Author: Linda
Christanty
Foto: rumah Park Bom [박봄] (Bom 2NE1) saat malam menjelang. |
KAMI
makan malam bersama, aku dan Ibu. Ya, makan malam saja kami bersama. Sarapanku
selalu terburu-buru. Jalanan macet di pagi hari. Kantorku lumayan jauh dari
tepi kota ini. Aku selalu bergegas. Ketika aku berangkat, Ibu masih tidur. Aku
makan siang di kantor. Ibu makan siang di rumah. Makan malam adalah ritual
kami, ibu dan anak. Makan malam adalah waktu kami bersama, tak bisa
diganggu-gugat.
Kami
selalu makan malam berdua. Ibu memasak sendiri makanan yang disajikan. Sup
ikan. Tempe goreng. Gado-gado. Aku makan dengan lahap dan Ibu akan memandangku
dengan senyum puas. Musik juga mengalun. Kali ini Bach, kemarin Chopin.
Padahal, aku suka Satie.
Tiap
makan malam usai, kami duduk di beranda belakang. Aku dan Ibu sama-sama
merokok. Asap tembakau yang putih mengepul, berputar, atau bergulung, melayang
di udara, kemudian lenyap. Kadangkala ia menampar wajahku atau wajah Ibu
sebelum ditelan udara dingin yang mengisapnya. Kadangkala, kami juga mengisap
ganja. Di antara biusnya, kulihat sepasang mata Ibu yang terpejam. Ibu
kelihatan damai dengan mata terpejam, seperti bayi tidur. Tetapi, Ibu
menyebalkan kalau tidur betulan. Dengkurnya menggergaji gendang telingaku.
Di
meja kecil yang membuat kami berseberangan, tersedia dua cangkir capuccino
hangat. Di sela percakapan, kami akan menyeruput isi cangkir itu bersama-sama
atau bergantian. Ibu kemudian melihat ke dalam mataku dan berbisik, “I love
you, honey.” Hmm … aku berjingkat dari kursi untuk mengecup pipi Ibu yang wangi
bedak padat. Wajah Ibu bersemburat. Sekilas kubelai rambut Ibu. Helai-helai
uban telah memberi aksen di rambutnya, laksana sapuan penyepuh perak metalik
beku.
Malam
ini Ibu agak dingin. Kalimat ‘I love you’ cuma terdengar sekali. Sepasang
matanya menerawang. Ibu melamun. Ketika Ibu melamun, aku seolah ditinggalkan
sendiri dan bukan bagian dari dirinya lagi. Ketika Ibu melamun, ia bersembunyi
dalam kamar yang tak bisa kumasuki. Dulu sering kulihat Ibu melamun, kemudian
makin berkurang, dan akhirnya, tak pernah lagi. Sekarang Ibu kembali pada
kebiasaan lama. Ada apa?
“Dia
akan pulang ke sini,” kata Ibu, datar.
“Siapa?”
“Lelaki
itu.”
“Oh
….”
Aku
tak melanjutkan pertanyaan. Ibu sudah menguncinya dengan jawaban singkat yang
umum. “Siapa yang nanti akan menjemputnya?”
“Maksud
Ibu?”
“Maksudku,
apa kita akan menjemput dia bersama-sama atau salah satu dari kita?”
“Ya,
Ibu saja. Aku ‘kan nggak kenal dia. Lucu saja kalau aku yang jemput.”
Ibu
terdiam. Kumatikan rokok di asbak. Ibu malah mengambil batang kedua,
membakarnya dengan api pemantik, mengisap dalam-dalam lalu mengembuskan asap
lewat celah bibir dan rongga hidung. Wussss …. Aku tertawa kecil.
“Kenapa,
honey?”
“Ibu
mirip kuda nil mendengus. Air keluar dari hidung. Tapi kali ini asap.”
“Ah,
imajinasimu itu keterlaluan.”
Kali
ini Ibu menyeruput capuccino.
“Aku
belum pernah cerita tentang dia?” Ibu tiba-tiba memandangku, lurus-lurus.
“Lelaki
itu?”
“Ya.”
“Untuk
apa? Itu ‘kan urusan Ibu.”
Tiba-tiba
ia menarik kedua tanganku dan menggenggamnya. Kami saling diam, saling pandang.
Aku menunggu kata-kata Ibu, tapi Ibu malah menghela napas.
“Kenapa?
Ibu punya masalah? Cari saja yang lain, kalau dia bikin masalah,” kataku,
bersemangat.
“Masalah
bersama dia, sudah lama.”
“Kalau
begitu, putuskan saja. Aku nggak mau melihat Ibu sedih.” Aku cemas.
“Yang
satu ini tidak semudah itu. Karena kami punya sejarah.”
“Sejarah
bisa dihapus.”
“Yang
ini tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Dia
ayahmu.”
“Ayah?
Ibu bilang, aku diambil dari bank.”
Ibu
menyeringai getir, lalu mengusap-usap kepalaku, lembut “Kamu minta cuti kantor
saja sehari. Kita jemput dia di bandara dua hari lagi.”
***
AYAH,
kata yang ganjil. Kata yang tak kupahami ini membuatku sering menjadi bahan
olok-olok teman kecil. Mereka menyebutku anak pohon bambu. Guru Bahasa Indonesia
di sekolah pernah bercerita tentang Mandudari, bayi perempuan yang ditemukan di
semak bambu. Mandudari tidak berayah, tapi beribu. Ia tidak beribu manusia,
tapi bambu. Mandudari ada dalam kisah perwayangan. Tetapi, aku bukan anak pohon
bambu. Aku anak Ibu. Dalam satu hal, aku sama seperti Mandudari, tidak punya
ayah. Aku hanya hidup berdua dengan Ibu.
Teman-temanku
mempunyai ayah. Kadangkala lelaki itu menjemput mereka di sekolah. Ayah dan
anak tertawa-tawa, bercakap riang. Kadangkala, aku merindukan Ayah. Namun,
rindu yang membingungkan, seperti menginginkan sesuatu yang tidak pasti,
seperti kanak-kanak yang menangis tanpa sebab di tengah malam, seperti galau
yang panjang.
Rumah
kami juga pernah kedatangan lelaki, dua kali. Tapi itu bukan Ayah. Dua kali
untuk dua pria. Itu kunjungan yang kuketahui. Teman-temanku malah berkata, Ibu
sering pergi ke hotel dengan sepuluh pria, berganti-ganti.
Pria-pria
Ibu tak pernah bicara padaku. Mereka duduk di ruang tamu, tertawa-tawa,
kemudian pergi lagi bersama Ibu, entah ke mana. Mungkin ke hotel. Ketika aku
mulai remaja, Ibu tak pernah lagi membawa lelaki ke rumah.
Teman-teman
di sekolah menyebut Ibu: perempuan panggilan. Kata Ibu, pria-pria itu adalah
pekerjaan. Aku sempat cemburu pada mereka, tapi kemudian tidak lagi. Saat aku
tamat sekolah menengah pertama, Ibu mengirimku ke lain kota untuk melanjutkan
sekolah. Aku tinggal di asrama siswa. Pertemuanku dengan Ibu hanya berlangsung
di saat-saat libur.
Kadangkala
Ibu mengunjungiku. Kami berjalan-jalan melihat kota, naik becak atau andong.
Kami makan di restoran dan belanja macam-macam keperluan wanita. Menyenangkan.
Setelah
tamat perguruan tinggi, aku kembali ke rumah kami. Baru kali ini aku
sungguh-sungguh memperhatikan Ibu. Ia tampak lelah. Ia berkali-kali ke dokter,
tapi tak mau diantar. Sakitnya tak pernah sembuh. Sakit pada tubuh bisa
diobati. Sakit pada hati sampai mati. Aku ingat lagu ini. Dulu Bik Iyem,
pembantu kami, suka menyanyikannya sambil memasak atau menyapu rumah.
“Sebaiknya
kamu bertemu Ayahmu,” kata Ibu, dengan suara serak, sehari sebelum lelaki itu
datang.
Ibu
sakit lagi. Tubuhnya demam.
“Mengapa
dia meninggalkan kita?” Kemarahan menggumpal di tenggorokan.
“Nanti
kamu tanyai dia. Mengapa? Pertanyaan itu juga yang ada di kepalaku selama lebih
dari tiga puluh tahun ini. Mengapa?” Airmata meleleh di pipi Ibu yang mulai
kelihatan kendur.
Bila
sakit, Ibu senang mendengar gending Jawa. Aneh juga. Selera Ibu jadi berubah
mendadak begini. Ibu bagai terseret dalam alunan gending. Gending menjadi ombak.
Ibu menjadi perahu. Mereka bergulung-gulung dan saling hempas di laut lepas.
Kulihat mata Ibu berkaca-kaca.
***
DULU
Ayahmu suka menembang, kata Ibu. Suaranya merdu. Di malam hari ketika Ibu
mengandung aku, Ayah suka menembang. Suaranya jernih. Aku pernah dininabobokkan
Ayah dan itu membuat perasaanku tenteram. Seperti apa wajah Ayah, Bu?
Ibu
tak menyimpan potret Ayah. Tetapi dia terekam di sini, Ibu menunjuk dadanya.
Bahkan, untukku pun tak bisa dibagi.
Ayah
tengah melawat ke luar negeri menjelang keributan besar terjadi. Sebelum
menghilang dalam hening yang lama, Ayah mengirimi Ibu sepucuk kartu pos
bergambar gedung-gedung tua di Moskwa. Ada sebuah universitas yang
dicita-citakan Ayah sebagai tempatku kuliah nanti. Patrice Lumumba. Padahal,
aku masih meringkuk dalam rahim Ibu, belum tahu akan lahir hidup atau mati.
Suatu
pagi buta, setelah siaran radio berkali-kali menyiarkan berita kudeta,
serombongan orang mendatangi rumah dan mencari Ayah. Ibu sedang hamil 5 bulan.
Mereka mengobrak-abrik ruang kerja Ayah, mengambil buku-buku dan dokumen lalu
membakarnya. Keesokan hari, saat langit masih gelap, Ibu meninggalkan rumah itu
dan pergi ke kampung nenek.
Fitnah-fitnah
mulai gencar. Banyak orang dibunuh. Mayat-mayat mengambang di sungai. Ibu
memutuskan kembali ke kota. Hidup harus berlanjut. Aku sudah lahir dan butuh
susu. Setelah itu kehidupanku seperti berhenti, kata Ibu. Pria-pria
silih-berganti.
“Aku
sudah tahu,” kataku, pedih, seraya memeluk Ibu.
“Kita
lama kehilangan kontak dengan Ayahmu. Minggu lalu aku dapat telepon dari istri
seorang teman, yang bilang Ayah masih hidup dan ingin pulang.”
***
MAKAN
malam kali ini kami bertiga. Aku, Ibu, dan Ayah. Tak ada musik klasik. Ibu
membeli makanan terbaik dari restoran mahal. Namun, suasana menjadi ganjil. Ibu
dan Ayah tak berani saling pandang. Aku seakan monyet yang terjebak.
Wajah
pria di hadapanku tirus, putih, dengan rongga mata dalam. Uban sudah memenuhi
kepala. Jasnya kebesarannya. Suaranya gemetar, mirip rintihan. Inilah Ayahku.
Bagaimana aku menghadapi pria ini?
Kami
makan tanpa suara. Denting sendok garpu saling bersahut.
Setelah
makan malam, Ayah memberiku sehelai syal biru.
“Kamu
bisa mengenakannya untuk bepergian,” kata Ayah, bergetar. Tetapi, aku tak biasa
mengenakan syal untuk penampilan sehari-hari. Ini negeri tropis. Panas.
“Oh,
ya … terima kasih, Om … eh, Yah.” Aku memanggilnya “Om”!
Ibu
langsung mengusap-usap punggungku. Tenang, bisiknya.
“E,
aku ingin mendengar e … Ayah bercerita,” kataku.
“Cerita
apa? Aku belum punya cerita.”
“Oh,
ya sudah. Kalau begitu menembang saja.”
“Hmm
… suaraku nggak bagus lagi. Dan sekarang lagi nggak pengen nembang.”
Kulirik
Ibu yang tertunduk diam.
“Ayah
berencana tinggal di sini?”
“Belum
tahu. Mungkin nggak. Di sana aku juga punya kehidupan.”
Entah
kenapa, aku ingin menangis.
“Jadi,
kenapa pulang?”
Ia
memandangku. Tulang-tulang rahangnya mengeras.
“Aku
mau selesaikan urusan dengan Ibumu.”
Malam
itu mereka berbicara di beranda. Aku mendekam dalam kamarku, mengisap ganja.
Layar komputer menyala. Desain majalah yang harus selesai besok kubiarkan
terbengkalai. Aku malas.
Apa
yang akan dibicarakannya dengan Ibu? Mengapa aku disingkirkan dari pembicaraan
mereka? Aku tiba-tiba merasa pedih.
Sejam
kemudian, kurang lebih, terdengar derit pintu kamarku. Ibu datang dengan mata
sembab.
“Kenapa?”
“Dia
sudah punya dua anak di sana. Datang ke sini cuma untuk minta maaf pada kita.
Dia merasa bersalah padamu dan minta maaf,” kata Ibu, mendekapku.
Kami
berpelukan. Aku dan Ibu. Ayah meninggalkan rumah malam itu juga. Katanya, ia
akan menginap di hotel. Setelah itu ia akan berkeliling ke kota-kota di Jawa,
mencari teman dan saudara-saudara. Malam itu aku tidur bersama Ibu. Aku
meringkuk dalam pelukannya. Aku merasa ingin kembali memasuki rahimnya dan
tinggal di sana.
***
AKU
dan Ibu masih makan malam bersama. Namun, kali ini aku yang memasak untuk kami.
Aku juga menyuapi Ibu. Chopin, Bach, Beethoven, Schubert … silih-berganti. Kami
akan selalu berdua. Kesehatan Ibu makin memburuk. Ia sudah jarang berbicara
padaku. Aku selalu berbicara padanya tentang bermacam hal. Minggu lalu, ia
kubawa ke dokter. Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati.
Ayah, kata itu makin sayup dan tak terdengar lagi …. ***
Catatan
Tambahan:
Artikel
ini diterbitkan pertama kali pada 18 November 2006 pukul 01:38 melalui blog
pribadi.