Author : Dhani Ahmad Prasetyo
Queen is the most
genius band, Beatles is the most popular band, U2 is the most perfect band, dan
The Rolling Stones is the most legend band in the world.
Itu adalah kata-kata yang sering saya ucapkan saat
diwawancara teman-teman wartawan tentang arti Queen di mata saya secara
pribadi. Meskipun saya fans yang sangat fanatik, tapi saya tidak menganggap
Queen adalah bentuk konsep band yang sempurna. Karena mungkin kebetulan saya
juga pelaku seni musik yang terjun langsung di dalam industri musik. Dari kaca mata industri musik, jelas
The Beatles lebih populer. Tentunya karena selain mereka adalah pendahulu untuk
urusan musik pop dan rock (hanya orang-orang ketinggalan jaman yang berani
menyangkal!), mereka juga good looking
guy (seperti boy band, tapi
sangat jenius) dan album mereka sangat laris. Itu semua tidak dimiliki oleh
Queen.
Queen sendiri bermula dari sebuah grup psikedelik bernama
Smile yang terdiri dari gitaris Brian May dan drummer Roger Taylor yang
dibentuk pada tahun 1967. Sepeninggal vokalis mereka, Tim Staffell, pada tahun
1971 May dan Taylor mengajak Freddie Mercury, mantan vokalis Wreckage, untuk
bergabung. Tidak lama kemudian bassist John Deacon bergabung. Inilah cikal
bakal Queen. Empat pemuda
penuh visi yang ternyata mempunyai latar belakang akademis yang unik. Brian May
seorang astronomist yang meraih gelar
Ph.D. Roger Taylor seorang dokter gigi yang kepincut dengan perangkat drum.
John Deacon adalah mahasiswa yang memiliki otak jenius ilmuwan. Sementara
Freddie Mercury yang terlahir dengan nama Farrokh Bulsara adalah seorang fashion designer.
Mereka berempat sepakat mengibarkan nama Queen dengan
mengetengahkan paduan musik teaterikal lengkap dengan pola fashion seperti yang dipamerkan David Bowie dengan konsep andogini
berpadu dengan gaya flamboyan Marc Bolan. Tidak cuma itu, dalam musik mereka
juga terdapat paham musik prog-rock seperti yang dipresentasikan oleh Yes dan
Emerson, Lake, and Palmer. Pula mereka tidak menampik gelora pop seperti yang
dibawakan dari 10cc dan Sparks. Untuk
lebih meningkatkan karakter mereka, Queen sengaja meminta seorang fashion designer bernama Zandra Rhodes
untuk khusus menangani kostum mereka. Dari segi karakter dan imej band, pada
perjalanan kariernya Queen memang tetap saja masih di bawah nama besar The
Rolling Stones. Mick Jagger dan Keith Richard jauh melegenda dibandingkan sosok
Freddie Mercury dan Brian May. Dan disayangkan juga album-album Queen memang
tidak selaris album milik The Beatles, The Rolling Stones dan U2.
Itu semua karena Queen memang tidak berniat membuat
musik mereka menjadi musik yang diterima Amerika. Mereka sangat bangga dengan
musik kerajaan yang mereka usung. Berbeda dengan band-band lain yang memang
memasukkan unsur rock & roll murni kedalam musiknya. Dan itu memang
kenyataan pahit yang Queen harus terima bahwa album mereka tidak seberapa laku
di Amerika, dan itu artinya itu adalah kehilangan pasar yang sangat besar. Album The Game dengan singel Another
One Bites The Dust adalah album Queen yang paling laris. Di Amerika saja
terjual sekitar 4,5 juta kopi. Memang sangat jauh banget kalau dibandingkan
dengan penjualan White Album dari The
Beatles yang mencapai angka 19 juta kopi atau Led Zeppelin II yang tembus
sampai angka 12 juta kopi.
Tetapi itu adalah bentuk idealisme musik mereka.
Meskipun saya tidak yakin kalau Queen tidak ingin menjadi band nomor wahid. Kenapa saya begitu yakin? Karena dari
awal kariernya Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon adalah
penggemar The Beatles, The Who, Led Zeppelin, Black Sabbath dan Jimi Hendrix.
Semuanya musisi kelas satu. Jadi mustahil kalau Queen tidak berambisi untuk
bisa ada di jajaran musisi kelas satu juga. Tapi apa mau di kata, menjadi nomor
satu bukan pilihan, itu adalah takdir Tuhan.
Tapi itu semua adalah pembicaraan dari kaca mata
industri musik. Kalau perspektif pola pikir kita berbicara masalah fine art, Queen menjadi sesuatu yang
tidak bisa di tandingi kejeniusannya dalam memproduksi musik. Boleh saja pers
Amerika tidak pernah mengangkat masalah kejeniusan Queen yang tidak tertandingi
ini karena mungkin wartawan Amerika atau Inggris itu tidak banyak yang mengerti
musik atau memang bukan pelaku seni itu sendiri. Oleh sebab itu saya sangat menyayangkan kenapa di luar
negeri banyak media yang kurang mengerti musik lantas membuat polling album terbaik tanpa
mengedepankan album Queen. Celakanya, kita yang ada di Indonesia “nurut” saja
dengan wacana yang dibuat oleh media barat tentang Queen.
Bagi saya sebagai pelaku seni musik dan industrinya,
Queen adalah penyempurna dari apa yang sudah dibuat oleh The Beatles, Led
Zeppelin, Black Sabbath, Jimi Hendrix, dan The Who. Tentunya supaya sedikit
berbeda, Queen memberi bumbu dengan komposisi klasik yang tentunya bukan keahlian
dari band band yang mereka kagumi. Bagi
saya, Queen bahkan layak disejajarkan dengan Mozart, Bach, Bethoven, Ravel,
Rachmanninov, Stavinsky, Maghler dan komponis klasik lainnya. Tapi sayang media
barat belum ada yang menangkap fenomena ini. Mereka masih beranggapan “biasa”
pada kehadiran Queen di ranah musik dunia di abad ini. Coba simak karya Queen
yang dimainkan oleh London Royal Philharmonic Orchestra. Karya itu akan serasa
lebih hebat dari komponis-komponis klasik terdahulu. Saya bahkan sempat mengajukan protes
pada pihak manajemen Hard Rock Café di Jakarta. Kok bisa-bisanya Hard Rock Café
tidak memasang memorabilia Queen sama sekali? Ada apa dengan intelektualitas
manajemen ini? Atau mungkin ada sentimen ras karena vokalis Queen memang bukan
dari Eropa, tetapi dari Persia? Bisa jadi wacana ini ada benarnya.
Queen adalah penyempurna dari apa yang sudah di buat
oleh The Beatles, Led Zeppelin Black Sabbath, Jimi Hendrix, dan The Who. Tapi
itu semua tidak bisa mengurangi kegilaan saya dalam menikmati musik Queen. Dari
tahun 1980-an, saat usia baru 12 tahun, saya sudah menggemari Queen, sampai
sekarang. Dan jujur saja, saya belum paham bagaimana cara membuat musik sehebat
ini. Bahkan menurut
saya belum ada generasi setelah Queen di Inggris maupun Amerika yang bisa
sejenius mereka. Mungkin Radiohead di album OK
Computer dan beberapa album Muse boleh dianggap generasi yang cukup jenius.
Meskipun sekarang juga ada U2. Tapi susah rasanya memasukkan karya-karya U2
dalam jajaran fine art seperti karya
Queen. Meskipun juga
tidak mudah untuk seperti U2 yang tetap konsisten dalam membuat album bagus.
Amat sangat tidak mudah. Dan salah satu kelebihan U2 dari Queen adalah konser
U2 yang masih enak untuk di tonton meskipun umur karier mereka sudah 25 tahun.
Saya pribadi sudah malas untuk menyaksikan rekaman konser Queen setelah umur karier
mereka 10 tahun. Apalagi setelah ada kumis di wajah Freddie Mercury.
Salah satu yang mendorong Queen bisa eksis adalah
keempat personilnya yang cukup egois. Ini bisa dilihat dari sistem pembuatan
lagu yang tidak pernah mereka kerjakan bersama atau berdua seperti yang
dilakukan oleh John Lennon dan Paul McCartney. Hampir semua lagu dikerjakan
sendiri-sendiri hingga Album A Kind of
Magic. Tapi pada
akhirnya budaya itu lebur juga ketika mereka kompak membuat lagu One Vision. Artinya, dari Album Queen I mereka berempat selalu membuat
lagu dan lirik sendiri-sendiri. Dan keempat personilnya sudah pernah mencetak
hits besar seperti Bohemian Rhapsody
(Freddie Mercury), Tie Your Mother Down (Brian
May), Radio Ga Ga (Roger Taylor), Another One Bites The Dust (John
Deacon).
Tapi ego itu cuma ada dalam pembuatan lagu, ego Freddie
tidak tampak sebagai vokalis utama pemimpin band. Kenapa? Karena di setiap
album Queen, Freddie selalu mengalah dan membiarkan Brian May dan Roger Taylor
untuk menyanyikan 3 lagu dalam setiap album. Masih ingat lagu yang judul nya 39 dari album A Night at the
Opera? Itu adalah suara lembut Brian May atau suara ala punk rock dari
Roger Taylor di lagu Rock it di album
The Game. Freddie harus mengalah
karena suara gitaris dan drumernya itu memang sekelas penyanyi solo, tidak cuma
buat gaya-gayan. Bahkan
Roger Taylor sudah punya 3 album solo yang sangat bergaya punk. Begitu juga
Brian May yang juga punya 3 album solo yang tidak hanya menampilkan permainan
gitar tapi juga suara yang bagus.
Bisa dibayangkan kalau dalam satu band ada tiga vokalis
dengan karakter suara yang berbeda-beda? Yang pasti choir mereka selalu terdengar hebat karena masing-masing punya
frekwensi suara yang berbeda-beda. Coba
dengarkan Bohemian Rhapsody, Somebody to Love dan Hammer to Fall. Paduan suara yang bagus
tidak akan mendapat ketebalan yang bagus kalau penyanyinya memiliki frekwensi
yang sama. Sangat biasa terjadi di kalangan musisi-musisi jenius yang memuja
musisi-musisi jenius idolanya.
Queen adalah contoh band yang benar-benar band. Keempat
personilnya memang punya andil yang besar dalam penegakan konsep bermain band.
Keempat personilnya meskipun mempunyai kesukaan yang sama terhadap musik, tapi mereka
juga punya kesukaan jenis musik masing-masing yang juga berbeda. Misalnya Roger Taylor suka dengan
musik punk dan itu berpengaruh kuat pada musik Queen dengan gempuran drum
sangat terasa sekali elemen punk-nya. Coba simak lagu Sheer Heart Attack dari album News
of the World. Padahal tahun itu Sex Pistols juga baru muncul. Juga kegemaran Brian May pada musik
heavy metal bisa di simak di lagu Stone
Cold Crazy. Saking “gila”-nya lagu itu, sampai sampai Metallica menyanyikan
lagi di album Garage Inc. Kegilaan
Freddy Mercury terhadap musik klasik juga sangat berpengaruh pada lagu Millionaire Walts dari album A Day at the Races (1976).
Queen juga tidak pernah menyangkal kalau mereka adalah
pemuja The Beatles. Pemujaan itu sering mereka tunjukkan dengan membuat
komposisi yang memang disengaja mirip komposisi The Beatles. Coba simak dengan
seksama komposisi Jealousy dari album
Jazz. Bait pertamanya mirip sekali
dengan lagu The Beatles yang berjudul Julia. Atau malah nada dan cara nyanyi John
Lennon di lagu Mother ditiru dalam
lagu Life is Real yang termuat di
album Hot Space. Atau malah tidak
cuma bagian nadanya, bahkan ada judul lagu Queen yang sama persis dengan judul
lagu The Beatles. Tidak percaya? Coba simak lagu Need Your Loving Tonigh di album The Game (1980). Itu
semua adalah bentuk penghargan pada The Beatles. Hal itu sangat biasa terjadi
di kalangan musisi-musisi jenius yang memuja musisi-musisi jenius idolanya.
Tapi sayangnya kejeniusan Queen mulai pudar saat mereka
merilis album Miracle. Album ini juga
seperti memberi tanda akan makin pudarnya Queen. Album ini kurang laku di
pasaran. Apalagi di tahun
itu juga Freddie Mercury, sang mega stardom, mulai terbuka pada publik kalau
dirinya terkena HIV. Buah dari perilaku seksual sebagai gay—bahkan ada
sindikasi biseks—yang dijalaninya selama bertahun-tahun. Queen sudah seperti
Ratu yang sudah harus turun tahta hingga ajal menjemput Freddie Mercury,
vokalis flamboyant itu di rumahnya di
London pada 24 November 1991.
Note
Artikel ini
diterbitkan melalui majalah Rolling Stone
Indonesia, edisi 8 Desember 2005.