— from personal to personal and profesional
Salah satu impian saya ialah membangun lembaga
penelitian sendiri. Mendirikan lembaga penelitian secara langsung lalu
mengisinya dengan berbagai aktivitas selaras dengan tujuan didirikannya lembaga
penelitian tersebut. Lembaga penelitian tersebut digunakan sebagai alat untuk
membangun masyarakat. Untuk membangun masyarakat, tak melulu harus menjadi
pejabat.
Walau begitu bukan berarti lembaga penelitian ini
bakal men-thalaq tiga pada pejabat.
Kita bisa bekerja sama dengan siapa saja selama kerja sama selaras dengan
tujuan, dilakukan secara profesional, dan tanpa disertai sikap oportunis-sadis.
Atas hal ini, saya juga tak mengklaim bahwa lembaga penelitian yang dibangun
tak bakal masuk battle dalam arena
politik. Akan tetapi ketika masuk ke dunia politik, tentu brand
yang dipakai bakal berbeda meski gairahnya sama.
I’m hyper-egoistic
personality. Sebagai
orang berkepribadian sejenis demikian,
lebih elok kalau saya membangun sendiri ketimbang masuk ke
lembaga penelitian yang
telah ada. Meski bukan mustahil kalau saya masuk juga bisa berbuat banyak di
sana. Kalau saya membangun lembaga penelitian sendiri, saya memiliki saham
penuh di sana untuk mengendalikannya.
Dengan mendirikan lembaga penelitian sendiri, kita bisa
mengelolanya secara mandiri. Mandiri di sini ialah tujuan yang diperjuangkan
tak harus dikolaborasikan dengan kepentingan oportunis-sadis yang kadang-kadang
menghambat bahkan menghentikan perjuangan. Jadi mandiri yang dimaksud bukanlah
dikelola seorang diri. Untuk mencapai tujuan panjang, kita harus berkolaborasi
bersama.
If you wanna go far, go
together. Supir truk
kalau pergi jauh jarang ada yang berani tanpa didampingi kernet. Namun
pondasinya saya bikin sendiri dengan meminta bantuan beberapa pihak untuk diperbaiki.
Meski melibatkan pihak lain, namun tak diklaim kolaborasi lantaran keputusan
ada pada saya, bukan bersama. If you
wanna go fast, go alone.
Yohanes Surya, fisikawan asal Indonesia, membangun
lembaga penelitian sendiri yang konsep dasarnya berasal dari pemikirannya.
Padahal dengan kualitas bagus yang dimilikinya, ia bisa saja masuk ke lembaga
penelitian yang telah ada kemudian berbuat banyak di sana.
Nurcholis Madjid, juga serupa. Ia mendirikan lembaga
penelitian sendiri yang konsep dasarnya berasal dari pemikirannya. Padahal Cak
Nur, sapaan karibnya, turut terlibat dalam beragam lembaga penelitian lainnya.
Sri Mulyani Indrawati beda lagi. Ia tak mendirikan
lembaga penelitian sendiri namun masuk ke lembaga penelitian tertentu yang
kemudian dirawatnya. Sayang upaya bagus yang dilakukan Sri kadang mogok sebelum
finish lantaran ia tak bisa bertahan
lama-lama, malah kadang berhenti sama sekali.
Saya belajar pada mendiang Lee Kuan Yew dalam membangun
Singapura. Ia memang tak membangun Singapura dari awal atau biasanya disebut
dari nol. Lee hanyalah yesterday
afternoon boy
kalau diletakkan dalam linikala Singapura
yang dulunya bernama Tumasik/Temasek. Namun Singapura yang dibangun di atas
pondasi konsep Lee, berhasil berkembang From
Third World to First, kalimat yang kemudian menjadi judul salah satu
bukunya. Lee memang otoriter, tak demokratis, namun apa salahnya? Lagipula
orang bisa melihat hasilnya ke-“otoriter”-an Lee sekarang.
Lembaga penelitian impian saya diberi nama The Pelantan Society. Baru sekedar nama, hal-hal lain
yang berkaitan (seperti logo dan penjabaran tentangnya), belum tersusun
sekarang. Namun namanya sudah pasti ini, menggunakan alihbahasa
kata Rabbi dalam Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi arti Pelantan dengan : perawat, pengasuh, pembina,
pengayom, pengembang, pemberi hati, dan pencipta.
Saya memilih
menggunakan nama Pelantan ketimbang yang lain. Dalam satu kata yang diimbuhi
depannya ini tersirat makna sebagai lahan untuk ditanami. Mirip seperti simbol Rabbi, yang kalau disejajarkan dengan Ilah berpotensi memberi imajinasi
vulgar. Kecenderungan penempatan kata Rabbi
dalam Alquran ialah berkaitan sisi kelembutan ketimbang kekerasan. Secara
serampangan bisa disebut Rabbi adalah
gambaran feminin Allah, yang kalau diterapkan dalam gambaran manusia menyerupai
sisi yang perlu dibuahi (melalui hubungan seks).
The Pelantan
Society terinspirasi dari The Royal Society. Meski ada lembaga penelitian lain
yang bernama The ... Society, namun inspirasi utama memang dari sana. The Royal Society
merupakan salah satu lembaga penelitian yang berdiri megah di Britania Raya.
Britania Raya termasuk tempat yang saya kagumi. Mereka bisa terus berkembang
dengan segala dinamika yang terjadi namun sambil berkembang menyelaraskan zaman,
mereka masih bisa merawat tradisi yang leluhur wariskan. Misalnya tetap
mempertahankan sistem kerajaan dalam urusan kenegaraan. Bukan hanya
mempertahankan posisi kerajaan, namun kerajaan di Britania Raya masih memiliki
fungsi yang tak sekedar posisi seremonial belaka. Britania Raya juga yang
menjadi referensi saya dalam mengelola The Pelantan Society, dengan pemimpin lembaga
penelitian dan pemimpin pengelola lembaga penelitian dipegang oleh orang yang
berlainan.
Referensi lain dari Nahdlatul Ulama (NU). NU merupakan
organisasi sekaligus komunitas yang sanggup bertahan dan berkembang seiring
zaman. Ketulusan yang menjadi pondasi dalam pendiriannya. Dalam mempertahankan
dan mengembangkan, disertai adanya kesinambungan antar generasi. Kesinambungan
merupakan hal yang penting. Kadang ada lembaga penelitian yang tetap bertahan
namun tak memiliki kesinambungan dalam perjalanannya. Ada keterputusan generasi
ketika satu saat terdapat generasi yang pindah haluan. Pindah haluan merusak
perjuangan lantaran yang dilakukan tak sesuai dengan tujuan awal. Sedangkan
kesinambungan terus memperjuangkan tujuan awal dengan beragam cara yang bisa
dilakukan. NU juga memiliki pemimpin lembaga penelitian (Rais Aam) serta pemimpin pengelola lembaga penelitian (Ketua Umum).
Rais Aam inilah yang bertanggung
jawab terhadap kesinambungan setiap generasi.
The Pelantan
Society berpusat di Kudus, lebih tepatnya di tanah kelahiran saya. Tempat yang
indah dan terkenang meski kerap saya tinggalkan—untuk sekadar jalan-jalan atau bermukim di
tempat lain. Dengan memusatkannya di tanah kelahiran, saya tak perlu
meninggalkan tempat tersebut di masa depan. Pura Group menjadi contoh di sini.
Mereka bisa menjadi perusahaan besar namun pusatnya di Kudus. Meski mereka juga
memiliki kantor di Jakarta Selatan, namun kantor tersebut merupakan kantor
perwakilan, bukan kantor pusat.
The Pelantan
Society
bergerak di bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni, for improving science and art, dengan semboyan Ilmiah dan Indah. Ilmu Pengetahuan bisa berupa natural science atau social
science. Tak hanya mengembangkan secara praktis, misalnya dengan produk
teknologi, melainkan juga mengembangkan secara teoretis, misalnya mengembangkan
teori fisika.
Sebagai orang yang menekuni bidang natural science terutama fisika, tentu berangkat awalnya dari
fisika. Dari fisika saja kalau ditekuni malar bisa menjalar ke berbagai bidang.
Namun tak menutup pintu untuk bidang ilmu sosial. Apalagi latar
pendidikan formal saya Pendidikan Fisika, yang masuk ke dalam rumpun ilmu
sosial. Saya pun sangat
meminati sejarah dan ekonomi yang juga masuk ke dalam rumpun ilmu sosial. Seni bisa berupa sastra, musik, tari,
drama, seni rupa, dan seni lukis. Produk seni bisa masuk ke ranah entertainment yang karena keadaan
sekarang mulai tercemar oleh industri tak sehat.
Ilmu Pengetahuan dan Seni, saat ini, tampak terpisah.
Padahal di masa lampau, tak sedikit sosok ilmuwan yang juga seniman. Semboyan
Ilmiah dan Indah juga memberikan pesan bahwa yang dilakukan bisa dipertanggung
jawabkan dengan jelas, bisa ditiru bahkan dikembangkan, serta bisa dinikmati
sehingga bisa memuaskan pikiran dan perasaan.
Seiring gencarnya perkembangan kajian ilmiah di Eropa dan Amerika Serikat,
kata ilmiah seringkali diidentikkan dengan kedua wilayah geografis yang biasa
disebut barat tersebut. Dengan barat yang dicitrakan negatif, kata ilmiah
kadang ikut tercemar pula. Hal ini tentu tak tepat. Karena kajian ilmiah
bersifat bebas. Begitu pula indah yang seolah menjadi trade mark-nya seni. Seni kadang dianggap sebagai sarana yang
melenakan orang dengan Pelantan semesta alam (baca: Tuhan). Sehingga pada
seniman yang gemar dengan keindahan dituduh yang tidak-tidak.
Sadar atau tak, sebenarnya hal-hal ilmiah dan indah telah konsisten
diajarkan di pesantren Indonesia. Melalui pengajaran manthiq dan balaghah,
pelajar pesantren dididik agar senantiasa bersikap ilmiah dan indah.
Manthiq mengajarkan tentang alur berpikir logis. Sebagai
makhluk yang berakal budi, manusia tidak lepas dari aktivitas berpikir. Namun,
saat berpikir, manusia sering kali dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan,
emosi, subjektivitas, dan lainnya sehingga tak dapat berpikir jernih, logis,
dan objektif. Manthiq memandu
seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar.
Berpikir merupakan proses pengungkapan sesuatu yang belum diketahui dengan
mengolah pengetahuan yang sudah mengendap dalam benak, sehingga yang belum
diketahui itu menjadi diketahui. Faktor yang membuat seseorang salah dalam
berpikir adalah: hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tak benar dan formula
yang menyusun premis tak sesuai dengan kaidah manthiq yang benar.
Proses berpikir atau argumentasi di alam pikiran manusia bagaikan sebuah
bangunan. Sebuah bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari
bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar.
Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut
tak akan terbentuk dengan baik dan sempurna.
Dua istilah terpenting dalam manthiq
adalah ilmu dan idrak. Dua kata itu
membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia. Para ahli manthiq mendefinisikan ilmu sebagai gambaran tentang sesuatu yang
ada dalam benak, sesuatu yang kontradiktif: tahu dan tidak tahu. Sementara idrak merupakan pengetahuan yang didapat
secara “tak disengaja”.
Sementara itu, balaghah belajar
bagaimana mengungkapkan pikiran dengan ungkapan yang maknanya jelas dan
strukturnya benar. Balaghah sering
dipadankan dengan retorika, teknik pemakaian bahasa sebagai seni, lisan maupun
tulisan, yang didasarkan pada pengetahuan yang tersusun dengan baik. Susunan
pengetahuan berupa penggabungan aturan-aturan keserasian dan keindahan kalimat
itulah yang dalam bahasa Arab disebut balaghah.
Balaghah punya tiga cabang, ialah ma’ani, bayan, dan badi’. Ketiganya punya objek kajian masing-masing yang saling
melengkapi.
Cabang ma’ani menjelaskan pola
kalimat berbahasa Arab agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang
dikehendaki penutur. Tujuannya adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan
yang dikehendaki penutur yang disampaikan kepada lawan tutur. Cabang ini ingin
menyelaraskan antara teks dan konteks. Maka, objek kajiannya pun berkisar pada
pola-pola kalimat berbahasa Arab dilihat dari pernyataan makna dasar yang
dikehendaki oleh penutur.
Sedangkan cabang bayan membahas
tentang penyingkapan, penjelasan, dan keterangan. Lebih luas, berarti dasar dan
kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya sebuah makna dengan
bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan menjelaskan kerasionalan dari
makna tersebut.
Adapun cabang badi’ merupakan
kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Lebih jauh, ia
mempelajari beberapa model keindahan beberapa ornamen perhiasan kalimat yang menjadikan
kalimat indah dan bagus, menyandangi kalimat dengan kesantunan dan keindahan
setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Mempelajari manthiq dan balaghah sangat menyenangkan. Kemampuan
komunikasi dan refleksi bisa semakin terasah. Manthiq dan balaghah
memberikan keterampilan berpikir dan berkomunikasi. Mampu berpikir
rasional dan piawai berkomunikasi dengan
berbagai kalangan, dan. Bisa ilmiah dan juga indah. Penerapannya tak hanya
dalam kata-kata semata, tapi bisa sampai ke segala hal.
The Pelantan
Society juga perlu memiliki
media penerbitan tertulis, seperti majalah, situs daring, dan jurnal. Tak
lengkap kalau lembaga penelitian tak memiliki media penerbitan. Melalui media penerbitan
kita bisa berbagi sekaligus menghidupi diri. Untuk itulah media penerbitan tak
sekadar media yang
melaporkan kegiatan serta menghimpun karya orang dalam, namun juga terjun ke
arena lapangan industri media massa. Dengan demikian, tak salah langkah ketika
membuat media massa yang memberitakan dan menghimpun karya orang luar.
Selain berbagai dan menghidupi diri dari media penerbitan,
juga terdapat bidang yang khusus untuk menyuplai dana melalui beragam usaha.
Usaha non-profit untuk berbagi, seperti membangun lembaga penelitian
pendidikan, klinik kesehatan, dan lembaga bantuan hukum, maupun usaha profit
seperti perdagangan dan manufaktur.
Baru dibuat konsep mentah sebagai pondasi seperti ini
saja sudah banyak bidang yang terambah. Belum lagi sumber daya manusia yang
bisa terserap. Pembentukan lembaga penelitian ini juga ingin saya jadikan
tempat berkarir bagi sahabat-sahabat saya, orang-orang yang memiliki ikatan
intim dengan saya yang bukan siapa-siapa dalam waktu lama. For
long life relationship, from personal to personal and profesional.
Dalam pengelolaannya, seperti disebut sebelumnya,
terdapat pemimpin lembaga penelitian serta pemimpin pengelola lembaga
penelitian. Hal ini seperti sistem pemerintahan parlementer, dengan kepala
negara dan kepala pemerintahan diisi oleh orang yang berlainan. Namun tak
sepenuhnya sama, hanya saja tampak serupa.
Britania Raya menjadi contoh bagus dalam menggemabrkan
pengelolaannya. Satu kepala negara didampingi empat kepala pemerintahan. Memang
Britania Raya memiliki satu Perdana Menteri, namun empat negara yang tergabung,
Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, memiliki masing-masing Menteri
Utama. Khusus Inggris, Perdana Menteri Britania Raya sekaligus berperan sebagai
Menteri Utama Inggris.
Cara tersebut
diterapkan di The
Pelantan Society, dengan
satu orang saja sebagai pemimpin lembaga penelitian dan beberapa orang sebagai
pemimpin pengelolaan lembaga penelitian, namun terdapat satu posisi yang
memimpin seluruh pemimpin pengelolaan lembaga penelitian tersebut. Bisa disebut
analogi Menteri Utama merupakan Ketua Bidang sedangkan analogi Perdana Menteri
merupakan Sekretaris Umum.
Karena sudah kadung
dianalogikan dengan pemerintahan negara, sekalian saja. Tak ada analogi
parlemen, peran yang dianalogikan sebagai parlemen menyelaraskan dengan konsep
pengelolaan negara yang diberikan Tan Malaka, agar pengelola bisa menjadi satu
badan yang tak perlu pemisahan. Lagipula sudah ada pemimpin lembaga penelitian
sebagai goal keeper (penjaga tujuan).
Bisakah angan
ini mewujud menjadi kenangan nanti? Entahlah. Saya memulainya dengan berserah
pada Allah, lalu berusaha untuk mewujudkannya dengan cara apa saja. Tanpa
menyuratkan kata melibatkan Allah, dengan menggunakan kata Pelantan yang dicatut dari alihbahasa Rabbi, sebenarnya sudah senantiasa berusaha menempatkan Allah
sebagai gantungannya ‘kan?