Fine Art’s Maestro


Author : Dhani Ahmad Prasetyo

Dhani Ahmad Prasetyo; Dhani Ahmad; Prasetyo; Dhani; Ahmad; Ahmad Dhani Prasetyo; Ahmad Dhani; ADP; 26 Mei 1972; 26; Mei; 1972; Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Fine Art's Maestro;

Queen is the most genius band, Beatles is the most popular band, U2 is the most perfect band, dan The Rolling Stones is the most legend band in the world.

Itu adalah kata-kata yang sering saya ucapkan saat diwawancara teman-teman wartawan tentang arti Queen di mata saya secara pribadi. Meskipun saya fans yang sangat fanatik, tapi saya tidak menganggap Queen adalah bentuk konsep band yang sempurna. Karena mungkin kebetulan saya juga pelaku seni musik yang terjun langsung di dalam industri musik. Dari kaca mata industri musik, jelas The Beatles lebih populer. Tentunya karena selain mereka adalah pendahulu untuk urusan musik pop dan rock (hanya orang-orang ketinggalan jaman yang berani menyangkal!), mereka juga good looking guy (seperti boy band, tapi sangat jenius) dan album mereka sangat laris. Itu semua tidak dimiliki oleh Queen.

Queen sendiri bermula dari sebuah grup psikedelik bernama Smile yang terdiri dari gitaris Brian May dan drummer Roger Taylor yang dibentuk pada tahun 1967. Sepeninggal vokalis mereka, Tim Staffell, pada tahun 1971 May dan Taylor mengajak Freddie Mercury, mantan vokalis Wreckage, untuk bergabung. Tidak lama kemudian bassist John Deacon bergabung. Inilah cikal bakal Queen. Empat pemuda penuh visi yang ternyata mempunyai latar belakang akademis yang unik. Brian May seorang astronomist yang meraih gelar Ph.D. Roger Taylor seorang dokter gigi yang kepincut dengan perangkat drum. John Deacon adalah mahasiswa yang memiliki otak jenius ilmuwan. Sementara Freddie Mercury yang terlahir dengan nama Farrokh Bulsara adalah seorang fashion designer.

Mereka berempat sepakat mengibarkan nama Queen dengan mengetengahkan paduan musik teaterikal lengkap dengan pola fashion seperti yang dipamerkan David Bowie dengan konsep andogini berpadu dengan gaya flamboyan Marc Bolan. Tidak cuma itu, dalam musik mereka juga terdapat paham musik prog-rock seperti yang dipresentasikan oleh Yes dan Emerson, Lake, and Palmer. Pula mereka tidak menampik gelora pop seperti yang dibawakan dari 10cc dan Sparks. Untuk lebih meningkatkan karakter mereka, Queen sengaja meminta seorang fashion designer bernama Zandra Rhodes untuk khusus menangani kostum mereka. Dari segi karakter dan imej band, pada perjalanan kariernya Queen memang tetap saja masih di bawah nama besar The Rolling Stones. Mick Jagger dan Keith Richard jauh melegenda dibandingkan sosok Freddie Mercury dan Brian May. Dan disayangkan juga album-album Queen memang tidak selaris album milik The Beatles, The Rolling Stones dan U2.

Itu semua karena Queen memang tidak berniat membuat musik mereka menjadi musik yang diterima Amerika. Mereka sangat bangga dengan musik kerajaan yang mereka usung. Berbeda dengan band-band lain yang memang memasukkan unsur rock & roll murni kedalam musiknya. Dan itu memang kenyataan pahit yang Queen harus terima bahwa album mereka tidak seberapa laku di Amerika, dan itu artinya itu adalah kehilangan pasar yang sangat besar. Album The Game dengan singel Another One Bites The Dust adalah album Queen yang paling laris. Di Amerika saja terjual sekitar 4,5 juta kopi. Memang sangat jauh banget kalau dibandingkan dengan penjualan White Album dari The Beatles yang mencapai angka 19 juta kopi atau Led Zeppelin II yang tembus sampai angka 12 juta kopi.

Tetapi itu adalah bentuk idealisme musik mereka. Meskipun saya tidak yakin kalau Queen tidak ingin menjadi band nomor wahid. Kenapa saya begitu yakin? Karena dari awal kariernya Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon adalah penggemar The Beatles, The Who, Led Zeppelin, Black Sabbath dan Jimi Hendrix. Semuanya musisi kelas satu. Jadi mustahil kalau Queen tidak berambisi untuk bisa ada di jajaran musisi kelas satu juga. Tapi apa mau di kata, menjadi nomor satu bukan pilihan, itu adalah takdir Tuhan.

Tapi itu semua adalah pembicaraan dari kaca mata industri musik. Kalau perspektif pola pikir kita berbicara masalah fine art, Queen menjadi sesuatu yang tidak bisa di tandingi kejeniusannya dalam memproduksi musik. Boleh saja pers Amerika tidak pernah mengangkat masalah kejeniusan Queen yang tidak tertandingi ini karena mungkin wartawan Amerika atau Inggris itu tidak banyak yang mengerti musik atau memang bukan pelaku seni itu sendiri. Oleh sebab itu saya sangat menyayangkan kenapa di luar negeri banyak media yang kurang mengerti musik lantas membuat polling album terbaik tanpa mengedepankan album Queen. Celakanya, kita yang ada di Indonesia “nurut” saja dengan wacana yang dibuat oleh media barat tentang Queen.

Bagi saya sebagai pelaku seni musik dan industrinya, Queen adalah penyempurna dari apa yang sudah dibuat oleh The Beatles, Led Zeppelin, Black Sabbath, Jimi Hendrix, dan The Who. Tentunya supaya sedikit berbeda, Queen memberi bumbu dengan komposisi klasik yang tentunya bukan keahlian dari band band yang mereka kagumi. Bagi saya, Queen bahkan layak disejajarkan dengan Mozart, Bach, Bethoven, Ravel, Rachmanninov, Stavinsky, Maghler dan komponis klasik lainnya. Tapi sayang media barat belum ada yang menangkap fenomena ini. Mereka masih beranggapan “biasa” pada kehadiran Queen di ranah musik dunia di abad ini. Coba simak karya Queen yang dimainkan oleh London Royal Philharmonic Orchestra. Karya itu akan serasa lebih hebat dari komponis-komponis klasik terdahulu. Saya bahkan sempat mengajukan protes pada pihak manajemen Hard Rock Café di Jakarta. Kok bisa-bisanya Hard Rock Café tidak memasang memorabilia Queen sama sekali? Ada apa dengan intelektualitas manajemen ini? Atau mungkin ada sentimen ras karena vokalis Queen memang bukan dari Eropa, tetapi dari Persia? Bisa jadi wacana ini ada benarnya.

Queen adalah penyempurna dari apa yang sudah di buat oleh The Beatles, Led Zeppelin Black Sabbath, Jimi Hendrix, dan The Who. Tapi itu semua tidak bisa mengurangi kegilaan saya dalam menikmati musik Queen. Dari tahun 1980-an, saat usia baru 12 tahun, saya sudah menggemari Queen, sampai sekarang. Dan jujur saja, saya belum paham bagaimana cara membuat musik sehebat ini. Bahkan menurut saya belum ada generasi setelah Queen di Inggris maupun Amerika yang bisa sejenius mereka. Mungkin Radiohead di album OK Computer dan beberapa album Muse boleh dianggap generasi yang cukup jenius. Meskipun sekarang juga ada U2. Tapi susah rasanya memasukkan karya-karya U2 dalam jajaran fine art seperti karya Queen. Meskipun juga tidak mudah untuk seperti U2 yang tetap konsisten dalam membuat album bagus. Amat sangat tidak mudah. Dan salah satu kelebihan U2 dari Queen adalah konser U2 yang masih enak untuk di tonton meskipun umur karier mereka sudah 25 tahun. Saya pribadi sudah malas untuk menyaksikan rekaman konser Queen setelah umur karier mereka 10 tahun. Apalagi setelah ada kumis di wajah Freddie Mercury.

Salah satu yang mendorong Queen bisa eksis adalah keempat personilnya yang cukup egois. Ini bisa dilihat dari sistem pembuatan lagu yang tidak pernah mereka kerjakan bersama atau berdua seperti yang dilakukan oleh John Lennon dan Paul McCartney. Hampir semua lagu dikerjakan sendiri-sendiri hingga Album A Kind of Magic. Tapi pada akhirnya budaya itu lebur juga ketika mereka kompak membuat lagu One Vision. Artinya, dari Album Queen I mereka berempat selalu membuat lagu dan lirik sendiri-sendiri. Dan keempat personilnya sudah pernah mencetak hits besar seperti Bohemian Rhapsody (Freddie Mercury), Tie Your Mother Down (Brian May), Radio Ga Ga (Roger Taylor), Another One Bites The Dust (John Deacon).

Tapi ego itu cuma ada dalam pembuatan lagu, ego Freddie tidak tampak sebagai vokalis utama pemimpin band. Kenapa? Karena di setiap album Queen, Freddie selalu mengalah dan membiarkan Brian May dan Roger Taylor untuk menyanyikan 3 lagu dalam setiap album. Masih ingat lagu yang judul nya 39 dari album A Night at the Opera? Itu adalah suara lembut Brian May atau suara ala punk rock dari Roger Taylor di lagu Rock it di album The Game. Freddie harus mengalah karena suara gitaris dan drumernya itu memang sekelas penyanyi solo, tidak cuma buat gaya-gayan. Bahkan Roger Taylor sudah punya 3 album solo yang sangat bergaya punk. Begitu juga Brian May yang juga punya 3 album solo yang tidak hanya menampilkan permainan gitar tapi juga suara yang bagus.

Bisa dibayangkan kalau dalam satu band ada tiga vokalis dengan karakter suara yang berbeda-beda? Yang pasti choir mereka selalu terdengar hebat karena masing-masing punya frekwensi suara yang berbeda-beda. Coba dengarkan Bohemian Rhapsody, Somebody to Love dan Hammer to Fall. Paduan suara yang bagus tidak akan mendapat ketebalan yang bagus kalau penyanyinya memiliki frekwensi yang sama. Sangat biasa terjadi di kalangan musisi-musisi jenius yang memuja musisi-musisi jenius idolanya.

Queen adalah contoh band yang benar-benar band. Keempat personilnya memang punya andil yang besar dalam penegakan konsep bermain band. Keempat personilnya meskipun mempunyai kesukaan yang sama terhadap musik, tapi mereka juga punya kesukaan jenis musik masing-masing yang juga berbeda. Misalnya Roger Taylor suka dengan musik punk dan itu berpengaruh kuat pada musik Queen dengan gempuran drum sangat terasa sekali elemen punk-nya. Coba simak lagu Sheer Heart Attack dari album News of the World. Padahal tahun itu Sex Pistols juga baru muncul. Juga kegemaran Brian May pada musik heavy metal bisa di simak di lagu Stone Cold Crazy. Saking “gila”-nya lagu itu, sampai sampai Metallica menyanyikan lagi di album Garage Inc. Kegilaan Freddy Mercury terhadap musik klasik juga sangat berpengaruh pada lagu Millionaire Walts dari album A Day at the Races (1976).

Queen juga tidak pernah menyangkal kalau mereka adalah pemuja The Beatles. Pemujaan itu sering mereka tunjukkan dengan membuat komposisi yang memang disengaja mirip komposisi The Beatles. Coba simak dengan seksama komposisi Jealousy dari album Jazz. Bait pertamanya mirip sekali dengan lagu The Beatles yang berjudul Julia. Atau malah nada dan cara nyanyi John Lennon di lagu Mother ditiru dalam lagu Life is Real yang termuat di album Hot Space. Atau malah tidak cuma bagian nadanya, bahkan ada judul lagu Queen yang sama persis dengan judul lagu The Beatles. Tidak percaya? Coba simak lagu Need Your Loving Tonigh di album The Game (1980). Itu semua adalah bentuk penghargan pada The Beatles. Hal itu sangat biasa terjadi di kalangan musisi-musisi jenius yang memuja musisi-musisi jenius idolanya.

Tapi sayangnya kejeniusan Queen mulai pudar saat mereka merilis album Miracle. Album ini juga seperti memberi tanda akan makin pudarnya Queen. Album ini kurang laku di pasaran. Apalagi di tahun itu juga Freddie Mercury, sang mega stardom, mulai terbuka pada publik kalau dirinya terkena HIV. Buah dari perilaku seksual sebagai gay—bahkan ada sindikasi biseks—yang dijalaninya selama bertahun-tahun. Queen sudah seperti Ratu yang sudah harus turun tahta hingga ajal menjemput Freddie Mercury, vokalis flamboyant itu di rumahnya di London pada 24 November 1991.

Note
Artikel ini diterbitkan melalui majalah Rolling Stone Indonesia, edisi 8 Desember 2005.