Author: Nong Darol Mahmada
Saat itu usiaku mungkin sekitar 6
tahun. Umi, panggilanku untuk ibuku, memanggil masuk ke kamar. Hari itu
bukanlah hari istimewa, biasa aja, tidak ada keramaian apa-apa di rumah. Aku
masuk ke kamar Umi, dan di sana udah ada Ibu Emping, dukun paraji (perempuan
senior yang suka membantu melahirkan atau biasa dikenal sebagai dukun beranak)
di kampung kami.
Aku tidak curiga dan takut ketika
diminta untuk mencopot rokku dan membuka celana, karena yang meminta itu adalah
Umiku. Setelah itu, Umi mengangkat badanku dan memangkuku dan membuka kedua
pahaku. Di situ aku mulai merasa ketakutan, sempat protes tidak mau dan sempat
meronta mau kabur dari pangkuan Umi.
Dengan sabar, Umiku menjelaskan
sambil mengusap-usap rambutku, kalau aku mau disunat sebagai petanda aku bukan
anak kecil lagi. Ketakutanku bertambah, aku sempat meronta tapi kedua pahaku
udah telanjur dipegang kuat oleh Ibu Emping dan badanku dipeluk erat oleh Umi.
Kemudian ibu Emping mengeluarkan benda
berwarna kuning yang ternyata kunyit dan mengoleskannya di ujung klitorisku.
Sempat kegelian, dan ternyata prosesi sunatnya sudah selesai. Umi memberiku
uang sebagai hadiah, aku girang dan langsung berlari ke warung untuk jajan dan
bermain kembali bersama teman-temanku.
Di Indonesia, praktiknya meningkat
Begitulah proses sunat yang terjadi
kepadaku. Peristiwa itu masih kuat dalam ingatanku. Ya, saya adalah termasuk
salah satu perempuan yang disunat. Saya juga tidak mengerti untuk apa saya di
sunat?
Sunat perempuan secara doktrin dalam
Al Quran tidak ada sama sekali, bahkan secara medis pun sangat membahayakan.
Untungnya, sunat yang terjadi pada saya hanyalah simbolis, tidak ada pemotongan
atau mutilasi. Tapi praktik seperti yang terakhir ini, di beberapa daerah di
Indonesia itu terjadi dan semakin meningkat.
Hal ini terbukti dengan hasil
penelitian yang dilakukan UNICEF, organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
yang khusus menangani anak, tentang sunat perempuan (female genital
mutilation) yang dirilis bulan Februari 2016 lalu.
Ada temuan data yang menarik dari
penelitian sunat perempuan yang mengatakan bahwa Indonesia menjadi penyumbang
ketiga tertinggi angka praktik sunat perempuan dunia setelah Gambia,
Mauritania. Tahun 2016 mencatat 200 juta perempuan dan anak perempuan
mengalaminya, naik 60 juta dari data tahun 2014 yang mencatat hanya 140 juta
praktik sunat di dunia.
Kekerasan terhadap anak
Di Indonesia, menurut penelitian itu,
separuh anak perempuan usia 14 tahun ke bawah mengalami sunat. Keluarnya data
ini sebetulnya ada kaitan dengan perspektif PBB, yang menggunakan sunat
perempuan sebagai indikator apakah suatu negara memberi perlindungan terhadap
anak atau tidak, bukan sekadar angka belaka. Temuan ini jelas memperlihatkan
bahwa sunat perempuan merupakan tindakan kekerasan (atas nama agama atau
budaya) terhadap anak.
Sebagai mayoritas berpenduduk Muslim
terbesar di dunia, tentu saja hal yang biasa praktik sunat untuk anak perempuan
ditemukan di daerah-daerah di Indonesia. Andree Feillard, peneliti dari
Prancis, tahun 1998 bersama Lies Marcoes, salah satu feminis Muslim senior
Indonesia pernah menulis artikel soal sunat perempuan di Indonesia untuk Jurnal
Archipel (vol 56/1998). Tulisan berdasar penelitian lapangan.
Dalam tulisan tersebut memperlihatkan
bahwa praktik sunat perempuan di Indonesia merupakan gabungan adat (tradisi)
dan proses inisiasi atau penanda keislaman di sejumlah Nusantara.
Saat penelitian dilakukan, sunat
perempuan hanyalah sebagai tradisi komunal. Sunat dilakukan oleh dukun sunat
dalam bentuk simbolik: ujung klitoris bayi disentuh oleh kunyit atau
menggunakan alat (pisau kecil, gunting, atau jarum). Ini seperti pengalaman
sunat perempuan yang saya alami, tak banyak orang yang tahu.
Feillard menyebut ritual itu bersifat
“rahasia kecil” antarperempuan. Namun di sejumlah daerah seperti Sulawesi
Selatan, Madura, Cirebon, ritual ini dirayakan keluarga dengan pesta adat,
seperti tradisi keluargaku ketika melakukan sunat untuk anak laki-laki.
Menurut Feillard, praktik sunat
perempuan di Indonesia tidak seburuk dengan proses sunat perempuan yang
dilakukan di negara Afrika Utara utamanya Mesir, Sudan, Somalia, dan Etiopia
yang yang memotong atau memutilasi seluruh vagina perempuan. Hal ini memang
sangat membahayakan karena bisa mengakibatkan pendarahan, infeksi, cacat seumur
hidup dan perempuan tidak akan pernah mengalami kenikmatan seksual karena
dihilangkannya klitoris yang merupakan sumber kenikmatan seksual perempuan.
Trauma berkepanjangan
Namun di Indonesia pun tidak semua
praktik sunat perempuan dilakukan secara simbolis seperti pengalamanku atau
hasil riset Andree Feillard yang saya kemukakan tadi. Di beberapa daerah
misalnya di Madura, Lombok, Padang, praktik sunat perempuan dilakukan dengan
cara pemotongan klitoris atau sebagian daging di vagina. Ini pernah saya temui
pada teman saya yang sampai sekarang mengalami trauma berkepanjangan.
Bagaimana sikap pemerintah --dalam
hal ini Menteri Kesehatan -- dalam merespon tradisi sunat perempuan yang
berkembang di masyarakat? Jawabannya, respon pemerintah seperti ombak saja,
mengalami pasang surut.
Di tahun 2006, Menteri Kesehatan
melarang praktik sunat terhadap perempuan, alasannya secara medis sangat
membahayakan. Tapi karena adanya protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengatakan bahwa Pemerintah tidak boleh melarang sunat perempuan karena dalam
Islam dianjurkan, maka di bulan November 2010 dikeluarkan peraturan tentang
Sunat Perempuan yang memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti
dokter, bidan dan perawat, untuk melakukan sunat pada pasien perempuan.
Bahkan detail teknis menyunat pun
disebut dalam peraturan tersebut, “Lakukan goresan pada kulit yang menutupi
bagian depan klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai
berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris” bunyi
pasal 4 ayat 2 huruf g. Duh, ngeri banget kan?
Peraturan ini sangat mengecewakan,
karena itu banyak pihak yang menentangnya terutama kalangan aktifis perempuan.
Alih-alih kementerian kesehatan menyosialisasikan bahaya sunat perempuan malah
memberikan guidance cara melakukannya. Karena aturan inilah, di sejumlah
rumah sakit, klinik Ibu & Anak, puskesmas ada paket sunat dan tindik untuk
bayi perempuan.
Namun di tahun 2013, Kementerian
Kesehatan telah mencabut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 yang mengatur
tentang praktik sunat perempuan, meski sudah dilarang tapi pada kenyataannya
praktik sunat perempuan masih tetap berlangsung di masyarakat.
Bagi saya, apapun caranya praktik
sunat perempuan, mau simbolis apalagi pemotongan dan mutilasi, saya sangat
tidak setuju dan menentangnya. Ada banyak alasan saya menolaknya: soal
kekerasan pada anak dan penghinaan pada tubuh perempuan. Selain itu juga tidak
ada pendasarannya di dalam Al Quran.
Memang ada anjurannya di Hadist yang
isinya menganjurkan melakukan sunat perempuan. Tapi kalau kita baca Hadis
tersebut maksud dan tujuan sunat perempuan bukan untuk diri perempuan tapi
untuk memberikan kemuliaan dan kenikmatan seksual kepada sang suami dan tujuan
sunat perempuan supaya perempuan tidak liar.
Ini sungguh-sungguh keterlaluan,
sangat patriarkhis dan male-egoist. Perempuan dihilangkan haknya untuk
menikmati kepuasan seksual, diatur dan dikontrol tubuhnya hanya untuk laki-laki
(suami) dan ada stereotype kalau tidak disunat akan liar. Jadi, saya
setuju dengan aturan pemerintah sekarang yang melarang praktik jahiliyah itu
diteruskan. Karena itu, sunat perempuan, untuk apa?
Note