— dicaci, dipuji, dikomentari... wesbiasakkkk….
“Genre is dead”, ungkap admin
akun-akun salah satu member Linkin
Park, Mike Shinoda, lima hari jelang perilisan Heavy. Heavy merupakan single dari album terbaru grup ini, One More Light yang dirilis 19 Mei 2017 ini. Seperti kebiasaan yang
sudah-sudah, karya “empat brand utama”
senantiasa menjadi sejenis kotak pengumpul umur sendiri. Heavy sendiri yang dirilis sehari jelang milad Paris Hilton—dulu dicibir Mike, sekarang Mike diam
karena cowok selalu salah sibuk—langsung
menyentuh kalbu. Menjadi semacam penghiburan dalam malam yang sendu, pada
masa-masa itu.
Biar Mike
cowok, tapi penggemar berat LA Lakers tersebut tak salah berungkap seperti itu.
Musik merupakan salah satu perkara yang senantiasa berubah sepanjang waktu. Sejak
awal didendangkan, musik terus mengalami evolusi. Entah evolusi terasa lebih maju
atau mundur, lain lagi. Genre musik
hanyalah semat belaka untuk memudahkan memetakan ragam macam karya. Sebagai pelaku
seni musik yang terjun langsung di dalam industri musik, tentu Mike sudah
menguasai hal ini. Mike dengan daya juang mengesankan hanya berusaha untuk ikut
serta menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan melalui cara yang bisa
dilakukannya. Hal ini bisa terasa sekali, antara lain melalui Heavy.
Sebagai promotional single, Heavy cukup membuat khalayak berdegup menerka konsep album One More Light ini. Buat penggemarnya,
karya apapun yang dirilis Linkin Park tak membuat grup kesayangan tergusur dari
hati. Sementara buat Linkin Park, tak ada yang pasti selain perubahan itu
sendiri. Dari awal grup ini memang sudah memproklamasikan jalan perubahan yang
tak kunjung berhenti. One More Light
hanyalah penegasan proklamasi ini.
Linkin Park
adalah fenomena tersendiri dalam dunia musik. Pada tahun 2000, melalui album Hybrid Theory, Mike Shinoda, Brad Delson,
Rob Bourdon, Joe Hahn, Dave Farrel, dan Chester Bennington memberikan musik
yang terdengar asyik. Mereka berenam membuka telinga penikmat musik dengan
sajian berbeda. Permainan kencang nan
gahar tak salah membuat mereka dianggap sebagai grup rock. Walakin unsur hip hop
juga dimasukkan sepertihalnya permainan disc
jockey untuk memperkaya karya mereka. Kehadirannya saat itu cukup menohok.
Mereka
mempunyai permainan yang kolektif dan rapi serta didukung dengan atraksi vokal
khas Chester. Chester adalah sedikit dari vokalis bersuara unik, tinggi, dan
jernih. Mungkin tidak banyak vokalis yang bisa berteriak sebanyak dan selantang
Chester. Tak hanya berteriak demikan, namun juga bisa berbisik lirih. Dalam
pentas live pun Chester senantiasa
sanggup tampil energik. Satu hal yang cukup membuatnya ikonik.
Belum lagi
sajian rap menawan Mike Shinoda.
Sajian yang bukan semata bunyi-bunyian, melainkan menambah nuansa rasa.
Perpaduan Chester dan Mike laiknya Wayne Roone dan Cristiano Ronaldo saat bahu
membahu di Manchester United. Perpaduan dua gaya bermain nyaris bertentangan
namun tetap lengket, biar tak awet.
Brad Delson
dan Joe Hahn sebagai the second two
berhasil tampil maksimal dalam menopang suara duet lengket tersebut. Penopangan
yang membuat peran keduanya tak mudah dicabut. Hanya saja Delson sedikit
berbeda. Dirinya tak seperti Chester, Mike, dan Hahn yang ketika emak-nya hamil entah ngidam apa bisa seperti itu kelakuannya.
Rob dan Phoenix sendiri berperan mengisi celah berlubang. Keduanya menggenapi
kebutuhan untuk bersama-sama berjuang.
Terbiasa
tampil dominan secara lantang, kali ini dalam One More Light Chester tampil beda. Chester hanya menaikkan
suaranya di Sharp Edges, Nobody Save Me, dan Good Goodbye. Sisanya, dia menurunkan kelantangan suaranya dan
mencoba mengelaborasi zona nyaman saja. Maklum saja, umurnya sudah tua, lebih
baik tetap bisa nyanyi dengan enjoy. Lagipula sudah tua tak baik suka berteriak.
Bukan contoh bagus buat anak.
Sebagian
besar lagu di One More Light memang
berirama pelan. Tak seperti yang sudah mereka hasilkan. Mike dan Delson,
sebagai produser rekaman, membuat konsep album dengan menanggapi jenis musim
beragam namun tetap bisa dianggap gaya bermusik Linkin Park. Sepuluh buah lagu
dalam One More Light yang tampil
ringan berhasil mereka sajikan pada khalayak.
Penggemar maupun
pendengar Linkin Park yang terbiasa menyimak lantunan mereka seperti sedang ngebut laiknya motor Ducati pada
lintasan lurus, dipaksa untuk melaju pelan seperti tatkala motor ini masuk tikungan.
One More Light benar-benar album
dengan kelajuan rendah. Album ini mungkin hanya dihadirkan untuk membuat Linkin
Park tetap aman di pasaran. Namun tak hendak merasuah selera penggemarnya
dengan menyajikan sampah.
Meski tampil berbeda,
ciri khas Linkin Park masih kental dirasa. Permainan Hahn dan lantunan Mike yang
bisa mendalamkan lagu dalam Invicible
misalnya. Lalu dalam Sorry for Now,
Chester dan Mike bertukar peran. Di sini Mike menjadi pelantun utama sementara
Chester menghiasi dengan gaya rap
yang dilantunan. Persis seperti pertukaran peran dalam Crazy Little Thing Called Love yang pernah dialami Brian May dan Freddie
Mercury. Persis dalam hal memainkan peran yang salah satu lebih ahli.
Battle Symphony mungkin bagus perkataannya, namun jelek musiknya. Hanya
saja lagu ini patut mendapat tempat tersendiri. Pasalnya Battle Symphony berhasil menjadi “jembatan keledai” kalau memakai
istilah Tan Malaka. Unsur lama dan baru dari Linkin Park berhasil ditautkan di
lagu ini. Penautan yang membuat jalan perubahan Linkin Park tidak seperti
terpenggal. “Jembatan keledai” yang membuat mereka tetap tampil fenomenal.
Sayang
pelantun wanita yang diajak berkolaborasi dalam Heavy adalah Kiiara. Bukan bermaksud mengejeknya, Kiiara bagus sekali
berpadu dengan Chester dalam melantunkan. Cuma saya pengen-nya Park Bom saja. Selain biar bisa menjadi “jembatan
keledai”, cukup memberi Bom gawean.
Perubahan
konsep bermusik menjadi pekerjaan yang penting untuk Linkin Park. Allison
Stewart melalui The Washington Post
menulis bahwa setelah Linkin Park mengadakan audiensi dengan pihak Harvard
Business School, mereka memutuskan bahwa karya yang dihasilkan harus tampil
lebih beragam. Meluaskan lahan pasar dan mengembangkan branding
adalah pekerjaan penting yang tak boleh dielakkan.
Tak
dimungkiri keadaan industri musik dunia saat ini sedang mengalami fluktuasi
selera. Sebuah grup tak bisa melulu mengandalkan pemasukan dari penjualan album
dan undangan konser saja. Legowo
masuk arena pop adalah pilihan masuk
akal karena pangsa pasar lebih besar, dan Linkin Park menyadari kalau mereka
tak secanggih U2 maupun Madonna. Itulah tadi mengapa Bom lebih saya inginkan
dibanding Kiiara. Syarat dan rukun
Bom untuk melantunkan dan sebagai penarik pasar bisa terpenuhi, harusnya—sakjane kalau kata orang Jawa.
Menggubah rancangan
namun tetap pada GBHN (Garis Besar Haluan Nge-band)
dengan konsep musik baru bukan hal tabu. Walau harapan dan tanggapan tak
selaras selalu. Skrillex juga melakukan beberapa waktu 2016 silam, kala menggandeng
girl group 4MINUTE [포미닛] (4M) dalam Hate.
Saat itu Skrillex banyak dicibir (meski 4M malah panen pujian), namun
belakangan karya bersama tersebut sanggup awet. Melalui Hate, Skrillex berhasil meluaskan pasar. Sedangkan 4M terbantu lantaran
berhasil setara dengan [소녀시대]
(SNSD) dan 2NE1 [투애니원],
dua grup yang lebih besar.
One More Light mungkin bukan album terhebat Linkin Park laiknya Meteora. Mungkin lahan pasar yang
ditambah hanya sedikit tak seperti ketika mereka merilis Minutes to Midnight. Namun bukan berarti mereka tak layak mendapat
apresiasi semadyana. Setidaknya melalui One
More Light mereka berhasil menunjukkan bahwa gairah berkarya tak pernah terungkit.
‘Isy kariiman au mut syahiidan.
Kira-kira sejenis demikian yang ingin Linkin Park tunjukkan.
B.Sl.Pa.110950.38.050617.21:34