Selatan Jakarta

— hadapi dengan senyuman air mata

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; Selatan Jakarta; Airin Rachmi Diany; Airin; Rachmi; Diany;

Airin Rachmi Diany mulai muncul dihadapan publik kala menjadi finalis Putri Indonesia. Saat itu Airin hanya mendapat titel putri favorit karena kalah dari Alya Rohali yang menjadi juara. Nama Airin kemudian muncul kembali di media nasional ketika dirinya menjadi kandidat wali kota Tangerang Selatan (selanjutnya Tangsel).

Pilkada Tangsel adalah salah satu dari pilkada nasional. Pilkada menjadi nasional tatkala disoroti lebih luas oleh pers nasional. Dalam pilkada Tangsel tersebut, Airin hanya menang sekitar 1000 suara dari Andre Taulani. Sejak demokrasi liberal diperkenalkan, sejumlah kepala daerah muncul dari kalangan artis. Andre adalah generasi ke sekian yang mencoba peruntungan.

Sebelumnya yang berhasil adalah Dede Yusuf dan kemudian Deddy Mizwar di Jawa Barat serta Rano Karno di Banten. Tapi, banyak juga yang gagal. Marissa Haque kalah dalam pertarungan sebagai calon wakil gubernur Banten, misalnya. Mereka populer, tetapi terjun langsung di lapangan politik praktis jelas tidak cukup hanya sekadar bermodal popularitas.

Politik adalah persepsi. Dari sisi ini, Airin tidaklah kalah dari Andre. Airin juga artis dari sisi kegiatan sosialnya, yakni menjadi aktivis lingkungan dan kesehatan. Hanya saja, terlihat lebih struktural, dalam arti memasuki organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan. Tipe organisatoris ini tentu lebih kaku dalam berhadapan dengan masyarakat, sekalipun lebih mengerti persoalan-persoalan yang sebenarnya.

Dalam pilkada tersebut muncul satu persoalan, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang dirundung masalah membatalkan hasil pilkada Kota Tangsel. Pilkada harus diulang. Yang menjadi persoalan, sejumlah pertimbangan hakim menyangkut persoalan yang sama sekali tidak terkait kandidat, melainkan keterlibatan birokrasi dalam memenangkan pasangan calon. Airin jelas bukan pejabat negara. Kalau ada kesalahan dari pihak lain yang memberikan dukungan kepadanya, apakah Airin layak dihukum?

Sandungan Airin kerap dilihat tidak pada kualitasnya, melainkan catatan bahwa datang dari keluarga “kerajaan” atau “dinasti” Banten. Keluarga dalam arti menjadi menantu. Ironis, menjadi menantu sebuah keluarga kini juga menjadi masalah di negeri ini. Mengapa jika ada keluarga pejabat maju dalam pertarungan politik dihalangi?. Bukankah yang kita mau tidak ada korupsi? Kenapa harus menyembelih hak berpolitik bagi keluarga pejabat?

Artinya, Airin memang mendapatkan perlawanan bukan karena kualitas pribadinya, tetapi lebih kepada perlawanan atas status sosialnya. Dan hal seperti ini terus dieksploitasi oleh sebagian media. Lebih ironis lagi, pandangan jauh dari cendekia berupa sentimen-sentimen baru yang hanya karena status sosial  seperti ini justru dikedepankan oleh kelompok yang merasa kelas cendekiawan. Kenapa status sosial begitu mengganggu, di negara yang sedang merayakan demokrasi ini? Lebih lucu lagi ketika pelakunya adalah mereka yang suka berteriak lantang menjunjung demokrasi dan toleransi.

Airin Rachmi Diany lahir tanggal 28 Agustus 1976 di Banjar. Airin adalah seorang puan yang berani terjun ke kancah politik praktis. Di dunia politik praktis yang ganas, kehadiran seorang puan masih dianggap sebagai anomali. Persoalan “monarki Banten” muncul dibalik sikap membenci Airin.

Ketika media bereaksi bahwa “dosa” Airin adalah menjadi bagian dari keluarga besar Ratu Atut Chosiyah, di mana pandangan semadyana dari pengamat yang rajin narsis di media? Ketika pertimbangan-pertimbangan genetik muncul sebagai alasan penolakan, rasionalitas politik justru menjadi hilang. Cara-cara seperti ini apabila dipakai di tempat lain, justru akan sangat membahayakan demokrasi itu sendiri.

Sebagai puan, Airin terbilang berparas cantik dengan senyum yang menawan, meski ada kalanya terpaksa dikulum. Jarang menemukan puan seperti ini yang status puan masih dianggap kelas dua. Akan tetapi sentimen-sentimen yang kurang layak bagi negara demokrasi sebesar Indonesia apa harus diterima?

Sebagai aktivis kampus yang memiliki sederet prestasi, banyak yang menyesalkan Airin memasuki arena politik praktis. Bukankah semakin banyak aktivis kampus memasuki arena politik praktis dewasa ini? Entah sebagai penasihat, konsultan, maupun panitia rekrutmen pejabat-pejabat negara, termasuk pegawai negeri sipil. Indra Jaya Piliang, Fadli Zon, atau Fahri Hamzah misalnya. Politik bukan sekadar menjadi politisi saja. Bahkan tidak memilih atau golput adalah bagian dari sikap politik.

Ada masanya ketika penolakan terhadap Airin sebagai pemimpin dilandasi alasan karena Airin puan dan puan tidak boleh menjadi pemimpin. Padahal, sejarah Indonesia sendiri tidak mengenal diskriminasi dalam politik. Sekitar 1000 tahun lalu, Ratu Sima di kerajaan Kalingga sudah membuktikan hal ini. Ratu Sima berhasil menjadi pemimpin hebat yang dikenang sejarah meski dia puan.

Dalam hal diskriminasi puan dalam kancah politik, Indonesia lebih dewasa daripada Amerika dan Arab. Sayang banyak yang melupakan sejarah besar bangsa ini. Sebagai bukti, di Arab ketika Ratu Sima berkuasa, kaum puan bahkan masih dianggap sebagai barang warisan alias tidak dihormati sebagai manusia. Bahkan sampai sekarang kaum puan di Arab masih saja menjadi perhiasan sangkar madu.

Ketika pemilih di Amerika Serikat baru mulai menyuarakan hak pilih terhadap puan pada akhir tahun 1960-an, puan Indonesia sudah memilih pada pemilu 1955. Sampai tahun 1970-an dan 1980-an, pemilih puan Amerika Serikat masih tetap berjuang di sejumlah negara bagian. Sekalipun jauh lebih lama merdeka, Amerika Serikat masih mengalami diskriminasi, bukan hanya terhadap puan, melainkan juga kulit hitam.

Jadi, agak aneh kalau mempersoalkan kepuanan Airin dibandingkan dengan politisi laki. Kata pepatah: Kalau mau menyalakan lilin, jangan matikan lilin orang lain. Dr Syahrir (alm) pernah mengungkap: janganlah mengutuk kegelapan, mulailah menyalakan lilin. Lilin yang banyak akan membawa terang, asal jangan sampai membawa kebakaran.

Airin adalah sosok lilin yang menerangi dunia politik yang “gelap” dengan hegemoni kaum laki. Ketika pengelolaan (governing) berjalan, jarang kandidat puan yang terpilih terjebak dalam perilaku-perilaku yang dituduhkan ke politisi. Misalnya: korupsi. Data-data menyebutkan, jarang sekali politisi puan yang terkena kasus korupsi. Entah bagaimana, kaum politisi puan lebih mampu menjaga diri, ketimbang politisi laki. Keunggulan politisi puan dibanding laki-laki mestinya memunculkan semangat bagi puan yang berambisi terjun ke arena politik praktis.

Tangsel adalah kota. Sebagai kota, Tangsel memiliki ciri-ciri sebagai masyarakat urban. Individualisme begitu kuat, dibandingkan dengan komunalisme atau sistem kekerabatan. Banyaknya kawasan perumahan memang membawa dampak kepada semakin eratnya hubungan warga bertetangga. Inisiatif warga menjadi penting. Begitupula peranan dari pihak swasta dan masyarakat sipil juga kuat.

Pengelola (government) dalam level ini, barangkali lebih banyak menjadi pelayan kepentingan publik. Nah, pelayanan itu menyangkut fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pemeliharaan terhadap ruang publik menjadi penting. Setiap proses pengambilan keputusan sepatutnya mendapatkan masukan dari publik. Dialog lebih penting, ketimbang monolog. Dominasi dan hegemoni adalah petaka.

Maka, bicara soal urban, jadi agak lucu melihat cara menolak Airin dalam pilkada Tangsel dengan alasan “Tangsel Pilih Tangsel”. Bukankah penolakan atas Airin juga karena logika “Airin adalah bagian dari Monarki Banten”? Mempertahankan sikap seperti itu jelas akan membawa perspektif kedaerahan yang kuat dalam wadah masyarakat kota. Padahal, Tangsel berbeda dengan tetangganya, Pandeglang atau Lebak.

Tangsel lahir sebagai sebuah ruang publik yang datang dari beragam suku bangsa di Indonesia. Kehadiran universitas level nasional di Tangsel makin menambah tinggi derajat Tangsel, dibandingkan dengan daerah asal saya, Kudus, misalnya. Sekalipun Kudus memiliki banyak tokoh bersejarah mulai dari ulama, atlet, pengusaha, dsb dst, sampai sekarang belum ada universitas level nasional. Universitas Muria Kudus (UMK) misalnya, masih dianggap sebagai universitas pelampiasan.

Kita sedang menata demokrasi di Indonesia. Apapun yang terjadi di Aceh, misalnya, akan memberi dampak kepada Papua. Cara kita menghadapi persoalan di Jogjakarta, akan berimbas kepada reaksi masyarakat Bali. Identitas-identitas kedaerahan atau apa yang dikenal sebagai “politik identitas”, bukan semakin hilang seiring dengan kebebasan informasi. Kalaupun ada perbandingan, biasanya orang-orang bertanya: kenapa di sana berbeda, kenapa di sini tidak?

Maka agak menggelisahkan dan menggelikan apabila cara menolak Airin digunakan di tempat-tempat lain. Bisa-bisa keindonesiaan akan lenyap. Apalagi, kalau tokoh yang berada di balik itu merupakan figur publik. Status itu tidak akan lepas, mau di manapun tempatnya. Walau mentas di panggung tak jauh dari ibu kota, lalu-lintas informasi mengenai Airin terbilang sedikit. Media lebih banyak memuat opini pribadi masing-masing tokoh. Opini dan testimoni yang kurang semadyana cenderung menghakimi Airin.

Airin telah memulai dengan baik proses sosialisasi dirinya. Kekalahan dalam pilkada Kabupaten Tangerang tidak dengan sendirinya membuat Airin menyingkir dari kehidupan publik. Padahal, waktu maju di Kabupaten Tangerang, Airin hanya calon wakil bupati. Di Kota Tangsel yang lahir dari pecahan Kabupaten Tangerang, Airin lebih mempersiapkan diri dengan matang. Pelajaran dari kekalahan sebelumnya ternyata mendorong pada raihan yang lebih tinggi, walikota Tangsel.

Apakah Airin dinilai berhasil atau gagal sebagai wali kota, itu bukan soal utama dalam politik. Untuk sosok yang sudah berpengalaman seperti Airin, penilaian publik tentulah bukan perkara utama. Buat saya, selayaknya informasi seputar tokoh inilah yang perlu disiarkan kepada publik, ketimbang melakukan penghakiman. Kebanyakan aktivis atau akademisi terjebak dengan penghakiman yang penuh opini sepihak. Cara seperti ini kurang madya rasanya.

Testimoni jelas berbeda dengan pemaparan yang apa adanya. Yang saya bingung adalah publik mudah percaya ketika kaum cendekiawan memberikan informasi yang disebut netral, padahal tak objektif penuh kepentingan pribadi sepihak. Bukan edukasi yang diberikan, melainkan penggiringan opini pada khalayak.

Siapapun layak menunjukkan prestasinya di bidang lain ketika terjun ke politik praktis. Itu yang disebut sebagai rekam jejak. Bagi publik, rekam jejak itu perlu untuk menunjukkan kesungguh-sungguhan dalam mengurusi publik. Airin, misalnya, adalah Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Tangsel. Prestasi PMI menguat seiring meningkatnya kinerja lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan ini. Airin, tentu hanya unsur kecil yang mendorong PMI menjadi organisasi yang disegani.

Selain itu, Airin juga menumbuh-kembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). TBM ini sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia, baik di desa ataupun di kota. Bagaimanapun, masyarakat membutuhkan buku-buku bermutu. Hanya saja, dari sekadar membawa buku sampai membentuk TBM tentu membutuhkan kerja-kerja jangka menengah dan panjang.

Siapa yang mau melakukan pekerjaan semacam menjadi Ketua PMI atau pemrakarsa TBM itu? Apakah tak layak terjun sebagai politisi dan meraih simpati dari jejak rekam sebelumnya? Airin, bagaimanapaun citranya sekarang, tetaplah seorang filantropis yang bergerak maju dalam proses politik. Dalam bentuk yang kekinian namun tak kedisinian, filantropis malah membentuk organisasi seperti yayasan untuk mencapai dunia yang lebih luas. The Maria Sharapova Foundation misalnya.

Salahkah jika aktor filantropis mengatakan tentang jejak rekam sebelumnya? Seorang politisi layak mempertahankan argumen-argumen dibalik apa yang dilakukan sebelumnya. Sebaliknya, politisi juga bisa menyerang argumen-argumen pihak lawan tanpa harus merasa paling hebat dan mengatakan orang lain lebih buruk.

Selama hukum belum menentukan batas-batas pelanggaran, maka argumen apapun dalam politik adalah sah. Argumentasi sebagai bagian dari dinasti politik Banten justru menutupi hal-hal positif dalam diri Airin. Selama Airin bekerja dengan bersemangat dan tanggung jawab maka sebutan dinasti biarlah saja. Demokrasi tidak mengharuskan bentuk tertentu. Bentuk hanyalah teknis pelaksanaan demokrasi. Pada hakikatnya demokrasi adalah pengelolaan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat.

Hiruk-pikuk politik akhir-akhir ini menunjukkan bagaimana sulitnya membangun kepercayaan publik atas partai politik. Terlebih dalam ajang pemilihan anggota legislatif, pemilih disodorkan nama-nama caleg. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pemilih lebih percaya pada caleg yang dipilihnya daripada partai yang menaunginya.

Pemimpin daerah yang berhasil lebih dilihat sebagai prestasi individu daripada prestasi partai yang mengusungnya. Misalnya Ridwan Kamil walikota Bandung, lebih dikenal sebagai Emil ketimbang bagian Partai Gerindra. Hal ini seolah menunjukkan bahwa individu jauh lebih diterima, ketimbang partai politik.

Airin sudah menceburkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Sedapat mungkin, calon-calon pemimpin formal lain juga melakukan. Apalagi, di masa sekarang dan ke depan, seseorang dalam posisi sebagai kepala daerah bukanlah pengurus birokrasi. Bantuan teknologi informasi semakin banyak. Tugas kepala daerah, dalam banyak hal, adalah mengurusi masyarakat. Bukan pelayan mata rantai birokrasi yang kian rumit.

Dari sini, partisipasi menjadi penting. Warga yang aktiflah yang bisa menilai sejauh mana figur-figur pemimpin memberi sentuhan kepada kepentingan warga atau tidak. Sebaliknya, warga yang pasif hanya mengandalkan sentimen-sentimen yang berdasarkan informasi terbatas. Terbatas dalam arti sedikit, juga dalam arti penuh pengaburan informasi.