— more than a teacher and educator
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن
كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ
وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞
[القرآن الكريم سورة التوبة : ١٢٢]
Keberadaan guru selalu menjadi fondasi dalam kegiatan belajar saya. Selalu
harus ada guru meski tidak secara formal. Saya perlu ada pembimbing yang
menguasai bidangnya dan cocok dengan diri saya serta bisa menjadi pendidik
pribadi saya. Dalam
linikala perjalanan saya, ada Ada tiga guru
yang paling berpengaruh, ialah Pak Zaini Sirojan, Pak Muhammad Arifin Fanani,
serta Ibu Setiya Utari.
Pak Zaini adalah guru pertama saya di MI NU Thoriqotus
Sa’diyyah, Pak Arifin adalah pengasuh pesantren MUS-YQ tempat saya nyantri, sementara Bu Utari adalah pembimbing
akademik ketika saya kuliah di Pendidikan Fisika UPI. Ketiganya memiliki
keselarasan meski masing-masing memiliki satu sisi yang lebih tampak di
permukaan.
Pak Zaini, Pak Arifin, dan Bu Utari buat ada adalah guru
yang lengkap. Mereka guru yang lengkap karena dari mereka saya pernah mendapatkan
pujian, teguran, sanjungan, hingga kemarahan. Walakin mereka saya sebut lengkap
karena senantiasa bisa menempatkan sesuatu secara semadyana (objective).
Pak Zaini bisa
dibilang menjadi peletak pondasi kegiatan belajar yang saya jalani. Memang
sebelum masuk sekolah formal, saya sudah lebih dulu dipersiapkan oleh orangtua
dengan belajar membaca, menulis, dan berhitung serta sudah belajar di TPQ
(Taman Pendidikan Alquran). Hanya saja, baru ketika berjumpa dengan Pak Zaini
kegiatan belajar mulai tertata rapi dan rinci.
Memiliki catatan sebagai pemula tak akan bisa dipecahkan
oleh siapapun selamanya. Abū ʻAbd Allāh Djamāl Al-Dīn Muhammad [ابو عبدالله جمال
الدين محمد بن عبدالله بن محمد بن عبدالله بن مالك الطائي الجياني النحوي]
(1204-1274) yang lebih dikenal sebaga Ibn Mālik [ابن مالك] mengungkapkan dengan
kentara.
Dalam pengantar karyanya kumpulan 1002 bait mengenai tata bahasa berjudul al-Khulāsa al-alfiyya Ibn Mālik [الخلاصة
ألفية ابن مالك], Ibn Mālik menyebut bahwa unjuk rasanya lebih bagus ketimbang
kumpulan bait dengan judul serupa gubahan Ibn Mu’thy.
Pernyataan sejenis demikian memang menunjukkan sikap arogan, menyatakan
sesuatu dengan semestinya. Pasalnya secara teknis Ibn Mālik memang tepat. Pola
bait [بحر] yang dipakai dalam gubahannya sama semuanya, tak seperti gubahan Ibn
Mu’thy yang menggunakan dua pola secara selang-seling. Oleh karena itu lebih
enak dilantunkan.
Selain dari pola penuturan, pembahasan yang diulas pun lebih luas dan dalam
melalui penyampaian ringkas. Tanpa penguasaan terhadap bidangnya, sulit untuk
bisa menghasilkan karya genius
seperti ini. Hanya saja, Ibn Mālik tetap mengapresiasi gubahan Ibn Mu’thy
dengan menyebutnya lebih utama lantaran digubah dan diterbitkan lebih awal.
Secara tersirat, Ibn Mālik juga memuji Ibn Mu’thy lantaran cara yang
digunakan ditiru dari pendahulu. Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling
luhur dan dalam. Tak perlu ragu maupun malu dalam meniru. Tak selamanya
peniruan membuat satu karya begitu saja tenggelam bahkan bisa menjelma sebagai
karya azam.
Mengumpulkan beragam hal terkait bentuk karya yang akan dibuat sebagai
langkah awal ketika hendak berkarya tentu wajar-wajar saja. Misalnya ketika
hendak menulis topik terkait pendidikan. Penulisan bisa dimulai dengan
menganalisis analisis orang lain, melihat hasil ijtihād [اجتهاد] yang sudah ada.
Walau dimulai dari langkah tersebut, keaslian unjuk rasa (orisinalitas)
tetap bisa dimunculkan dalam bentuk cara (metode) maupun kesimpulan yang
dihasilkan. Dengan melihat ijtihād
yang sudah ada, selain bisa memberi inspirasi, juga tak perlu repot-repot
memulai dari nol. Kita bisa menemukan bagian-bagian tertentu yang belum dibahas
oleh pendahulu.
Dalam linikala fisika, nama Hans Christian Ørsted terus dikenang karena dia
menjadi pelopor bertemunya listrik dan magnet dalam satu bagian pembahasan. Sebelum
Ørsted memadukan listrik dan magnet, banyak perajin fisika menyangka listrik
dan magnet adalah dua perkara berbeda yang tidak saling berkaitan—apalagi
dikaitkan.
Sangkaan tersebut dimentahkan oleh Ørsted dengan menyatakan bahwa listrik
dan magnet saling berhubungan. Alhasil perkembangan fisika berjalan mengesankan
karena listrik dan magnet tidak lagi berjalan dalam jalur yang terpisah namun
beriringan. Andaikan Ørsted tak menilik linikala perkembangan listrik dan
magnet, sulit dipastikan kalau dia menjadi pelopor dalam perkembangan fisika.
Kajian ilmu alam bagian pembahasan jagad raya juga demikian. Bagian yang
turut dijamah oleh Brian Harold May tersebut terbilang mengalami perkembangan
sinting. Perkembangan sinting bisa disimak enak melalui Space Odyssey, yang dipandu oleh Neil deGrasse Tyson, walau
wajahnya tidak ganteng.
Stephen William Hawking yang berperan penting dalam kajian ini juga mulai
menggelorakan kembali dengan melihat ijtihād
yang sudah ada. Hawking menggelorakan kembali ijtihād Galileo Galilei yang sudah mangkrak terlalu lama. Sekitar tiga abad ijtihād mengenai jagad raya dalam tinjauan fisika dibiarkan poco-poco begitu saja.
Tiga abad tampak terlalu lama, namun tak lebih lama dibanding saat Galileo Magnifico menggelorakan kembali ijtihād ini. Ijtihād yang mulanya dicetuskan oleh Aristarchus (Ἀρίσταρχος)
berdasarkan hasil pengamatan (data) tampak sudah mati. Baru sekitar dua
milenium kemudian ijtihād ini mulai
kembali menggelora. Sayang Galileo harus mendapat perlakuan kejam lantaran
dianggap menistakan agama.
Pandangan terhadap agama kadang-kadang menjadi penghambat dalam membangun
lingkungan. Mungkin karena banyak yang menganggap bahwa pengkajian dan
pengajian adalah dua perkara berbeda yang tak bisa dipadukan. Anggapan yang tak
jarang menjadi pemantik untuk saling menista antar sesama manusia. Rasa sama
sebagai manusia telah luntur tergusur oleh lekatnya anggapan yang terlalu
diyakini kebenarannya.
Pada titik ekstrim, sebagian orang memang cenderung menggilai pengajian
sembari menganggap pengkajian adalah pekerjaan sia-sia yang bisa mengikis al-īmān [الإيمان]. Kosok bali dengan
sebagian lainnya yang rajin melakukan pengkajian sembari menyebut pengajian
hanyalah pekerjaan sia-sia yang tak akan memberikan perkembangan lingkungan.
Sebagian lainnya lebih memilih menantikan tanggal penggajian.
Buat saya, pengkajian dan pengajian memang berbeda, hanya saja keduanya
bisa saling berpadu tanpa perlu beradu. Pengkajian yang berasal dari kata dasar
‘kaji’ dilakukan untuk meneliti beragam perkara maupun peristiwa secara ilmiah
untuk memperbaiki keseharian bersama. Sementara pengajian yang berasal dari
kata dasar ‘aji’ dilakukan untuk memperbaiki martabat [مـرتـبـة] (jika
dikaitkan interaksi dengan semesta) atau derajat [درجة] (jika dikaitkan
interaksi dengan Sang Pencipta).
Manusia memiliki sisi sosial [الناس], yang berkewajiban ikut serta dalam
segala upaya untuk membangun kebersamaan lingkungan. Manusia juga memiliki sisi
personal [الإنسان dan البشر], yang martabat dan derajatnya perlu untuk terus
ditingkatkan. Martabat dan derajat yang tinggi akan memberi kemudahan dalam
ikut serta membangun lingkungan.
Pak Arifin dan Bu Utari menjadi guru
paling berperan bagi saya terhadap memadukan pengajian dan pengkajian. Peran yang
membuat nama mereka tak terbayangi juga tak membayangi nama Pak Zaini. Kalau
Pak Zaini disebut sebagai peletak pondasi kegiatan belajar yang saya alami, Pak
Arifin dan Bu Utari adalah pembuka gerbang baru.
Paduan kemauan pribadi barangkali berperan penting dalam perkara ini. Saat
saya sedang ingin melakukan perjalanan, ketiganya hadir untuk menuntun saya
dengan cara mengesankan. Cara yang membuat perjumpaan dengan ketiganya senantiasa
memberikan kegembiraan.
Tepat kalau ketiganya termasuk sebagai sosok-sosok paling berpengaruh buat
saya hingga menyebabkan enggan menyebut bahwa menjadi diri
sendiri. Saya baru bisa menyebut bahwa menjadi diri sendiri jika bisa
membuang pengaruh itu seluruhnya. Bisakah saya melakukannya? Yang jelas sampai
saat ini dan saat nanti saya tidak bisa mengembalikan air susu Ibuk yang saya
tetek ketika balita.