— menjamah ranah setelah kuliah
Buat saya,
skripsi hanyalah surat ijin meneliti (SIM). Sejenis pernyataan yang
memperkenankan saya untuk melakukan penelitian scholarly. Karena hanya menjadi SIM, skripsi tidak menjadi rujukan
tertulis buat saya. Kalau memang diperlukan sebagai rujukan, lebih pantas dicari
versi jurnalnya (scholar article). Kalau
versi jurnalnya tak ada namun skripsi memberikan gagasan tanpa perlu mencatut
kutipan, lebih elok ditulis dalam bagian terima kasih saja. Lagipula jarang ada
kutipan yang hanya terdapat dalam skripsi. Tak jarang kutipannya berbunyi,
“dalam …” atau pernyatan semacam ini.
Skripsi saya
sendiri sangat jelek, hingga tak salah kalau dibilang sampah. Penuturan rapi,
rinci, dan ringkas dalam pendahuluan, landasan teoretis, kajian pustaka, sampai
metode justru menukik pada bagian temuan dan pembahasan meski agak naik pada
kesimpulan. Mungkin karena saat mengerjakan bagian itu sudah terlampau lelah. Bisa
dibilang skripsi yang dihasilkan bisa dibelah menjadi dua bagian—bagian awal bisa
dibuat nggaya namun kalau diajak
membahas bagian akhir mendadak sibuk dengan 2NE1.
Beruntung
pembimbing saya, Buk Setiya Utari (Pembimbing I) dan Pak Muhamad Gina Nugraha
(Pembimbing II), bisa membesarkan hati. Tak banyak yang tahu bahwa ketika
ikutserta dalam Seminar Nasional Fisika (SiNaFi) 2016 itu saya sedang patah
hati. SiNaFi 2016 pun hanya menjadi sarana lari dari lara saja ketimbang untuk unjuk
kerja hasil penelitian. Apalagi paper
yang disajikan hanyalah satu poin dalam bagian metode, tepatnya instrument penelitian.
Kalau diingat
kembali, DEWA19 mengawali perjalanan karier mereka dengan karya remeh berjudul Kangen, yang banyak dipengaruhi oleh
karya Chicago berjudul Hard to Say I’m
Sorry. Linkin Park, setelah demo mereka diterima label rekaman, memulai
debut kariernya dengan album berjudul Hybrib
Theory. Kalau dua kenangan ini dikaitkan skripsi saya, bisa memiliki
keserupaan. Keserupaannya ialah skripsi sampah tersebut (sebagai langkah awal
seperti Kangen buat DEWA19) sudah
memuat pernyataan berkelanjutkan (laiknya dituangkan Linkin Park dalam Hybrid Theory).
Pernyataan
berkelanjutan yang dimaksud ialah terkait Scientific
Literacy (Melek Ilmiah). Terus terang saya memang jatuh hati pada topik
ini. Apalagi Lee Chae-lin (CL 2NE1) memiliki peran sebagai ambassador dari PISA (The
Programme for International Student Assessment). Satu persimpangan yang
memberikan gairah tak biasa. Tiga hal lain yang tercakup dalam skripsi, ialah Scientific Approach (Pendekatan Ilmiah),
Linear Motion (Gerak Lurus), dan
Sekolah Menengah Pertama (High School),
nyaris hanya sebagai pemantas saja. Hampir dalam seluruh bagian penekanan
terhadap Scientific Literay begitu
kentara.
Mei 2012
silam, saat sedang gelisah di tengah persimpangan pilihan, Pak Muhammad Arifin
Fanani bilang bahwa beliau melang-melang
(khawatir) kalau saya memilih pesantren sebagai tempat melanjutkan pendidikan.
Secara tidak langsung, saya menyimpulkan bahwa hal ini bermakna beliau tak
memperkenankan pilihan yang hampir diputuskan. Jadilah saya melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi, yang membuat saya berjumpa dengan Maryam
Musfiroh, lantaran kami sama-sama senasib-seperjuangan dalam Program Beasiswa
Santri Berprestasi (PBSB). Rasanya kekhawatiran Pak Arifin bisa dimengerti walau
hanya berdasarkan instuisi.
Juli 2016
silam, ketika berkunjung ke rumah Pak Zaini Sirojan, beliau menyampaikan
harapan supaya saya melanjutkan pendidikan ke tingkat pasca sarjana. Beliau
merasa saya tampak memendam semangat untuk melakukannya. Namun berulang kali
pertanyaan seperti, “Mau lanjut S2 nggak?”selalu
saya jawab, “Belum, mungkin nanti”. Pak Zaini tak salah saat mengungkapkan
instuisinya, hanya saja saya sedang ingin berhenti tanpa bisa memberikan
jawaban secara pasti.
Kekhawatiran Pak
Arifin dan harapan Pak Zaini saya sampaikan pada Buk Setiya Utari. Nama
keduanya tak disebut secara gamblang, hanya saja pesannya disampaikan. Sampai
saat ini, saya merasa mendapat dukungan luar biasa dari pembimbing akademik
(dosen wali) ketika di S1 FPMIPA UPI. Ketika sudah mengungkapkan dukungan, Buk
Utari tak sebatas memberikan pernyataan, melainkan juga memberi gambaran untuk
mengarahkan, ikutserta melakukan, atau menjadi konsultan ketika diperlukan.
Ketiga nama
yang disebut dalam catatan ini adalah guru utama saya. Bahagia rasanya saat
mendapat keselarasan dari ketiganya. Mungkin saya memang berhenti, tak
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Bisa jadi muncul kejutan sejarah
seperti yang beberapa kali saya alami. Namun tak ada alasan apapun bagi saya
untuk tak membuahkan benih-benih yang ditanamkan di perguruan tinggi, termasuk
benih yang telah diungkapkan. Barangkali saya bukanlah sosok yang diharapkan,
meski dalam hati tersirat harapan.