Ionia


— pemula gelora kajian keilmuan

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice;

Gerhana menjadi peristiwa penting dalam linimasa peradaban manusia di planet Bumi. Semula, peristiwa tersebut ditaggapi dengan menggunakan ragam macam mitos. Saat terjadi gerhana, orang-orang di Bumi bergegas menyelamatkan Surya (Matahari) atau Bulan dengan bersama-sama membikin kebisingan. Melalui kebisingan ini mereka berharap supaya gerhana segera sirna.

Mitos seperti ini tak hanya terjadi di tanah Jawi dengan cerita ‘Srengengene dipangan Butho’ (Jawa: Suryanya dimakan Raksasa). Di belahan wilayah lain, mitos seperti inipun ada. Entah bagaimana caranya, setiap generasi peradaban manusia di planet Bumi, selalu saja ada titik temu jitu. Ada kecenderungan yang berlaku pada setiap masa yang hingga kini tak pernah sirna juga.

Lamat-lamat malar, manusia meninggalkan mitos tersebut sesudah melihat adanya pola keteraturan dalam peristiwa gerhana. Pola keteraturan alamiah yang terus menerus berjalan tanpa perlu menghadirkan kebisingan untuk ‘menyelamatkan’ kirana Surya atau Bulan dari temaram saat gerhana.

Tak jelas behind the scene penangkapan pola ini. Entah memang berupaya memperhatikan, entah karena malas lalu tiba-tiba mendapatkan, entah ada sosok yang datang membuka jalan. Yang jelas manusia mulai menyadari bahwa gerhana terjadi dengan pola teratur yang berulang sendiri. Kesadaran yang membangkitkan semangat untuk bisa mengerti keteraturan Semesta Raya.

Pengertian terhadap pola keteraturan membikin bangsa Babilonia kuno yang menduduki wilayah Mesopotamia sanggup memperkirakan masa terjadi gerhana lagi. Perkiraan mereka cukup akurat meski belum disertai pemahaman terhadap penyebab terjadinya gerhana. Mereka memulainya dengan gerhana Bulan dan perlahan dilanjutkan dengan gerhana Surya. Dari situlah pemahaman bahwa peristiwa alam memiliki keteraturan mulai menggelora.

Gelora mencari tahu pola keteraturan peristiwa alam mulai meraja sesudah gagasan brilian diberikan oleh seorang laki bernama Thales (Θαλῆς). Sosok misterius asal Miletus (kini Turki) ini diperkirakan mendiami planet Bumi sepanjang 624-546 sebelum masehi (SM). Thales memberikan gagasan mengenai pola keteraturan ini yang dimulai dengan mengajakserta masyarakat (kawulo alias praja dan gusti alias pejabat) di lingkungannya, Ionia.

Secara khusus, Thales mendapat apresiasi menawan atas keberhasilannya memperkirakan dengan jitu terjadinya gerhana Surya pada tahun 585 SM. Tak ada peninggalan karya tulis dari Thales yang bisa ditemukan, namun semua sepakat bahwa dialah sosok keren pencetus gagasan baru dalam melakukan ijtihad [اجتهاد].

Gagasan Thales membuka gerbang petualangan panjang tanpa henti yang dilakoni manusia hingga kini. Petualangan atas dasar keyakinan bahwa Semesta Raya memiliki keteraturan yang dapat dimengerti. Kejadian yang tampak sulit dan komplit dapat disederhanakan melalui penjelasan rapi dan rinci.

Thales memulai gelora ini melalui kampung halamannya yang disebut Ionia [Ἰωνία]. Thales menjadikan Ionia sebagai batu loncatan mengagumkan. Pada masanya, Ionia yang masuk wilayah Yunani merupakan pusat ilmuwan yang kirananya meluas hingga Turki dan Italia.

Unjuk rasa masyarakat Ionia dikagumi melalui perhatian kuat dalam menggali aturan-aturan dasar yang bisa menjelaskan fenomena alam. Aturan dasar tersebut disusun dengan cara yang bisa dinalar sehingga tak menutup diri untuk bisa dimengerti oleh liyan. Unjuk rasa mereka tak sebatas bisa dicoba melalui pengamatan, namun bisa juga melalui pemikiran.

Unjuk rasa dari Anaximandros (Ἀναξίμανδρος) misalnya. Sahabat Thales yang mendiami Bumi sepanjang 610-546 SM ini mengungkapkan pandangannya bahwa manusia adalah keturunan yang tumbuh lebih bagus dari spesies sebelumnya. Pandangan ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa karena bayi manusia tak berdaya saat lahir.

Menurut Anaximandros, jika manusia pertama muncul sebagai bayi seorang diri, maka tak akan bertahan dalam keseharian alih-alih tumbuh tua dan berkembang dewasa. Warisan Anaximandros mangkrak lama hingga bisa dihidupkan lagi pada abad 19 oleh Charles Robert Darwin melalui unjuk rasa yang dikenal dengan teori evolusi.

Dalam banyak perkara, unju rasa masyarakat Ionia bahkan bisa memberikan kesimpulan yang tak jauh berbeda dengan kesimpulan yang didapat saat ini. Salah satu pesona yang belum sirna hingga kini dari Ionia adalah gagasan yang dikenal dengan teorema Pythagoras. Teorema ini menyebutkan bahwa kuadrat sisi terpanjang dari segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dua sisi yang lain yang dapat ditulis menggunakan persamaan 32 + 42 = 52.

Sosok bernama Pythagoras (Πυθαγόρας) sendiri diceritakan mendiami Bumi selama kurun masa 570-495 SM. Walau teorema tersebut disematkan pada Pythatoras, tak ada yang berani memberikan kepastian kalau dialah yang memberi gagasan abadi ini. Gagasan ini terbukti tepat dan tetap sejak semula di-jlentreh-kan hingga saat ini.

Tersiar pula kabar bahwa Pythagoras menemukan hubungan antara senar yang dipakai dalam alat musik dan kombinasi harmonik suara yang dihasilkan. Penemuan Pythagoras menyatakan bahwa jumlah getaran setiap satu satuan waktu (frekuensi) dari senar yang bergetar dalam tegangan tetap berbanding terbalik dengan panjangnya. Supaya lebih mudah, pernyataan menggunakan paduan kata disertai dengan angka.

Penemuan kedua pun abadi. Kini kita bisa melihat penerapan penemuan Pythagoras pada perbedaan bass dan gitar. Senar bass lebih panjang ketimbang senar gitar. Semula penemuan kedua Pythagoras dinamakan formula matematika namun seiring berjalannya waktu penemuan itu dinamai fisika teori.

Tak hanya menarik bagi masyarakat setempat, unjuk rasa ala Ionia juga sanggup menarik perhatian hingga Sicìlia. Empedocles (Ἐμπεδοκλῆς), yang mendiami wilayah Sicìlia (kini Italia) sepanjang kurun masa 490-430 SM, iseng mengamati wadah air yang disebut clepsydra. Alat ini berbentuk bola dengan leher terbuka dan lubang-lubang kecil di bagian bawahnya.

Empedocles penasaran dengan cara kerja alat tersebut. Kalau clepsydra dicelupkan ke dalam cairan alat ini akan terisi. Lalu ketika terbukanya itu ditutup, alat ini akan bisa mengangkat cairan keluar tanpa menumpahkan isinya meski terdapat lubang di bawahnya.

Keisengan Empedocles ini melatarbelakangi pandangannya bahwa ada ‘sesuatu’ tak terlihat mata yang membikin air tak tumpah kalau leher clepsydra ditutup dan akan segera tumpah kalau dibuka. Kini ‘sesuatu’ itu dikenal dengan sebutan udara.

Tak lama berselang, penghuni Ionia tak mau kalah memberikan sumbangan gagasan brilian. Democritus (Δημόκριτος), penghuni bagian utara Ionia sepanjang 460 hingga 370 SM, melakukan keisengan lainnya dengan memotong benda menjadi bagian-bagian kecil.

Pemotongan terus menerus hingga dia malas memotongnya lagi. Setelah lelah melanjutkan keisengan, Democritus mengungkapkan pandangannya bahwa setiap benda tersusun atas bahan dasar yang tak dapat dipotong lagi. Bahan dasar yang tak dapat dipotong dalam bahasa kuno Yunani disebut atom (a = tidak dan tom = dipotong).

Ketika gagasan berdasarkan keisengan tersebut diungkapkan, diyakini bahwa atom adalah bahan dasar paling kecil. Hanya saja saat ini pengembangan gagasan menyebutkan bahwa atom pun terdiri dari bahan dasar yang lebih kecil lagi. Setelah ditemukan proton, neutron, dan elektron sebagai bahan dasar paling kecil, kini sudah dikenal quark dan lepton sebagai bahan dasar ketiganya.

Meski demikian, gagasan Democritus bahwa terdapat bahan dasar penyusun setiap bahan ini tetap abadi. Tak masalah kalau bahan dasar itu bukanlah atom seperti dia yakini. Dia pun saat itu sudah meyakini bahwa peristiwa terkait benda merupakan hasil benturan bahan dasar pamungkas terkecil itu.

Pandangan yang dijuluki atomisme ini menyatakan bahwa semua atom bergerak di sekitar ruang kosong dan tak akan berhenti jika tak ada gangguan. Belum ada yang bisa memastikan alasan harus ada ruang kosong itu, namun pandangan ini mengilhami gagasan yang kini disebut sebagai hukum kelembaman (kemalasan mengubah posisi semula).

Tak lama berselang, gagasan brilian kembali menjulang. Aristarchus (Ἀρίσταρχος), penghuni Ionia sepanjang rentang 310–230 SM, memberikan gagasan bahwa Bumi bukanlah pusat jagad raya. Generasi Aristarchus disebut sebagai generasi emas terakhir yang terlahir di Ionia.

Gagasan Aristarchus sendiri disertai hasil pengamatan (data) yang dianalisa melalui perhitungan. Dia menghitung ukuran bayangan Bumi pada bulan selama terjadi gerhana Bulan. Gagasan ini menjadi satu-satunya unjuk rasa darinya yang terus menerus bertahan dengan kesimpulan tak terbantahkan.

Dari perhitungannya, Aristarchus menyimpulkan bahwa Surya pasti jauh lebih besar dari Bumi. Karena saat itu berlaku pandangan bahwa benda kecil akan cenderung mengelilingi benda besar (tak bisa kosok bali). Kesimpulannya disusuli bahwa Bumi bukanlah pusat dari jagad raya. Dengan ungkapan lain, Bumi adalah salah satu benda yang mengelilingi Surya.

Aristarchus pun meyakini bahwa bintang-bintang yang berkilau saat temaram malam seperti Surya, namun letakanya sangat jauh dari Bumi. Pandangan ini memang sempat mangkrak namun kini berlanjut lebih ‘sinting’ lagi.

Pengembangan gagasan Aristarchus berlanjut hingga menyebutkan bahwa Surya pun mengorbit pada benda yang jauh lebih besar lagi. Misalnya kita mulai mengenal dengan Galaksi. Neil deGrasse Tyson memandu dengan bagus perkembangan ‘sinting’ ini melalui acara Space Odyssey, walau wajahnya kurang ganteng.

Hampir dua abad kemudian, sepanjang rentang 287-212 SM, muncullah sosok sinting bernama Archimedes (Ἀρχιμήδης). Dia dihormati sebagai fisikawan agung dari zaman yang disebut zaman kuno. Archimedes berhasil menyumbangkan gagasan abadi berupa tiga hukum fisika yang dirumuskannya.

Gagasan pertama Archimedes menjelaskan tentang sedikit forsa (force, biasanya dialihbahasakan menjadi gaya namun jadi rancu dengan mode/fashion) yang diberikan pada hulu pengungkit dapat mengangkat beban berat karena perbandingan jarak dan titik tumpu beban pada pengungkit bisa menggandakan forsa yang diberikan pada hilirnya.

Gagasan keduanya menjelaskan mengenai forsa tekan ke atas (gaya apung). Setiap benda yang dicelupkan ke dalam sebuah cairan akan mengalami forsa tekan ke atas yang forsanya sama besar dengan berat cairan yang dipindahkan (misalnya tumpah).

Gagasan kedua ini membikin dia disebut sinting karena saking girangnya dia lupa belum mengenakan pakaian saat berupaya memamerkan yang ditemukan. Kegirangannya diserta dengan teriakan eureka, yang geloranya terus menggema sepanjang masa.

Eureka yang berarti ‘sudah kudapatkan’ berkembang menjadi istilah. Secara istilah, Eureka didefinisikan sebagai a cry of joy or satisfaction when one finds or discovers something. Secara serampangan, eureka adalah ungkapan rasa syukur saat gembira berhasil menemukan sesuatu yang dirasa baru.

Gagasan ketiganya menegaskan bahwa sudut antara berkas cahaya dan cermin datar sama dengan sudut antara cermin dan berkas cahaya yang terpantul. Hanya saja gagasan ini tak disertai acuan pengamatan dan pengukuran.

Pada masa sekarang, Bangsa Ionia terus dikenang dengan warisan tak lekang sepanjang zaman. Sayang, pada masa mereka, juga terdapat masyarakat serupa. Masyarakat yang getol unjuk peran dengan masing-masing budaya yang berbeda bahkan berlawanan.

Unjuk rasa masyaratakat Ionia banyak disukai hingga bisa kuat memengaruhi sampai kini lantaran pandangan mereka terlihat tidak memberi tempat pada gagasan ‘kehendak bebas’. Dengan demikian tak perlu melibatkan adanya sosok Adialami (Supranatural) yang saat itu dipahami sebagai Tuhan.

Kehendak bebas yang tak diberi tempat membuat bangsa Ionia yakin bahwa sesungguhnya manusia pun tak memiliki kehendak bebas lantaran disusun oleh benda dasar yang terikat oleh hukum alam. Keyakinan ini sekarang membuka jalan kajian yang dinamakan biologi kuantum sebagai alternatif mengurangi jumlah pengangguran.

Dua gagasan dalam unjuk rasa Ionia itulah yang banyak ditolak hingga sempat mangkrak. Gagasan tak melibatkan peran Tuhan ditentang keras oleh Epicrus (Ἐπίκουρος) (341-270 SM). Epicrus menolak dengan keras pandangan atomisme dengan alasan bahwa lebih elok mengikuti mitos para dewa ketimbang menjadi ‘budak’ takdir para ilmuwan alam. Aristotélēs (Aριστοτέλης) (384-322 SM) pun menolak pandangan atomisme. Aristoteles tak dapat menerima bahwa manusia disusun atas benda-benda kecil tak berjiwa.

Sayang memang derap tegap saat itu sempat mangkrak tak mengalami pengembangan. Sempat ada masa sesudahnya ketika unjuk rasa masyarakat Ionia tak dikembangkan dan manusia sudah cukup puas sekedar mendaur ulang bahkan Ionia pun sempat terlupakan.

Salah satunya ialah unjuk rasa mereka mengenai Semesta Raya yang menyebutkan bahwa Bumi bukanlah pusat jagad raya sempat mangkrak sangat lama. Sekitar dua milenium kemudian unjuk rasa ini dihidupkan oleh Galileo Galilei. Serupa dengan nasib unjuk rasa Ionia yang ditolak, laki kelahiran Pisa, Toscana, 15 Februari 1564 pun harus mengalami keseharian yang dirisak.

Walau begitu, unjuk rasa Galileo Magnifico kembali menggelora dan menjadi ranah kajian sendiri. Stephen William Hawking, yang lahir tepat tiga abad sesudah Galileo pindah alam, adalah salah satu pemeran penting dalam hal ini, meski kisah cinta penggemar berat Marilyn Monroe ini melukai hati.

Unjuk rasa yang diberikan oleh bangsa Ionia mencerminkan pandangan yang sudah berlaku sejak saat itu. Mereka memulai pandangan mengenai mengapa peristiwa alam seperti itu, bukan mengenai bagaimana peristiwa alam seperti itu. Sayang, gagasan brilian tak disertai pedoman untuk mengatur cara pengujian gagasan.

Cara pengujian baru beberapa abad lampau disusun dan dikenal dengan metode ilmiah. Gagasan yang tak hanya melalui pemikiran walakin hingga disertai perhitungan pun mudah di-mangkrak-kan ketika terjadi perbedaan maupun pertentangan.

Mereka juga belum memberikan batasan jelas antara hukum alam dan hukum sosial. Batasan yang memberi pembedaan cakupan ini baru mulai diberikan oleh Stoicism, pe-santri-an ilmuwan yang dibangun oleh Zeno (Ζήνων) sekitar awal abad ketiga SM. Hanya saja mereka memasukkan aturan tata krama manusia, misalnya menghormati orangtua, ke dalam hukum alam.

Pilihan tersebut  diambil lantaran mereka memandang bahwa tata krama berlaku universal. Sebaliknya, serentetan peristiwa fisika dimasukkan dalam wilayah hukum sosial lantaran mereka memandang proses tersebut butuh pemaksaan walau mereka sebenarnya sadar bahwa obyek hukumnya tak berjiwa.

Cukup menggelitik memang. Bayangkan saja, kalau kita susah meminta manusia membuang sampah pada tempatnya, bayangkan kita meminta Surya memancarkan kirana seperti kita saksikan dalam keseharian!

Kebiasaan mengagumkan namun tak berkelanjutan memang patut disayangkan. Hanya saja bangsa Ionia berhasil menahbiskan diri sebagai pemula gelora kajian keilmuan. Memiliki catatan sebagai pemula tak akan bisa dipecahkan oleh siapapun.

Muhammad Jamaluddin (600-673 H) yang lebih dikenal sebagai Ibn Malik mengungkapkan dengan kentara. Dalam pengantar kumpulan 1002 bait berjudul Alfiyyah dia menyebut bahwa unjuk rasanya lebih bagus ketimbang kumpulan bait dengan judul serupa gubahan Ibn Mu’thy.

Pernyataan sejenis demikian memang menunjukkan sikap arogan, menyatakan sesuatu dengan semestinya. Pasalnya secara teknis Ibn Malik memang tak salah. Pola bait (bahr) yang dipakai dalam gubahannya sama semuanya, tak seperti gubahan Ibn Mu’thy yang menggunakan dua pola secara selang-seling. Oleh karena itu lebih enak dilantunkan.

Selain dari pola penuturan, pembahasan yang diulas pun lebih luas dan dalam melalui penyampaian ringkas. Tanpa pengertian luas dan dalam, sulit untuk bisa menghasilkan unjuk rasa genius seperti ini. Hanya saja, Ibn Malik tetap mengapresiasi gubahan Ibn Mu’thy dengan menyebutnya lebih utama lantaran digubah dan diterbitkan lebih awal.

Keadaan ruang dan waktu pelingkup bangsa Ionia saat itu menampakkan kebiasaan melakukan pengkajian disertai semangat melakukan pengajian. Pengkajian dan pengajian adalah dua perkara berbeda yang layak dipadukan.

Sebagian orang cenderung menggilai pengajian sembari menganggap pengkajian adalah pekerjaan sia-sia yang bisa mengikis iman. Kosok bali dengan sebagian lainnya yang rajin melakukan pengkajian sembari menyebut pengajian hanyalah pekerjaan sia-sia yang tak akan memberikan kemajuan. Sebagian lainnya lebih memilih menonton Park Bom menggelinjang riang di atas pentas.

Pengkajian dan pengajian memang berbeda. Hanya saja keduanya bisa saling berpadu tanpa perlu beradu. Pengkajian yang berasal dari kata dasar ‘kaji’ dilakukan untuk meneliti beragam perkara maupun peristiwa secara ilmiah untuk memperbaiki keseharian bersama. Sementara pengajian yang berasal dari kata dasar aji dilakukan untuk memperbaiki martabat (jika dikaitkan interaksi dengan semesta kecil) atau derajat (jika dikaitkan interaksi dengan Semesta Raya).

Manusia memiliki sisi sebagai makhluk individu (insan dan basyar), yang martabat dan derajatnya perlu untuk terus ditingkatkan. Martabat dan derajat yang tinggi akan memberi kemudahan dalam mewujudkan misi sosial yang dimiliki. Selain itu, manusia juga memiliki sisi sebagai makhluk sosial (naas), yang berkewajiban ikut serta dalam segala upaya untuk memperbaiki keseharian bersama. Bangsa Ionia adalah contoh bagus yang telah memulainya.