Dari Guru IPA ke Guru IPA


— hold it against me until it's gone

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; Dari Guru IPA ke Guru IPA; Mohammad Miqdad; Miqdad; Mohammad Busyro; Busyro; Muhdi; Khosyatun;

Pak Mohammad Miqdad yang biasa dipanggil Pak Miq oleh teman-teman MTs memiliki catatan tersendiri dalam perjalanan saya. Pak Miq adalah guru fisika terlama yang mendidik saya. Ketika berkelindan dengan fisika, Pak Miq bagi saya itu seperti Jeremy Burgess bagi Valentino Rossi (Vale) maupun Alexander Chapman Ferguson (Sir Alex) bagi Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro (CR).

Saya mulai mengenal Pak Miq sejak kelas VII ketika bersekolah di MTs Miftahul Falah. Saat itu beliau mendapat jatah untuk mengajar di kelas IX. Di MTs tempat saya sekolah itu, kelas putra dan putri dipisah sampai sekarang meski gedung sekolahnya menjadi satu—sebenarnya terpecah menjadi dua karena tingkat Raudlatul Athfal (RA) bertempat di lokasi yang terpisah.

Untuk kelas VIII, saat itu diajar oleh Ibu Ratna Indiarti Mahardini (Bu Ratna). Bu Ratna adalah guru favorit anak laki karena paras beliau cantik dan masih lajang. Sama dengan Pak Miq yang menjadi guru favorit anak puan karena paras tampan dan masih lajang. Kesamaan lainnya ialah mereka sama-sama berlatar belakang fisika dan harus rela merangkap jabatan menjadi guru biologi. Dua pekerjaan dengan satu slip gaji kalau memakai istilah Fenty Effendy.

Beberapa bulan setelah memulai mengajar di Miftahul Falah, Pak Miq melepas masa lajangnya. Beliau menikahi perempuan yang sudah menjalin ikatan persahabatan cinta yang tulus dengannya sejak kuliah di UNNES. Pak Miq secara resmi mulai mengajar saya di kelas IX. Beliau mengajar IPA waktu itu, jadi fisika dan biologi diajarkan sekaligus pada saya dan teman-teman. Pak Miq bisa mengajar fisika dengan apik walakin ketika mengajar biologi lebih baik ditinggal mendengarkan lagunya Linkin Park atau Britney Jean Spears saja, selera musik paling digilai saat itu.

Prestasi paling saya banggakan saat diajar Pak Miq adalah catatan kurang ajar mengesankan. Tak cuma sekali, berkali-kali saya berhasil membuat jengkel dengan ulah saya dan berkali-kali pula beliau memarahi saya. Bahkan pertama kali saya ‘menyapa’ beliau sudah membuat sebel.

Waktu itu beliau sedang mengawas ruangan ujian Fara’idh yang biasanya menjadi ruang kelas IX B. Saat beliau mendapati rumus tertulis di papan tulis dan tidak ditemukan penghapus saya langsung bilang, “Dihapus pakai peci saja pak, lebih bersih.” Sontak beliau langsung ya begitulah.

Catatan menawan ini terus berlanjut tanpa putus termasuk tahun terakhir saya di MA TBS, saat kami saling bungkam di tengah tatap empat mata. Muhammad Danial Muchtar, musuh rusuh sebangku yang saya titipi lagu 2NE1 di ponselnya, masih suka sekali mengembalikan ingatan saya pada peristiwa ini.

Untungnya, meski tensi darah sering saya pancing agar meninggi, Pak Miq belum memiliki rekam jejak memukul saya—dan meski cuma segini, kalau berkelahi saya masih punya rasa percaya diri untuk melawan Pak Miq, perbandingan ukuran badan lumayan. Untung pula tertahannya tensi darah untuk tak berkelahi tak serta merta membuat beliau memendam amarah. Ini susah, coba saja dipraktikkan sendiri ke lingkungan dan lihat tanggapannya kemudian.

Selain Pak Miq, guru IPA di MTs adalah Pak Mochammad Busyro dan Pak Ahmad Yasin. Beda dengan di kelas IX yang guru IPA-nya hanya satu, di kelas VII dan VIII ada dua guru IPA. Pak Busyro mengajar IPA fisika (sesuai sebutan saya saat itu) dan Pak Yasin mengajar IPA biologi.

Debut saya dan Pak Yasin berlangsung mengesankan karena saay berhasil memecahkan preparat, hat-trick pula. Pada masa inilah saya memiliki rangsangan terhadap biologi yang lebih besar ketimbang fisika. Faktor Pak Yasin memegang peran kuat. Saya malah masih lumayan bisa menggambar peta-peta dalam biologi, satu kemampuan yang sirna sesudah tragedi 23 Maret 2007 menimpa saya.

Kelak Pak Yasin menjadi salah satu orang yang menghantam langsung saya ketika nyaris dikeluarkan dari sekolah 12 November 2008 silam. Kedua setelah Bu Cilistiawati dan ketiga sebelum Pak Noor Sa’id. Dengan latar belakang sebagai guru IPA biologi dan keadaan saya menjadi pelajar IPA fisika, obrolan kami nyambung sekali kalau membicarakan Nahdlatul Ulama (NU).

Pak Busyro memiliki debut yang datar-datar saja. Segera dalam pertemuan pertama, beliau mengenali saya sebagai anaknya bapak saya. Pak Busyro adalah kawan bapak saya. Tak hanya itu, istri Pak Busyro juga merupakan teman baik ibu saya. Wajar kalau beliau segera memahami kalau saya adalah tetangga Mbok Nah, misanan bapak saya dari keluarga Mbah Modirono Dimin yang pernah bekerja pada beliau.

Pak Busyro terkenal dengan ungkapan yang sering beliau ucapkan, “Fisika itu sulit, sedetik tidak memperhatikan tidak bisa.” Sampai saat ini saya meyakini fisika itu sulit dan tugas fisikawan serta guru fisika adalah membuat fisika menjadi mudah.

Dua orang tersebut sama-sama bisa mengajarkan materi dengan baik dan mendidik moral dengan mengagumkan. Selain itu, belakangan anak Pak Yasin dan Pak Busyro menjadi teman baik saya. Anak Pak Yasin asik kalau diajak membahas sepak bola sementara anak Pak Busyro pada balapan sepeda motor.

Satu perkara menjengkelkan saat itu adalah gara-gara ada dua guru IPA, kami—siswa-siswi imut-imut menggemaskan—harus mengerjakan dua lembar soal ketika sedang ujian, IPA fisika dan IPA biologi. Jadwal ujian IPA cuma satu, artinya agenda saya untuk main PS bersama Achmad Mufarrichin, Fahrul Anam, atau Faiz Mudhiul Adhan sebagai pengisi jeda istirahat saat ujian terganggu.

Bu Ratna, yang sudah menjadi guru di MTs NU Miftahul Falah sejak saya kelas VII, kemudian cuti karena sedang hamil. Sampai saya lulus MTs, tak sekalipun merasakan sentuhan guru paling cantik di negeriku Indonesia yang piket setiap Selasa ini. Nyaris saya tak menyaksikan unjuk kerja Bu Ratna dalam menjelaskan IPA andai beliau tak mengawas ujian di ruangan saya.

Di tengah ujian yang biasanya menjadi ruang kelas VII B saat itu, sempat ada siswa yang bertanya tentang soal yang kurang jelas. Pertanyaan yang terpaksa ditanggapi Bu Ratna meski beliau tahu itu cuma modus godain doang. Tanggapan serius Bu Ratna menunjukkan kalau beliau masih tampak gugup dalam menjelaskan materi.

Sejak masa MTs sampai saat ini, guru puan turut berperan memberikan gairah tak biasa pada saya. Rangsangan saya memang biasa tambah membuncah, barangkali naluri laki. Meski tak cantik-cantik amat, tetap saja asik. Mungkin saya memang lebih cocok dengan guru puan daripada laki.

Di kelas VII, ketika matematika diajar oleh Bu Indah, saya mengalami rekam jejak terbaik dengan matematika sepanjang sejarah, mendapat nilai 7 di rapor. Sebuah catatan yang langsung sirna setelah matematika diajar oleh Pak Masrur, yang menobatkan saya sebagai pelanggan setia ujian ulang.

Ketika di kelas IX ketika IPS diajar oleh Bu Cilis, ‘ibu tiri’ saya yang baru pindah rumah sewilayah dengan Mochamad Maulana dan Herlina Fitriani itu, saya mulai kembali tertarik dengan ilmu sosial, khususnya sejarah dan ekonomi. Bu Cilis kalau bercerita pengalaman sepanjang orde militeristik (zamannya Pak Harto), selalu enak. Sanjungan dan kritikan bisa dituturkan semadyana.

Satu-satunya guru IPA saya yang berjenis kelamin perempuan adalah Bu Khosyatun. Beliau mengajar IPA ketika saya kelas 5 dan 6 di MI Thoriqotus Sa’diyyah. Bu Khosyatun—seperti banyak guru di MI saat itu—tak memiliki latar belakang formal dalam bidang yang diajarkannya. Bagusnya beliau bisa mengajarkan biologi dengan baik meski untuk fisika tampak kikuk. Malah beliau yang religius ini tak jarang membantah kesepakatan fisikawan yang tampak tak selaras dengan tafsir agama yang dianut.

Saya senang mengenang masa-masa diajar Bu Khosyatun. Antara lain karena beliau  mengijinkan saya tak ikut jam tambahan pelajaran IPA menjelang ujian—satu-satunya yang diijinkan waktu itu. Saya tak ikut jam tambahan karena pada siang hari teman saya seperti Fachrul Harri Wibowo, Dwi Widodo, dan Valen Diki Andreas rajin mengajak saya bermain PS. Tentu bermain PS lebih penting daripada belajar IPA di siang hari.

Debut belajar IPA di sekolah terjadi ketika kelas 3 MI. Guru yang mengajarkannya adalah Pak Muhdi. Pak Muhdi biasa menjelaskan dengan rapi dan rinci mengenai pelajaran yang diampunya. Pak Muhdi juga yang berperan penting dalam mengasah daya endus terhadap setiap kata maupun aksara. Beliau mengajar IPA ketika saya kelas 3 dan 4 MI, dan juga Bahasa Indonesia.

Saat diajar Pak Muhdi, saya belum tahu bedanya fisika dan biologi, malah ketidaktahuan ini terus dipelihara sampai kelas 6 MI. Mbak Ika Kusumawati, pelajar Pendidikan Kimia dari UNNES yang sedang KKN di tempat saya-lah yang menyadarkan.

Mbak Ika juga yang kemudian merangsang saya pada fisika via astronomi melebihi rangsangan saya pada dirinya yang cantik dan langsing. Tentu mbak Ika lebih langsing dibanding ‘mertua’ saya, mbak Anastasia Juanita. Dan lebih cantik daripada Mbak Yuni Afniyanti, yang bersama Mbak Ika sempat menyapa saya di tengah keramaian lingkungan makam Sunan Muria hari Minggu terakhir mereka di Colo. Sialan, saya jadi kelihatan ya begitulah.

Perkenalan dengan Novita Rahmawati (Ita) mungkin hanya sekilas saja. Walakin Ita memiliki peran penting karena dia menginjeksi gairah membuncah pada fisika bukan semata astronomi. Gairah yang menemukan jalan ketika saya di MA TBS dengan adanya pembedaan tegas antara mata pelajaran fisika, biologi, juga kimia.

Saya harus bertemu lagi dengan Pak Miq yang sejak saya kelas X memilih menetap di MA TBS dan meninggalkan MTs Miftahul Falah. Sebelumya, Pak Miq sempat ‘mendua’ dengan mengajar di dua sekolah. Orang yang menarik Pak Miq ke MA TBS adalah Pak Suwantho, guru beliau mulai MI dan juga guru saya mulai MA.

Pak Miq memutuskan meninggalkan MTs MifFa Pahing Jaya (julukan MTs saya) lantaran saat mengajukan sertifikasi bersamaan, hasil yang keluar lebih dulu ialah sertifikasi untuk MA. Bu Sa’idah Thoyyibah juga mengambil keputusan sama seperti Pak Miq.

Di kelas X, Pak Miq mengajar fisika dan biologi. Untuk kimia diajarkan oleh Pak Iskandar Dinata. Sejak saat itu, tak hanya matematika yang kacau melainkan juga rangsangan saya terhadap biologi dan kimia cukup bermasalah. Kimia bukanlah materi yang asik dimainkan dan entah mengapa harus ada mata pelajaran kimia di planet bumi ini. Mungkin terpaksa diadakan mata pelajaran kimia untuk mengurangi jumlah pengangguran, biar ada gawean.

Hanya fisika, ilmu alam yang malar menarik meski di rapor dan ijazah nilainya sering paling rendah (berotasi di kisaran angka 6 koma, seringnya 6,75). Setidaknya ada kemauan ke arah sana. Biologi sempat diselamatkan oleh Pak Arif Rachman dan matematika bisa dikontrol dengan apik oleh Pak Ulil Farich. Kecocokan memang diperlukan dalam belajar.

Andai di kelas XI semester II—atau semester I?—guru fisika tak dipegang oleh Pak Iskandar, Pak Miq menjadi guru fisika satu-satunya selama saya di MA. Hanya saja akibat perubahan jadwal, selama satu dari enam semester di MA, fisika diajarkan oleh Pak Iskandar yang notabene guru kimia.

Pak Iskandar bagus sekali kalau mengajarkan kimia. Dengan gairah lemah pada kimia, beliau bisa membuat saya lumayan memahami materi yang diajarkan. Hanya saja kalau fisika, sulit sekali rasanya. Passion terasa kurang gereget.

Selepas menjalani masa-masa sekolah dasar dan menengah, saya melanjutkan perjalana  ke sekolah tinggi program studi (prodi) pendidikan fisika. Pada masa sekolah menengah dulu, para musuh-rusuh saya kerap bilang bahwa akan menjejak Pak Miq. Sebenarnya mereka cuma mau mengejek ukuran badan saya saja yang 46 kg/156 cm.

Lagipula kalau mau ditanggapi serius, hal itu tak sepenuhnya benar. Pak Miq merupakan pelajar prodi fisika, bukan pendidikan fisika. Namun kami sama-sama belajar formal di perguruan tinggi alumni IKIP, Pak Miq di UNNES dan saya di UPI.

Belakangan, Pak Miq nyaris menjadi pelajar sekolah pasca sarjana di UPI. Sayang urung dilakukan. Padahal kalau benar-benar terjadi, lumayan buat reuni rusuh-rusuhan. Bukan hanya selera, penampilan Pak Miq juga mirip Lionel Andrés Messi, termasuk wajah.

Don’t Stop Me Now, karya agung dari grup genius Queen, menjadi langgam penampung rekam jejak saya dalam berseteru dengan ilmu alam. Selalu ada cara menyimpan kenangan dengan daya ingat yang lemah. Brian Harold May memiliki pengalaman yang bersinggungan dengan pengalaman pribadi saya disertai kesamaan dalam beberapa sisi yang kami miliki.