— semacam intan terabaikan dalam jepitan cibiran
Sebelum menyaksikan rekaman video beberapa acara yang
melibatkan punggawa IslamLib melalui YouTube,
saya tak pernah membaca catatan racikan Novriantoni Kahar. Maksudnya tak mencari
lalu membaca kemudian menindaklanjutinya secara sadar. Tindaklanjutnya bisa
berupa peniruan terhadap kandungan atau cara maupun sekadar penyerapan pada kata
seperti biasa (dan sering banget)
dari catatan adonan Nong Darol Mahmada. Catatan Novri memang beberapa kali
terbaca walakin menindaklanjuti adalah hal berbeda.
Satu waktu ketika sedang selo seiring perpisahan Chelsea dan Roberto Di Matteo, tak sengaja
saya termukan rekaman video acara yang melibatkan Novriantoni Kahar bersama
Jalaluddin Rakhmat [lihat].
Meski tak sengaja, video yang membincangkan karya Djohan Effendi tersebut
justru segera mendapat tempat dalam hati hingga mengakar kuat. Beruntung Evi
Rahmawati menulis laporan dengan bagus sehingga ketika saya ingin menengok kembali
cukup menghemat kuota data, meski ada bagian penting buat saya yang
terlewat [lihat].
Dalam acara tersebut, Novri sempat mencatut kutipan
berbahasa Arab yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Kutipan
tersebut berbunyi, wa ayn al-ridha ‘an kulli ‘aybin kalilah (mata yang rela akan tumpul terhadap semua cela).
Selang beberapa saat, Novri melengkapi
cuplikan tersebut dengan cara yang sama melalui penuturan wa ayn as-sukhti
tubdi al-masawiya (mata yang
penuh amarah hanya melihat apa yang nista).
Terus terang cuplikan
kedua segera mengena pada saya lantaran Novri menunjukkan ‘contoh
penggunaannya’ dengan menunjukkan kelakuan Arsène Wenger dalam menyikapi
manuver transfer José Mourinho ketika the
special one masih berada di Chelsea. Bagian ‘contoh penggunaan’ terkait
sepak bola inilah yang tak saya temukan dalam laporan Evi. Cadangan ingatan dalam kepala saya tentang rekaman
tersebut terutama bagian itu nyaris tak sirna. Malahan kata ‘voyeur’ yang dalam acara itu sempat Novri konfirmasi pada Evi—lalu
di-iya-in biar cepet—muncul saja begitu saya beberapa hari lalu ketika saya
pakai membalas cuitannya [lihat].
Itu adalah gambaran singkat—maunya tapi berkepanjangan
jadinya—mengenai sejumput kapling permanen dalam hati saya yang terlanjur
ditempati Novri. Lha gimana ya, meski
terbilang eceran tak segagah Dhani Ahmad Prasetyo dan Nong dalam membayangi
langkah, ecerannya sayang dibuang. Berulang kali perkataan tersebut saya catut
untuk disuntik dalam beberapa catatan sebagai bentuk apresiasi. Tanpa ragu,
saya bilang padanya ketika pertama kali melakukannya seraya yakin bahwa Novri
tipikal manusia yang kalau dipuji tak melayang sepertihalnya ketika dicaci tak
tumbang.
Sebagai punggawa IslamLib, dibanding Nong maupun Ulil Abshar Abdalla, Novri mungkin tampak sebagai pelengkap. Keberadaannya nyaris tak
dianggap, hingga membuat ragam macam buldoser kelewatan dari ummat congor turah tak terlampau banyak hinggap. Secara pribadi pun, kehadiran
dalam perjalanan saya memang pelengkap. Tentunya sebagai pelengkap, ada sisi
tersendiri yang masih bisa dia isi untuk membuat pengaruh darinya tetap
hinggap.
Dalam video tersebut, Novri menunjuk Karen
Armstrong sebagai contoh kategori friend of lover sebagai pengantar untuk
menempatkan karya Djohan Effendi berdasarkan gagasan Farid Essack [1][2].
Penuturan yang disertai pengalaman saat dia membaca biografi Muhammad karya Karen
membuat saya terhentak. Karuan saja saya ingin membeli buku itu untuk sekadar
membuktikan penuturan Novri. Tak salah rupanya Novri menyebut bahwa Karen
terbilang sosok yang dalam menampilkan hasil kajian disertai rasa
simpati dan empati.
Perlahan malar, saya mulai menyempatkan waktu menonton video yang melibatkan
maupun membaca catatan buatan Novri. Penuturan lisan maupun tulisannya bagus
dan mudah saya ikuti. Jauh beda dengan kesan
pertama ketika membaca catatan dari Ulil, yang istilah-istilahnya kerap membuat
saya auto default mengerutkan dahi. Dari sini Novri mulai menginjeksi pengaruhnya. Pengaruh yang dengan lembut meluruh dalam diri saya.
Cuman... setelah saya telusuri sepanjang musim paling malesin untuk supporter Chelsea kala itu, pria berhati laiknya ulat sutra ini
justru menjelma sebagai manusia
yang bermasalah dengan saya. Rupanya Novri telah sadar ber-syahadat menjadi full-time
Gooner yang diyakini olehnya sebagai klub terbaik di dunia hatta surga.
Tentunya saya tak kuasa untuk menghakimi keyakinannya.
Masalahnya ialah, beberapa bulan silam Arsenal semena-mena mengandaskan
perjuangan Chelsea. Perjuangan yang menjadi titik balik epik untuk insyaf ber-jama’ah dari Chelsea hingga kemudian Arsenal yang justru memasuki masa keruh. Sebagai bentuk rasa
simpati dan empati, saya merasa tak tega menyaksikan klub itu tampak ambruk
hingga dengan semau-maunya mencibir seorang sepuh.
Satu hal yang tak luput dari perhatian saya ketika membaca
catatan buatan maupun menyaksikan tayangan dari Novri ialah pemilihan kata.
Sering sekali Novri bikin saya kesal, sudah menjadi pendukung Arsenal, masih
pula berututur bahadur. Tak jarang Novri mencatut kutipan asing lalu
dialihbahasakan. Karyanya yang ini buat saya sangat memberikan penghiburan.
Memang alihbahasa dari Novri terhadap catutan kutipan
tak letterlijk, namun tak bisa
disalahkan juga lantaran kandungannya terbilang sama. Cukup asyik dirasa ketika
menikmati Novri bertutur. Apalagi kalau
melalui YouTube, raut wajahnya lumayan enak disimak meski dia sudah dimiliki
seutuhnya oleh Lanny Octavia. Jadi saya tak perlu mengeset mata biar tayangan
tampak nge-blur.
Jika sedang selo
maupun mendadak sibuk dampak Chelsea ambruk, catatan buatan atau rekaman video
yang melibatkan Novri biasa saya kunjungi. Semacam menjadi pendobrak kuldesak kala
paceklik gagasan dialami. Sejenis alat bantu dalam menggali inspirasi. Novri seperti
punya daya endus tersendiri sehingga mampu menyusun catatan bergizi dan enak dinikmati.
Satu hal lain yang saya kagumi
adalah ketika Novri menunjukkan kasih sayang dengan gamblang. Cara Novri menempatkan diri sebagai anak, bapak, suami,
sahabat, teman, lawan, pengagum, ataupun sederet semat untuknya menunjukkan kalau
dia lebih melihat manusia dari sisi martabatnya sebagai orang ketimbang kegunaannya
sebagai barang. Wajar bukan kalau saya berupaya untuk mencibirnya selalu? Kepada manusia non-kemplu
sudah sewajarnya kalau saya cemburu. Novri itu CenAsu.
Selain menikmati keindahan penuturan dari sosok Novri, saya juga belajar
tentang kesalehan laku sebagai manusia tanpa perlu tahu menahu interaksi yang
dialami dengan Pelantan Alam Raya. Memang Novri bisa berbuat salah juga, karena dia pria dan yang tak
pernah salah cuma wanita. Bagi
yang tak kenal Novriantoni Kahar, tentu boleh tetap bernafas. Walakin hembusan
nafasnya tak perlu disertai cibiran kelewat cemar, apalagi berperilaku beringas.
Secara khusus, saya berterima kasih pada Novri untuk saran buku “Adams, C. (1966). Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Alih Bahasa Major Abdul Bar Salim). Djakarta : PT Gunung Agung.” Bukunya tak pernah mendung.
Secara khusus, saya berterima kasih pada Novri untuk saran buku “Adams, C. (1966). Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Alih Bahasa Major Abdul Bar Salim). Djakarta : PT Gunung Agung.” Bukunya tak pernah mendung.
B.Sn.Lg. 280650.38.260317.23:26.
"وعين الرضا عن كل عيب كليلة ولكن عين السخط تبدي المساويا"
Tambahan
[1] Armstrong, K. (2007). Muhammad prophet for our time (alihbahasa oleh Yuhani Liputo).
Bandung : Mizan Pustaka. [unduh]
[2] Esack, F. (2007). The qur’an : a user’s guide. Oxford: Oneworld Publications. [unduh]
Ditampilkan di facebook pribadi.
Ditampilkan di facebook pribadi.