Menganyam Iyam


— puan yang laras, panutan yang pantas

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice;

Ada satu peristiwa menyentuh yang sulit terlupakan buat saya sepanjang bersama Maryam Musfiroh. Saat saya tak tahu menahu dan tak peduli dengan ocehan liyan terhadap saya, Maryam justru peduli dengan hal semacam ini. Maryam segera mengajak saya ngudoroso—bercurah kisah—empat mata terkait hal ini, melampiaskan beberapa rasa yang dipendam untuk diungkapkan melalui tatap muka empat mata. Tampak Maryam memendam rasa tak nyaman ketika ada sesuatu yang dirasa merisak saya, tapi saya lebih yakin kalau dia kasihan saja sama saya.

Perkenalan yang bermula pada 11 Juni 2012 selepas Ashar itu berlangsung menggembirakan. Saat ini saya tahu itu tepat walakin jika kembali ke masa-masa itu, ketika Maryam dan saya saling berkirim pesan pendek melalui ponsel kami, dugaan itu tak pernah ada dalam benak saya. Saya sekedar menyapa puan kelahrian 21 November 1993 ini, dia sekedar menanggapinya, lalu kami basa-basi ringan saja. Satu permulaan yang tak pernah berhenti hingga kami sama-sama telah melalui separuh umur empat puluh.

Maryam menjadi salah satu orang yang biasa saya ajak berbagi basa-basi ringan. Bertukar kabar yang tak penting bagi liyan walakin menjadi semacam interaksi yang melegakan. Bersama Maryam, saya merasakan kebersamaan seru nan syahdu. Mungkin karena kami sama-sama melihat masing-masing dengan rasa sama, bukan rasa beda. Tak merasa lebih tinggi maupun lebih rendah, walau tinggi badannya dibanding saya selalu kalah.

Sayang saya absen pada tiga momen penting buatnya: birthday-nya tahun 2015, sesudah ujian sidang, dan terakhir saat dia resmi diwisuda. Saya memang hyper-egoistic, lebih memilih menghindar dari setitik perih alih-alih menggembirakan sahabat dekat. Beruntung dia mengerti perasaan saya, dan sebelumnya sudah sempat menyisipkan goodbye meet-up.

Saat masih di rumah pada 11 Juni 2012 itu, sempat ada dugaan kalau Maryam adalah ‘orang baru’ dalam perjalanan saya sepertihalnya saya juga ‘orang baru’ baginya. Hanya saja dugaan tersebut dimentahkan dalam perjumpaan kami 13 Juni, selepas Ashar juga. Saya merasa Maryam memiliki pengalaman ‘menghadapi’ laki dengan tipikal nakal seperti saya sepertihalnya saya pernah ‘menghadapi’ puan keren sepertinya.

Tak perlu waktu lama, tak harus melibatkan dalam ragam macam obrolan dalam rentang waktu lama, untuk bisa saling mengerti masing-masing, sebagai fondasi interaksi intim dalam persahabatan cinta yang tulus. ‘Persahabatan cinta yang tulus’ adalah ungkapan paling tidak saya suka karena boros kata. Hanya saja ungkapan ini sempat menjadi ‘penghantam jitu’ saat mantan pacar saya dan saya kembali terlibat dalam interaksi intim.

Saat itu, kami berdua geregetan dengan ocehan lingkaran kami yang menyebut kami sama-sama gagal move on dan bagusnya balikan saja. Padahal dalam lingkaran itu terdapat tandem kami yang dikhawatirkan bakal termakan ocehan semacam ini. Ungkapan tersebut boros kata karena ‘cinta’ bisa juga ‘cinta’ mewujud dalam frame lain, mulai persahabatan juga pertikaian. Tentu ada perbedaan kadar dan cara mewujudkannya dalam ragam frame.

Pengalaman Maryam ‘menghadapi’ laki yang nakalnya sudah di luar nalar terliar membuatnya tak mengalami cultural-personal shock. Dia merasa biasa saja bercengkerama dengan saya sejak kami saling berjumpa. Saya pun bersyukur dia bisa menjalaninya. Ocehan lingkungan jadi semacam suara sumbang sepertinya merdu saja. Bukan cuma merdu, malah kadang kami ikut memainkan agar suara-suara itu semakin merdu nyaring bunyinya.

Ada masanya ketika Maryam dicibir lantaran minim pengalaman. Apa pentingnya pengalaman? Buat saya, pengalaman tak penting, lebih penting kesiapan. Kadang-kadang pengalaman memang menjadi sarana pembelajaran yang meningkatkan kesiapan. Walakin tak serta merta bisa disebut bahwa pengalaman berkelindan dengan kesiapan. Karena pengalaman tak penting, maka catatan rekam jejak pun tak penting.

Banyak orang memandang Maryam sebagai sosok pendiam. Mereka mungkin melihat Maryam sebagai sosok yang lidahnya sedang kram. Kramnya terus-terusan dan tak sembuh-sembuh. Wajar saja, secerewet-cerewetnya Maryam, dia tidak akan menampakkannya ‘di depan’. Maryam seperti Valentino Rossi saat balapan, kelakua aslinya selalu keluar belakangan.

Maryam memang tampak pendiam walakin kalau sudah bicara bisa sangat ceriwis, dan dalam. Ada hal yang saya suka ketika bercakap dengan Maryam. Seringkali tanpa permisi, seperti janjian dulu, ketika percakapan dimulai yang tak jarang sampai menjamah ranah pribadi. Saya suka percakapan seperti ini, percakapan secara spontan. Selalu ada tuntutan untuk bisa segera menanggapi biar tidak garing sekaligus berbagi lisan. Apalagi kalau secara spontan, tak hanya memainkan nalar tapi juga naluri.

Sejauh saya mengenalnya, Maryam adalah sosok yang jelas dan laras. Dia jelas-jelas puan, bukan dianggap puan atas dasar jilbabnya saja. Maryam terbilang laras karena dia mampu bertenggang rasa sekaligus bertoleransi semadyana (tidak berat sebelah). Tak salah kalau Maryam disebut sebagai panutan yang laras. Panutan yang patut dianut.

Toleransi adalah cara menjaga perasaan diri sendiri terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara diri sendiri menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan diri sendiri. Orang yang toleransinya tinggi biasanya adalah orang yang pemaaf. Orang yang tenggang rasanya tinggi biasanya selalu hati-hati dalam berbuat. Dua sikap ini tak bisa dipisahkan, tak bisa saling diunggulkan salah satu, dan keduanya harus bersama dipupuk selalu.

Terlalu toleran bisa menjadi serba membolehkan dan tak punya rasa toleran bisa menjadi serba mempermasalahkan. Sedangkan terlalu tenggang rasa bisa menjadikan takut bertindak dan tak punya tenggang rasa menjadikan enggan peduli. Maryam melakukan keduanya dengan laras, artinya dia bisa bertenggang rasa sekaligus bertoleransi. Wajar kalau dia tak segan berungkap gamblang saat sedang tidak sreg dengan perilaku saya.

Latar belakang saya yang ditumbuhkembangkan dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU) serta Maryam dengan Persatuan Islam (Persis) barangkali berperan banyak dalam persinggungan kesan sepanjang bersamanya. Beda cara beda hasilnya, walakin persinggungan dua perbedaan bisa juga saling memperkaya.

Seringkali Maryam menjadi partner ngudoroso saya. Dia menjadi partner yang enak karena tak hanya sebagai pendengar setia segala keluh-kesah-peluh-resah saya tetapi juga menjadi penghantam yang jitu ketika saya merasa benar sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Sering Maryam menjadi orang yang mampu meredam amarah saya meski tak seketika.

Triknya biasanya begini, ketika marah, saya dibiarkan melampiaskan amarah sampai merasa lega. Lalu dia membiarkan saya beberapa saat, kemudian kami bercakap dalam suasana yang tak lagi emosional. Dengan perkataan yang diucapkan lemah lembut tapi menampar keras saya, seringkali dia membuat saya menyadari telah berbuat salah. Mungkin perkataannya keluar dari hati dengan perasaan peduli karena bisa sampai juga pada hati saya tanpa merasa dilukai.

Banyak terjadi saat yang mengecewakan ketika kita bercakap dengan sosok yang dianggap sahabat erat. Kalau percakapan berlangsung pada saat yang tidak tepat, rentan memberikan kesan yang melesat. Dan kejadian yang tidak diharapkan ini akan mengubah arah ikatan yang terbangun bersama.

Kita bisa berpikir kalau sosok tersebut ternyata kurang ajar dan angkuh, meski mungkin dia sedang melepas peluh. Atau kita telah memiliki kesan sepanjang bersamanya namun tiba-tiba muncul kesan baru yang membanting kebersamaan sebelumnya. Percakapan kadang kadang bisa mengubah bahkan ‘membanting’ sebuah hubungan. Apalagi saat sosok yang terlibat dianggap tidak dapat memberi cukup perhatian.

Saya bersyukur setiap percakapan dengan Maryam berlangsung pada saat tepat. Mungkin saya gede rasa saja lantaran percakapan tersebut terasa istimewa dikarenakan Maryam tampak berusaha untuk tidak mengecewakan saya. Dan saya tak pernah kecewa dengan percakapan dengannya sepertihalnya tak pernah kecewa bersahabat dengannya sejak kami saling bertegur sapa.

Kalau Maryam termasuk orang yang saya istimewakan seakan dipuja tanpa cela karena dia memang selalu istimewa bagi saya. Siapa yang tak merasa gembira ketika ada orang yang tampak manis saat terlibat kerumunan namun begitu kritis saat berada pada ranah seorangan, saat sebagian memilih melakukan kosok balinya?

Dari percakapan pula Maryam perlahan malar memberi motivasi sekaligus menginjeksi inspirasinya pada saya. Dia termasuk orang yang memotivasi dan menginspirasi saya untuk yakin diri tanpa merendahkan liyan. Maryam terlatih untuk tak melayang dengan pujian sepertihalnya tak tumbang oleh cibiran.

Wajar kalau Maryam kemudian tumbuh menjadi sosok berpengaruh terhadap perjalanan yang saya alami hingga menyebabkan saya enggan menyebut bahwa bahwa saya ini menjadi diri sendiri. Saya baru bisa menyebut bahwa saya menjadi diri sendiri jika bisa membuang pengaruh itu seluruhnya. Bisakah saya melakukannya? Yang jelas sampai saat ini dan saat nanti saya tidak bisa mengembalikan air susu Ibuk yang saya tetek ketika balita.

Seiring bertambahnya usia juga kegiatan, percakapan juga perjumpaan dengannya mulai berkurang. Percakapan memang membuka jalan untuk melahirkan sikap pengertian. Walakin dalam setiap perjumpaan terdapat energi yang tersalurkan. Tentu tak semua perjumpaan perlu dihadiri, ada beberapa yang perlu dihindari.

Maryam tetaplah Maryam, yang terus melangkah tanpa bisa dituturkan melalui kata dan aksara sepenuhnya. Karena wanita memang sulit dimengerti sepenuhnya walau tetap bisa menggembirakan rasa.  Maryam terlahir dengan kelihaian untuk menghibur ketika lara dan dan mengingatkan saat mapan dengan cara yang bisa dilakukannya. Kelihaian yang memudahkannya menginjeksi virus-virus cinta pada manusia lainnya. Virus yang membuat manusia mencintai semua manusia seperti mencintai Tuhannya sang Pencipta.