya. Dan karena waktu itu semua kaset adalah kaset
bajakan, harganya terjangkau oleh keluarga sederhana seperti keluarga saya.
Karena saya terbiasa
mendengar Frank Sinatra dan Andy Williams, maka sangat mudah bagi saya untuk
menjadi penggemar berat Tony Bennett. Kadang saya berpikir, kenapa tidak banyak
yang bisa menikmati dan menggilai album Tony Bennett dan Bill Evans? Padahal
tidak lahir lagi orang dengan suara semahal Tony Bennett, Sarah Vaughan, dan
juga tidak lahir lagi pemain piano jazz seperti Keith Jarret dan Chick Corea.
Saya beruntung memiliki
saudara-saudara sepupu yang menggemari musik rock. Maka saya menyukai Queen,
The Rolling Stones, dan Yes saat umur saya sama seperti ketiga anak saya
sekarang. Saya beruntung ketika di SD punya sahabat penggemar Van Halen dan Led
Zeppelin, sehingga saya banyak mendapat pengetahuan luas dan modern tentang
musik rock. Saya beruntung ketika SMP bertemu dan bersahabat dengan teman-
teman penggemar musik pop seperti Madonna, a-Ha, Spandau Ballet, Michael
Jackson dan juga mulai ngeband bareng teman-teman penggemar musik fusion
seperti Casiopea, Uzeb, dan Spyro Gyra. Beruntung juga gedung SMP saya dekat
dengan toko kaset yang kasetnya bisa dicoba dulu sebelum membeli. Maka ketika
bolos sekolah, saya ke toko kaset dan semua musik saya coba. Jadilah saya
penggemar berat Michael Franks, Dian Pramana Putra, Indra Lesmana, Chaka Khan,
Kenny Loggins, Gino Vanneli dan musisi-musisi yang jarang dimuat di Rolling Stone ini.
Saya beruntung, ketika SMA
bertemu lagi dengan sahabat memperkenalkan saya pada Pat Metheny, dan langsung
saya menjadi penggemar berat Pat Metheny. Sahabat saya, Roes, mengenalkan saya
lebih dalam pada Miles Davis, Michael Brecker, Ornette Coleman dan banyak lagi.
Di SMA saya juga bersahabat dengan penggemar Metallica, Anthrax, dan Megadeth.
Tidak lupa juga pertemuan saya dengan Ari Lasso yang memperkenalkan saya pada
Bon Jovi dan Warrant. Kalau saya tidak sempat menjadi penggemar easy rock, mungkin saya
tidak beruntung bisa membuat lagu semudah "Kangen". Dikarenakan saya
bergabung dengan Ari Lasso dalam sebuah band, maka saya harus mengadaptasi
selera saya yang fusion dan jazz dengan musik easy rock. Terpilihlah Toto dan
Chicago sebagai band yang harus dikhatamkan. Beruntunglah saya khatam semuanya.
Saya kembali beruntung
dalam menjalani karier musik bersama Dewa19, bertemu dengan kawan bernama Think
Morrison yang memperkenalkan saya pada Kayak, Alan Person Project, dan ELP.
Kemudian saya bersahabat dengan Bebi dan Bimo yang mengenalkan saya lebih jauh
dengan The Beatles.
Saya beruntung sampai saat
ini saya dianugerahi oleh Allah SWT seabreg selera musik yang beraneka ragam,
sehingga saya menikmati karya Sergei Rachmaninoff atau juga Maurice Ravel,
akibat bergaul dengan pemain orkestra saat rekaman string untuk album-album
Dewa19. Saya juga tidak tahu kenapa saya menggemari musik R&B, mungkin
mencari format musik fusion yang memudar di era “90-an, maka saya menggemari TLC dan
Faith Evans.
Saya beruntung bisa alat
musik kibor dan gitar sehingga memudahkan saya memahami musik Steve Vai
sekaligus musik elektronik Chemical Brothers. Karena saya mengerti gitar, maka
saya mengagumi dan mengadopsi The Edge dan Brian May. Dan setelah saya lakukan
riset lagi, memang musisi yang menguasai gitar dan kibor akan menghasilkan
karya yang lebih beraneka ragam ketimbang musisi yang hanya menguasai satu alat
musik. Dan keberuntungan saya yang terbesar adalah selalu mendapatkan kebetulan
dalam memproduksi album. Kebetulan dapat nada-nada bagus. Kebetulan dapat
lirik-lirik komersial. Kebetulan dapat sound-sound bagus. Kebetulan
dapat ide bagus buat aransemennya. Kebetulan ada yang beli kaset/CD-nya.
Kebetulan ada yang mengaktivasi RBT-nya. Kebetulan ada ‘kebetulan’ yang lainnya.
Kenapa saya begitu yakin
dengan faktor luck
tersebut? Karena saya adalah orang yang tidak pernah berusaha untuk menciptakan
karya musik yang bagus dan sekaligus digemari masyarakat. Karena memang tidak
ada suatu usaha yang kongkret untuk bisa mencipta. Semuanya tergantung
sumbernya. Kalau sumbernya sudah habis, ya habis saja. Bisa saja pendapat saya
salah.
Satu yang pasti, apabila
kita memiliki keberuntungan untuk bisa memahami berbagai macam jenis musik,
tentunya kita akan paham bahwa musik adalah sebuah evolusi yang memengaruhi
berbagai generasi sesudahnya. Contohnya, lagu “Julia” karya The Beatles mempengaruhi “Run To Me” milik Bee Gees. Lagu “Run To Me” mungkin saja mempengaruhi “Jealousy” karya Queen. Lalu semua lagu tersebut
mempengaruhi “Kosong”-nya Dewa19. Orang awam atau wartawan
musik awam akan dengan entengnya menyebut lagu “Kosong” menjiplak “Jealousy” dan “Jealousy” menjiplak “Run To Me”. Begitu juga seterusnya. Capek deh…
Note
Artikel ini diterbitkan melalui situs RollingStone.co.id pada 23
November 2015. [lihat]