Ienas
Tsuroiya bersama suami
|
Mari berbincang dengan Ienas Tsuroiya, full-time big fan of Roger Federer sekaligus entrepreneur yang tetap bangga dan bahagia menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga, sembari membayangkan kita disuguhi Kopi Gayo, Banana Cake, Kue Nagasari, dan Kue Putu Ayu Karier entrepreneur dilakukan olehnya di bidang kuliner. Kuliner bukanlah dunia yang jauh darinya, karena perempuan Libra ini termasuk sosok yang mengalami “wiwiting tresno songko kuliner” (bermulanya cinta dari kuliner), walau tak bisa dilupakan bahwa kisah cintanya harus dimulai dengan “Tragedi KFC yang tertukar dengan CFC”.
Sekarang Mbak Ienas menjadi entrepreneur, dengan
berbisnis kue dengan label BnB cakes. Oh and I have to say the banana cake is
marvelous :) Apakah ini salah satu cita-cita sejak lama?
“Sebenarnya nggak. Cita-cita saya sebenarnya
jadi penulis, tapi karena sifat buruk saya yang suka menunda-nunda plus
nggak pede, nggak jadi-jadi deh tuh tulisannya. Padahal bahannya
sudah lengkap :)
Jadi gini. Ibu saya jago masak, dari mulai lauk sampai penganan.
Waktu remaja, saya pernah sih punya keinginan ikutan di dapur, bantu-bantu
sekaligus belajar. Tapi santri yang jadi ‘asisten’ Ibu saya,
galaknya minta ampun. Saya dan adik-adik, sering ‘diusir’ karena dianggap mengganggu dan
memperlambat kerjanya. Jadi akhirnya sampai saya menikah, bisa dibilang saya
gak pernah masak/bikin kue.
Semuanya berubah begitu kami sekeluarga harus tinggal di negeri orang,
karena suami belajar di Boston University. Dengan beasiswa yang pas-pasan,
nggak mungkin kami beli makan di restoran terus-terusan. Akhirnya ‘terpaksa’-lah saya
belajar masak. Mula-mula hanya mengandalkan buku catatan yang dibuatkan
santrinya Ibu sebagai bekal. Kadang juga nelpon/SMS Ibu minta resep. Berlanjut browsing
resep di internet.
Begitu urusan masak lauk tertangani, saya ‘gatel’ melihat oven yang nganggur
(kebanyakan apartemen dilengkapi dengan kompor yang menyatu dengan oven).
Akhirnya mulai coba-coba bikin kue, mulai dari kue kering, kemudian cake,
roti, dll. Di samping senang mendengar pujian dari suami dan anak-anak,
belakangan saya baru sadar, ternyata baking is my passion. Saya sangat
menikmati semua prosesnya: dari belanja bahan, menimbang/menakar, mengaduk,
memanggang, dst.
Singkat cerita, begitu sampai di Jakarta, saya meneruskan hobi baking
itu (not cooking though.. Itu bagian Mbak Asisten sekarang). Mulai
jualan kue juga awalnya gak sengaja, meski sejak di Boston banyak teman
bilang: sudah layak buka bakery. Suatu hari, seorang teman tiba-tiba
kirim pesan di BBM, minta dibuatkan banana cake (karena suatu ketika
suami saya pernah bawa di suatu rapat, dan dia ketagihan).
Ya udah. Setelah itu kepikiran bikin logo BnB Cakes, dan promo via
twitter.”
Bagaimana suami mendukung mbak bekerja? Memulai bisnis baru pasti nggak
mudah, butuh waktu dan tenaga.
“Sejak awal pernikahan, suami memberi kebebasan penuh
buat saya: mau kerja silahkan, mau jadi full time mom pun gak masalah.
Saya pilih jadi ibu rumah tangga penuh karena ingin menikmati masa tumbuh
kembang anak-anak saya dengan sempurna. Sekarang anak-anak saya sudah sekolah,
jadi saya bisa mengembangkan hobi menjadi bisnis kecil-kecilan. Suami sangat
mendukung, bukan cuma ikutan mempromosikan di twitter, misalnya. Tapi kadang
ketika pesanan banyak dan saya butuh bantuan, dia nggak segan turun tangan,
misalnya bantu-bantu ngelipetin kardus :))”
Bagi Mbak Ienas, seorang suami adalah pimpinan rumah tangga, atau partner
dalam menjalani hidup?
“Bagi saya, dua-duanya. Saya termasuk istri yang ‘konservatif’, dalam
artian menganggap suami sebagai ‘imam’ alias kepala keluarga. Tapi di sisi lain, saya dan
suami punya kedudukan setara, karena saya punya hak untuk menyatakan pendapat
saya, terutama menyangkut hal-hal penting, misalnya soal keuangan, pendidikan
anak, dsb.”
Dalam Islam (tolong koreksi jika saya salah), seorang istri yang baik
adalah istri yang menurut dan patuh pada suami. Apakah mbak Ienas selalu setuju
dengan pendapat dan selalu menurut apa yang dikatakan suami? Dan apa yang
dilakukan ketika berbeda pendapat?
“Well.. Iya sih,
memang ada ajaran seperti itu. Tapi apakah saya selalu sependapat dan menurut
apa kata suami? Tentu tidak. Saya beruntung punya suami yang demokratis, tetap
menghargai pendapat dan keyakinan saya. Mau contoh? Misalnya soal jilbab. Tentu
banyak yang tahu pendapat suami saya bahwa jilbab itu nggak wajib
hukumnya. Tapi saya tetap tampil berjilbab, karena itu pilihan saya, dan dia nggak
keberatan.”
Jika ada yang bisa Mbak Ienas perbaiki di sistem sosial Indonesia. Apakah
itu?
“Sistem pendidikan dasar. Menurut saya pendidikan dasar
di Indonesia terlalu ‘ambisius’ terlalu banyak mata pelajaran. Jadi beban anak-anak
terlalu berat. Saya pernah menulis soal ini berdasarkan pengalaman pribadi
mendampingi Billy dalam masa transisi. Intinya, menurut saya, sampai jenjang
SD, seharusnya anak-anak dikondisikan untuk belajar di sekolah dengan hati
riang-gembira, tanpa dibebani macam-macam hafalan, seabrek PR, dan sebagainya.”
Banyak perempuan yang dengan mudah dan senang hati meminta-minta pada
laki-laki, dan begitupun sebaliknya. Bagaimana Mbak Ienas melihat kondisi ini?
“Ini maksudnya meminta apa nih? Yang berkaitan dengan
materi (uang)? Aduuh, saya nggak punya hak untuk menilai orang lain ya.
Tapi buat saya, sebisa mungkin nggak minta. Tapi kalau dikasih, nggak
nolak.. hahahaha”
Apakah sebaiknya seorang perempuan (baik yang belum menikah maupun sudah
menikah) memiliki kemandirian?
“Iya, idealnya sih begitu.”
Bagaimana cara Mbak Ienas mengajarkan anak-anak mandiri sejak dini?
“Wah, pertanyaan susah ini :) Saya cerita aja deh ya.
Waktu di Boston dulu, suatu hari ada acara di sekolah anak-anak. Kalau nggak
salah Pizza Party, menyambut dimulainya tahun ajaran baru. Saya dan
anak-anak semeja dengan beberapa keluarga lain. Waktu itu Billy berumur 5
tahun, masih di Kindergarden (setara taman kanak-kanak, alobatnic).
Makannya masih saya bantu. Spontan saya ‘dihujani’ kritik sama
ibu-ibu lain. Belakangan saya mengerti, di sana anak-anak dilatih mandiri sejak
dini: sejak bayi disuruh makan sendiri, meski berantakan ke mana-mana. Nggak
ada cerita makan disuapin, pakai baju/jaket/sepatu dll dibantuin. Sejak insiden
itu, Billy akhirnya berusaha makan sendiri tanpa dibantu, juga pakai baju,
sepatu dll.
Kembali ke Jakarta, awal-awalnya kebiasaan mandiri itu masih berlanjut.
Tapi kemudian ketika beberapa kali Billy belum siap ketika mobil jemputan sudah
di depan rumah, saya menjadi kurang sabar, dan akhirnya membantu dia pake baju,
supaya cepat. Sampai tahun lalu pun masih begitu. Sekarang sih nggak.
Jadi, kesimpulannya, saya bukan contoh yang baik dalam hal mengajarkan
kemandirian pada anak-anak.”
Apa arti mandiri bagi Mbak Ienas?
“Buat saya, mandiri itu tidak tergantung sama orang
lain. Jujur saja, saya belajar mandiri secara bertahap. Sejak lahir sampai
menikah, saya merasa dimanjakan, selalu ada yang membantu, khususnya dalam
urusan pekerjaan rumah tangga. Tapi pengalaman tinggal di luar negeri
mengajarkan saya banyak hal, salah satunya ya belajar mandiri itu. Contoh lain:
dulu kalau mau ke mana-mana harus nunggu suami atau sopir, sekarang saya bisa
nyetir sendiri.”
Perempuan adalah...
“Perempuan adalah makhluk Tuhan yang istimewa. Sering
dikesankan sebagai makhluk yang lemah, tapi dalam banyak hal, terbukti
perempuan lebih kuat daripada laki-laki (hamil, melahirkan, mengurus anak.. Ya
kan?)”
Tambahan
Buat yang ingin mencicip, syukur-syukur melanggan, Banana Cake karya Ienas,
silakan kontak ke akun Twitter @BnB_Cakes atau kontak melalui surel tsuroiya@gmail.com.