— dari anyam orangtua, duri tertanam di sekitarnya
Nama adalah harapan dari
pemberi nama kepada yang diberi nama. Selain diucapkan dalam serentetan
rangkaian ritual ibadah mahdhah,
harapan juga bisa disampaikan melalui sebuah nama yang disandangkan. Sebagai
sebuah harapan, tentu tak seluruh nama bisa serta merta mewujud begitu saja.
Ada pula beberapa yang hanya dirasa sebagai nama belaka.
Salah satu nama yang sejenis
demikian ialah “Perumahan Tanjung Indah”. Sekilas, nama ini terkesan indah nan megah. Sayangnya, kesan tersebut tak
berlaku buat Maryam Musfiroh.
“Ahh…. Menurutku, nama hanya sebuah
selaput tipis tanpa tau kejelasan isinya. Tidak mustahil ketika kita menemukan
nama suatu desa semisal Suka Miskin
tetapi ternyata dihuni oleh makhluk-makhluk bersedan. Sekali lagi nama hanya
formalitas, bukan indikator kualitas.” ungkapnya berseloroh.
Sejak
pertengahan 1990-an, Maryam bersama keluarganya tercatat sebagai warga
Perumahan Tanjung Indah. Tercatat
sebagai warga di lingkungan yang perubahannya tak selalu sanggup mereka jamah.
Keluarganya
tinggal di tengah kepungan tetangga dengan rumah yang semakin bagus setelah
direnovasi hingga kendaraan yang silih berganti. Namun pertambahan ekonomi
tetangga tak bisa mereka nikmati. Maryam berusaha untuk menutup mata juga
telinga ketika perasaan tersisihkan dari lingkungan hinggap mengampiri. Dia
tetap berupaya menikmati keseharian yang dijalani dengan bersykur terhadap
segala anugerah Ilahi-Rabbi yang
telah dimiliki.
Bapak Maryam
bekerja sebagai guru Madrasah Tsanawiyyah, dengan gaji yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok harian dan kebutuhan anak-anak dalam bersekolah.
Dengan keadaan demikian, Maryam terlatih untuk berjuang keras dalam kondisi
terbatas.
“Uang bukan segala-galanya, akan
tetapi segalanya butuh uang,” satu waktu dia berkilah.
Maryam tak
salah, patut diakui bahwa persoalan ekonomi memang perkara serius yang bisa
mengakibatkan perbedaan kelas.
Keadaan
ekonomi memang kadang membuat Maryam merasa tersungkur. Namun dirinya tak
pernah kabur dari rasa syukur. Wanita kelahiran 21 November 1993 ini merasa
sangat beruntung memiliki bapak yang hebat.
“Bapakku
mewarisi sisi seni dalam diriku dengan kapasitas yang luar biasa besar, tapi
bapakku pula yang menanam duri di sekitar akarku.” ungkapnya penuh hayat.
Maryam juga
merasa beruntung terlahir dari rahim ibu yang penyayang. Seorang ibu yang
senantiasa menyuntikkan semangat untuk tak lelah dalam berjuang. Petuah bijak
yang tampak klise untuk diungkapkan kerap menjadi penyejuk hati tatkala rasa
putus asa menghampiri. Buat Maryam, sang ibu adalah wanita teladan sejak dini
sampai saat nanti.
Hubungan
Maryam dengan orangtuanya cukup erat. Mereka kerap terlibat obrolan hangat, tak
jarang pula dirinya berungkap pendapat. Orangtua bisa dibilang perekam jejak
Maryam yang sudah terlewat. Rekaman yang tentunya tak melesat, atau setidaknya
tak jauh-jauh amat, walau sekilas tak selaras dengan keseharian yang dilihat.
Ketika sebagian besar orang menganggap Maryam sebagai seorang pendiam, orangtua
menyebut anak keempatnya ini cerewet. Seorang anak yang ketika diajak ngobrol bisa awet.
Banyak
orang memang memandang
Maryam sebagai sosok pendiam. Mereka mungkin melihat Maryam sebagai sosok yang
lidahnya sedang kram. Kramnya terus-terusan dan tak sembuh-sembuh. Wajar saja,
secerewet-cerewetnya Maryam, dia tidak akan menampakkannya di depan. Maryam
seperti Valentino Rossi saat balapan, kelakuan aslinya selalu keluar belakangan.
Maryam
memang tampak pendiam walakin kalau sudah bicara bisa sangat ceriwis, dan
dalam. Ada hal yang saya suka ketika bercakap dengan Maryam. Seringkali tanpa
permisi, seperti janjian dulu, ketika percakapan dimulai yang tak jarang sampai
menjamah ranah pribadi. Saya suka percakapan seperti ini, percakapan secara
spontan. Selalu ada tuntutan untuk bisa segera menanggapi biar tidak garing
sekaligus berbagi lisan. Apalagi kalau secara spontan, tak hanya memainkan
nalar tapi juga naluri.
Seringkali
Maryam menjadi partner ngudoroso
saya. Dia menjadi partner yang enak
karena tak hanya sebagai pendengar setia segala keluh-kesah-peluh-resah saya
tetapi juga menjadi penghantam yang jitu ketika saya merasa benar sendiri tanpa
peduli dengan orang lain. Sering Maryam menjadi orang yang mampu meredam amarah
saya meski tak seketika.
Triknya
biasanya begini, ketika marah, saya dibiarkan melampiaskan amarah sampai merasa
lega. Lalu dia membiarkan saya beberapa saat, kemudian kami bercakap dalam
suasana yang tak lagi emosional. Dengan perkataan yang diucapkan lemah lembut
tapi menampar keras saya, seringkali dia membuat saya menyadari telah berbuat
salah. Mungkin perkataannya keluar dari hati dengan perasaan peduli karena bisa
sampai juga pada hati saya tanpa merasa dilukai. Senang
bersahabat dengan Maryam, semoga kami bisa sanggam.