Author: Nong Darol Mahmada
Saya bersama Ari A. Perdana, peneliti ekonomi dari CSIS, mendapat
kesempatan berkunjung ke Jepang, bulan lalu. Kunjungan itu dalam rangka
menghadiri program Global Youth Exchange (GYE) 2003, program tahunan yang
diadakan Kementerian Luar Negeri Jepang. Kegiatan ini diikuti 35 peserta dari
26 negara.
Topik yang dipilih adalah Asia-ASEAN and International Community.
Ini sejalan dengan Tahun Kerja Sama Jepang-ASEAN yang dicanangkan pemerintah
Jepang untuk tahun 2003.
Seperti biasa, pemerintah Jepang memberikan kesempatan kepada peserta untuk
memperlihatkan kebudayaan, tradisi, dan warisan sejarahnya yang sangat mereka
banggakan. Tradisi dan modernitas yang tak terpisahkan melahirkan negara Jepang
yang maju seperti sekarang ini.
Selama dua minggu, kami berinteraksi secara intensif dengan semua peserta:
berbagi informasi tentang kondisi negara masing-masing, bergelut dan berdebat
pendapat lewat cara pandang kita melihat semua masalah yang terjadi di dunia
ini. Agar lebih intensif, peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Ada tiga isu
yang dibahas: kerja sama regional di bidang ekonomi, keamanan, serta
kebudayaan.
Masing-masing kelompok terlibat dalam diskusi intensif seputar tiga tema
tersebut. Kalau Ari A. Perdana mengambil isu ekonomi—karena memang bidangnya di
situ—saya memilih isu keamanan dengan tema spesifiknya tentang terorisme. Tema
yang menjadi hangat di negeri kita setelah tragedi Bali, Oktober tahun lalu.
Apalagi, saya punya misi: ingin membantu menghilangkan citra
terorisme pada Islam.
Tak hanya tentang terorisme. Apalagi untuk Jepang, sebagai penyelenggara,
isu ini tak terlalu penting karena tak terkait langsung dengan negaranya.
Banyak persoalan keamanan yang dihadapi Jepang, terutama masalah Korut dan
China. Kata Summit Mandal, teman dari Malaysia yang sekarang sedang riset di
Kyoto University, kebijakan luar negeri Jepang khususnya tentang terorisme akan
manut dengan Amerika Serikat.
Kebetulan, pikir saya, sebagai peserta yang mewakili Indonesia, saya perlu
menjelaskan apa yang terjadi di negara kita. Syukur-syukur, ini akan
mempengaruhi cara pandang mereka tentang definisi terorisme.
Perlu diakui, sekarang ini agak susah menemukan definisi terorisme yang
diterima semua pihak. Bila mengikuti definisi terorisme versi Amerika Serikat
yang sekarang sedang berjalan, terorisme lebih terkait dengan Islam radikal
atau militan atau apalah namanya. Akhirnya, terorisme sendiri menjadi identik
dengan Islam. Karena mayoritas rakyat kita muslim, tentu saja kita kena bidikan
itu.
Apalagi setelah terjadinya tragedi Bali dan adanya penangkapan pelaku yang
melakukan pengeboman itu serta indikasi kuat adanya jaringan Jamaah Islamiyah.
Semua peserta meyakini bahwa Indonesia merupakan sarang teroris.
Malah ada seorang peserta yang bilang Indonesia adalah negara teroris.
Memang, untuk kenyataan itu, saya susah mengelaknya. Namun, saya dengan agak
ngotot menerangkan kondisi umat Islam di negeri kita: warna-warni, tak cuma satu.
Saya bilang, teroris memang ada di negara kita. Tapi, jangan di-gebyah uyah bahwa Indonesia adalah sarang teroris, apalagi negara
teroris. Pernyataan itu mengabaikan kondisi mayoritas umat Islam di Indonesia.
Kalangan yang disebut sebagai teroris itu hanya segelintir orang dibanding
umat Islam yang moderat dan toleran yang berjumlah jutaan orang. Bahkan yang
mayoritas ini pun mengutuk para teroris yang memakai cara-cara kekerasan dengan
legitimasi agama.
Saya menekankan, harus ada pemisahan yang tegas antara terorisme dan Islam.
Dalam Islam pun, tak semua yang radikal, fundamentalis, atau militan adalah
teroris. Teroris ya teroris.
Terorisme terdefinisi karena cara-caranya yang menghalalkan segala cara
dengan pemaksaan dan kekerasan yang mengakibatkan banyak korban. Dan itu tak
cuma di Islam. Ada pada semua agama bila agama “salah” dipahami dan dilakoni ajarannya.
Agak susah memang menghapus citra terorisme atas negara kita, bahkan Islam
kita. Kita tak punya cukup energi dan waktu untuk menghilangkannya lewat
penjelasan di sebuah program seperti GYE.
Apalagi banyak faktor yang berperan membentuk citra tersebut. Yang paling
penting untuk kita sekarang, mari kita buktikan dengan sikap kita melakoni dan
mengamalkan ajaran kita. Ber-Islam-lah secara damai dan ikhlas, itulah intinya.
Note
Artikel ini diterbitkan
melalui situs IslamLib pada 02
September 2003. [lihat]