Mimpi Hidayati



menikam jejak bapak, mencari akar ibu

Saya amat bersyukur Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya damai dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). Kedua belah pihak sepakat menandatangani nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia pada 2005 silam. Pertarungan lama dan seru sepanjang beberapa dekade berakhir dengan sederhana.

Bukan bermaksud menganggap enteng kesepakatan damai tersebut, namun dengan menyebut sederhana sebagai bentuk pengakuan terhadap proses perdamaian yang jalannya sangat panjang. Sederhana tampak biasa saja, namun di balik sederhana tersimpan ke-ruwet-an yang luar biasa. Seperti rumus E = mc2 yang kelihatannya cuma bermakna energi sama dengan makanan dipadukan dengan cemilan-cemilan (karena kuadrat maka disebut dua kali) itu, ternyata penurunan rumusnya (proses penyusunan berdasarkan kaidah matematika yang baik dan benar) bisa menyebabkan orang lupa pacaran.

Menurunkan rumus fisika tak selalu dilakukan dengan misi berupaya menyumbangkan pemikirannya untuk umat manusia. Namun kadang juga menjadi ajang pelampiasan patah hati. Keluarga dan rumah tangga Albert Einstein misalnya, di masa-masa mencetuskan rumus E = mc2 yang berakhir pada bulan November, sedang kacau-kacaunya dan berujung perceraian.

Saya sangat bersyukur GAM dan RI berdamai, dengan demikian Aceh masih menjadi bagian dari Republik Indonesia. Artinya KTP saya dan KTP mbak Nur Hidayati yang biasa saya sapa Hida ini masih sama. Sama-sama beridentitas warga negara Republik Indonesia. Andai hasil kesepatakan di Helsinki lebih dari satu dekade silam itu berbeda 180 derajat, niscaya saya bakal menghadapi kebingungan.

Kalau GAM sukses memproklamasikan Aceh menjadi negara dan mendapat pengakuan hukum internasional, saya bakal bingung menentukan apakah Hida ini orang Jawa atau orang Aceh. Kalau ia dianggap orang Jawa, maka di Aceh ia bakal menjadi warga negara asing (WNA). Kalau ia dianggap orang Aceh, maka di Republik Indonesia ia harus dianggap warga negara asing (WNA).

Hida memang lahir di Jawa, tepatnya di tempat yang sangat keren namun saking rendah hatinya tak pernah menonjolkan kekerenannya, Kabupaten Kudus. Akan tetapi ia lahir dari rahim perempuan berdarah Aceh. Ia kurang biasa dianggap sebagai orang Jawa karena ia belum bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar apalagi indah.

Misalnya, ketika saya ngomong penjuru mata angin dalam bahasa Jawa. Ia tampak memperhatikan dengan seksama dan sempat saya kira terpesona dengan penuturan saya. Namun ujung-ujungnya ternyata ia bingung. Ia bingung dengan lor-kidul-kulon-wetan, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi utara-selatan-barat-timur. Padahal harusnya Hida jujur saja kalau ia terpesona dengan wajah saya yang rupawan nan menawan ini. Selain ia jujur, ia juga bisa membikin saya gede rasa.

Beruntung desa kelahiran Hida menggunakan bahasa Indonesia sebagai penunjuk arah mata angin, Rendeng Utara. Tak seperti desa kelahiran Neva Freshtiana yang menggunakan bahasa Jawa, Wergu Wetan. Atau desa tempat sekolahnya Eny Rochmawati Octaviani saat SD dulu, Mlati Lor. Jadi kalaupun Hida tak tahu lor itu maknanya utara, ia tak melanggar administrasi saat mengucapkan tempat kelahirannya dengan menyebut Rendeng Utara. Karena secara administrasi memang disebut seperti itu, bukan Rendeng Lor. Meski secara tradisi orang Rendeng bisa saja menyebutnya lor, seperti dilakukan Cornelia Septanti, “oposisi”-nya Sheila Ratnasari ketika di SMPN 5 Kudus dalam menyebut tempat tinggalnya.

Administrasi bukan hal sepele. Ini termasuk hal penting. Kalau bukan gara-gara administrasi, mungkin jabang bayi Hida yang lahir dari rahim perempuan Aceh dengan benih dari lelaki Jawa tak akan pernah ada. Bermula dari ibunya Hida yang membantu bapaknya dalam mengurus administrasi ketika bekerja di Aceh, keduanya akhirnya resmi menjadi pasangan suami-istri. Kemudian lahirlah jabang bayi Hida, yang menjadi anak ibunya paling cantik. Meski gelar ini kemudian luntur tepat sehari sesudah milad pertamanya.

Bapaknya Hida bekerja di bidang hukum, baik ketika di Aceh maupun di Kudus. Bidang ini yang kemudian ditekuni Hida sejak kuliah S1. Selain memang tertarik mengikuti jejak bapaknya (dalam bidang hukum ya, soal asmara bukan urusan saya :-p), keluarga Hida juga tak pernah jauh dari hukum. Rumah ibunya di Sigli misalnya, tak jauh dari kantor kejaksaan setempat, Kabupaten Pidie Jaya. Sekolahnya Hida ketika SMP dulu juga letaknya berseberangan dengan kantor kejaksaan Kabupaten Kudus. Juga sekolahnya Novita Rahmawati, adik yang sangat disayanginya ini, terletak di depan kantor pengadilan negeri Kabupaten Kudus. Secara geografi dan lingkungan, benar-benar tak jauh dari hukum ‘kan?

Hida kuliah hukum di Banda Aceh, tepatnya di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Unsyiah adalah salah satu perguruan tinggi yang bagus dalam memilih tempat berdiri. Unsyiah dibangun di atas tanah yang sejak dulu memang dipakai sebagai tempat berdirinya lembaga pendidikan. Sejak jamannya Abdurrouf mendirikan dayah di sana, hingga saat ini Syiah Kuala melanggengkan tradisi sebagai tempat mendidik manusia.

Paling tidak Unsyiah tak bernasib seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Konon kabarnya UPI dibangun di atas tanah yang dulunya menjadi tempat pembuangan dhedhemit. Hingga terdapat fenomena menggelitik yaitu selepas adzan Isya’, tak ada warga pribumi setempat berani lewat UPI. Padahal waktu-waktu seperti ini saya pernah rajin ngampus untuk wifi-an. Jadi ketika saya akhirnya kuliah di sini sempat mikir, jangan-jangan saya ini termasuk golongan dhedhemit Kudus yang dibuang di sini. Kegemaran wifi-an di kampus sendiri bukan karena saya miskin, namun dalam rangka memanfaatkan fasilitas yang tersedia. ‘Kan tak boleh menyia-nyiakan nikmat Tuhan tho? Apalagi salah satu edisi wifi-an di kampus, sempat saya pakai menghubungi Hida melalui Facebook-nya dulu.

Selama kuliah, Hida termasuk salah satu pelajar yang serius. Ia memang tampak santai. Namun serius dan santai adalah dua hal berbeda yang bisa dipadukan, bukan dua hal yang saling bertentangan. Serius dan santai seperti lelaki dan perempuan, yang bagus kalau dipadukan namun tak apa-apa jika jalan sendirian. Ia benar-benar memanfaatkan kesempatan bisa kuliah untuk mengeruk sebanyak-banyaknya faedah yang bisa dikeruknya. Salah satu faedah kuliah ialah menemukan jodoh. Maka orang-orang yang belumnemu jodoh ketika kuliah, kayak Arij Zulfi Mufassaroh alias Ais bocah Merauke, sudah kehilangan separuh faedah kuliah.

Meski demikian Hida sadar, urusan jodoh bukan urusan jangka pendek. Ia sadar bahwa dalam memutuskan harus memiliki prinsip ta jak beteuh ta eue beudeuh bek rugie meh saket hate. Meski ia belum benar-benar lancar jaya berbahasa Aceh, hanya saja ia sudah mengamalkan salah satu ajaran leluhur Aceh ini sejak lama, yakni bersikap selektif.

Hida sudah biasa bersikap selektif. Ia biasa melakukan hal seperti dilakukan ilmuwan fisika abad 19 lalu dengan lama-lama meneliti soal eter, yang semula diyakini ada ujung-ujungnya disimpulkan tak ada. Hida mau untuk terlibat serangkain proses yang lama dan panjang hanya untuk bilang tidak. Ia sangat menyadari makna namanya, Hidayati, yang bermakna petunjuk. Agar bisa menjadi petunjuk, tak boleh ngawur sehingga tak menyesatkan.

Nama depannya, Nur, yang bermakna cahaya, juga disadari betul. Cahaya yang oleh ilmuwan fisika dibagi ke dalam beberapa spektrum ini hanya sebagian spektrum saja yang bisa dilihat tanpa bantuan alat. Hida juga demikian. Ia tak bisa dipahami sepenuhnya, yang tampak dari keseharian hanya sebagian darinya semata. Sebagian lain hanya bisa dipahami orang-orang tertentu saja. Ia memang sulit dimengerti, selain karena namanya bermakna cahaya, ia juga perempuan. Dan terdapat keyakinan kuat bahwa perempuan sulit dimengerti.

Sisi keperempuanan Hida nyaris saja saya ragukan ketika saya berjumpa dengannya beberapa waktu lalu.  Beberapa saat lalu, ketika saya berjumpa Mbak Nur Hidayati di Kudus, kota yang sangat indah penuh berkah di Jawa Tengah, ia bilang kalau ia menjadi pengurus BEM Fakultas Hukum di kampusnya, Unsyiah. “Kamu di BEM masuk bagian apa?” tanya saya dengan singkat. “Aku masuk di departemen pemberdayaan perempuan,” jawabnya seketika tanpa terlihat mikir –tampaknya jujur karena tanggapan spontan biasanya langsung dari hati nurani. Lalu beberapa saat setelahnya, saya mendengar dengan jelas Hida mengatakan, “... Oke aku memang salah, tapi bukan berarti aku tak boleh memperbaiki ‘kan?”

Kedua ungkapan ini diucapkan nyaris bersamaan. Sebenarnya tak bersamaan amat, karena selang waktunya lumayan lama. Tapi tak salah disebut bersamaan karena Hida masih memakai baju yang sama, dengan bawahan dan jilbab yang sama pula, dan ia belum mandi lagi. Bedanya kalau pernyataan pertama diucapkan untuk menanggapi saya, pernyataan kedua menjadi tanggapan untuk Tata –sahabatnya yang ketika week end menjelma menjadi Ijah.

Dari ungkapan ini saya langsung berpikir keras karena saya melihat ada satu kontradiksi yang amat kentara. Bayangkan saja, eloknya orang yang masuk ke bagian pemberdayaan perempuan adalah seorang perempuan. Memang agar program yang dilaksanakan bisa pro perempuan, tak melulu harus perempuan yang mengurus pemberdayaan perempuan. Hanya saja terdapat hukum alam yang susah dibantah terkait perempuan, ialah perempuan itu sulit dimengerti. Ya bagaimana mau memberdayakan kalau mengerti saja tak bisa?

Namun Hida membikin saya pusing delapan keliling dengan ungkapan pengakuan salahnya. Satu hukum alam lainnya terkait perempuan menyebutkan bahwa perempuan tak pernah salah. Lha kok malah Hida, yang ngaku-nya perempuan ini, malah ngaku-ngaku salah? Ini ‘kan aneh. Makanya saya jadi bingung. Kalau pernyataan pertama benar, maka Hida tak masalah dianggap perempuan. Toh ia pernah berstatus sebagai perempuan paling cantik yang dilahirkan ibunya, meski gelar itu harus sirna sehari sesudah ia genap setahun lantaran Novita Rahmawati terlahir ke Planet Bumi di tanah Sigli. Namun kalau pernyataan kedua benar, maka anggapan bahwa Hida itu perempuan patut dipertanyakan atas dasar kesepatakan bahwa perempuan tak pernah salah.

Hanya saja, Hida tetap bisa menyebut dirinya perempuan dengan menggunakan pasal hukum lainnya. Dengan membikin saya bingung delapan keliling (karena angka tujuh tak bisa dipakai untuk keliling), ia bisa meyakinkan saya kalau ia perempuan karena terdapat hukum lain yang menyebutkan bahwa perempuan itu sulit dimengerti, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya.

Kalau bicara tentang hukum memang suka membingungkan. Kadang-kadang ada beberapa pasal hukum yang tampak bertentangan. Pasal-pasal ini dibiarkan begitu saja, dan dianggap tak menjadi masalah. Wajar saja, kalau pasal-pasal yang ada disinkronkan seluruhnya, tegakah kita terhadap para pengacara? Mereka terancam kehilangan pekerjaan mereka karena pekerjaan mereka banyak ditolong dengan pasal-pasal hukum yang seperti ini.

Saya jadi terbayang ketika Hida ini digigit nyamuk. Nyamuk menjadi sosok yang sempat saya benci mati-matian karena selalu mengganggu saya ketika masih di pondok pesantren dulu. Namun belakangan, setelah hijrah ke kosan, saya malah merindukannya. Lama sekali nyamuk tak hadir dalam kehidupan saya. Apa mereka tak rindu dengan sosok menawan seperti saya?

Ketika Hida digigit nyamuk, dan kemudian sangat jengkel dengan ulah penggigitan yang tak pernah permisi ini, mungkin ia –berbekal pengetahuannya tentang Hukum– bisa-bisa menyeret kasus penggigitan nyamuk ini ke ranah Hukum. Untuk itu, agar prosesnya tak menjadi bumerang, ia berpikir dulu apakah kasus penggigitan nyamuk ini bisa diseret ke ranah hukum.

Hida mulai berpikir dari sisi redaksi bahasa. Bisa jadi ia tak pintar-pintar amat tentang bahasa, namun ia bisa meminta bantuan pada orang yang gemar bercengkerama dengan bahasa, Pemimpin Redaksi majalah kampus misalnya. Ia mulai dengan mencari tahu maksud “Penggigitan”. “Penggigitan” bisa bermakna “perbuatan menggigit nyamuk”, juga bisa “digigit nyamuk”. Dari sini bisa dilihat siapa yang bakal diposisikan sebagai pihak yang salah.

Hal kedua adalah, peristiwa “penggigitan nyamuk” harus ditentukan sebagai peristiwa hukum atau tak. Peristiwa hukum ialah suatu peristiwa yang menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum sendiri merupakan hubungan yang menimbulkan Hak dan Kewajiban dari pada pihak yang terlibat dalam hubungan itu. Dari sini timbul pertanyaan, apakah peristiwa penggigitan nyamuk menimbulkan hubungan Hak dan Kewajiban antara Nyamuk dengan pihak yanh digigit atau menggigit?

Jika ternyata Nyamuk itu adalah Ijah Nyamuk, nama orang, maka penggigitan itu bisa merupakan peristiwa hukum. Ranah pidana bisa menjadi pelariannya. Namun kalau Nyamuk itu ternyata Nyamuk seperti dalam iklan Tiga Roda, itu bukan peristiwa Hukum. Dari sini baru ia bisa memutuskan apakah akan membawa kasus penggigitan nyamuk ke ranah hukum.

Meski perempuan, Hida tak ragu untuk menekuni ranah Hukum. Ia memendam kuat cita-cita untuk bisa menjadi jaksa. Tentu saja jaksa bukanlah sosok yang tak pernah salah dalam memutuskan. Hida juga tak ingin memanfaatkan jenis kelaminnya yang perempuan ketika menjadi jaksa. Karena menurut pernyataan populer, perempuan tak pernah salah. Hida tak punya sifat menang-menang-an seperti itu. Buktinya ia lebih suka menyebut sebagai anak keenam ketimbang anak pertama meski anak pertama kadang memiliki hak istimewa untuk menang-menang-an.

Hida tinggal dan dibesarkan di tanah relijius, baik Kudus, Banda Aceh, maupun Pidie. Ia sangat memahami bahwa pernyataan perempuan tak pernah salah merupakan pernyataan tak relijius dan bertentangan dengan pengalaman pribadi Nabi Adam. Adam sebenarnya tak salah, tapi demi memuaskan keinginan Hawa yang kesengsem buah khuldi, ia kepleset lupa bahwa buah tersebut sudah di-warning agar tak dilahap. Keduanya akhirnya menjadi terdakwa kasus pelanggaran aturan tak memakan buah khuldi.

Hida juga menyadari bahwa jaksa tak terlalu akrab dengan perempuan. Ia sadar betul bahwa jaksa adalah profesi yang diharapkan menjadi penegak keadilan untuk menciptakan perdamaian. Hanya saja perempuan sulit disebut sebagai aktor perdamaian. Pasalnya perempuanlah yang mulanya menjadi aktor pertikaian.

Melalui serentetan drama gasak-menggasak pasangan antar saudara kandung, terjadilah pembunuhan pertama dalam sejarah peradaban umat manusia. Qabil, yang kesengsem dengan Iqlima dan tak rela dijodohkan dengan Labudz, dengan tega menghabisi nyawa adiknya yang bernama Habil. Padahal meski perjodohan Habil-Iqlima dan Qabil-Labudz sempat dibatalkan dan diganti taruhan, Habil sudah menang. Tapi ya begitulah akhirnya. Kalau tak begini, tak akan ada lagu “Cinta Itu Memang Buta” yang dikompos oleh Ahmad Dhani Prasetyo. Karena sadar akan fenomena ini pula, Hida tak menjadi penggemar Girls’ Generation yang gemar mengkampanyekan Girls and Peace. Hida lebih suka dengan Britney Spears, sahabat karib seleb favorit saya, Paris Hilton, dan rival abadi Christine Aguilera.

Bisakah Hida meraih impiannya?