— peluluh keluh, pembuncah gairah
Buat orang
yang tak kenal Roro Fitria, tentu boleh tetap bernafas. Walakin hembusan
nafasnya tak perlu disertai cibiran kelewat cemar, apalagi berperilaku
beringas. Nama lengkapnya Raden Roro Fitria Nur Utami. Wanita yang lahir di Yogyakarta,
29 Desember 1987 ini mulai menekuni karier sebagai penghibur sejak bermain di FTV
berjudul Sang Pemimpi. Namun namanya dikenal
lebih luas oleh masyarakat tatkala bermain dalam sinetron Islam KTP dengan berperan sebagai Mpok Tati.
Dikenal luas
membuat Roro Fitria akrab dengan beragam semat terhadapnya. Roro begitu dipuja
oleh sebagian kalangan sepertihalnya dinista sebagian lainnya. Wajar saja, Roro
memang kerap bersikap terbuka. Sikap yang membuat sebagian manusia merasa
dirisak karenanya. Penistaan terhadapnya semakin lantang lantaran cara Roro
Fitria menanggapi cibiran terhadapnya cukup menjengkelkan. Berbekal penguasan
dalam banyak bidang, Roro Fitria senantiasa membuat para pencibir tak berkutik di
depannya, membuat dirinya tersenyum penuh kepuasan.
Roro Fitria
terbilang sosok serakah. Banyak ranah perlahan malar dia jamah. Seperti tak mau
berdiam diri, wanita ini selalu mencoba lalu memperjuangkan sesuatu yang menarik
hati. Tak terpaku dengan semat sebagai penari, peragawati, dan pemeran, dirinya
juga menjalani keseharian sebagai penguasaha dan politisi.
Roro Fitria
memang tak pernah ragu untuk berunjuk rasa dengan beragam cara yang bisa
dilakukannya. Kebiasaan ini sudah dilakukan sejak masih anak-anak dan semakin
menggeliat saat remaja. Kemauan berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu
mengungkapkan perasaan dengan penuh keyakinan. Melatihkan kemauan berunjuk rasa
sedari dini juga menamamkan benih keberanian agar tak merasa rendah diri ketika
terlibat pergaulan dengan lingkungan serta pondasi rendah hati. Manusia yang
biasa berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan itu: berani dan rendah hati.
Meski seringkali keberanian dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai
sebagai wujud rendah diri.
Sebagai
penghibur, Roro Fitria lekat sekali dengan bagian dadanya. Barangkali bagian ini
paling cepat dan mudah dibayangkan andai namanya disebutkan. Namun itu hanya
pandangan sekilas saja. Kalau ditelisik lebih dalam, banyak catatan mengesankan
berhasil diukir Roro Fitria. Sempat gagal memperoleh suara mencukupi dalam
pemilihan umum 2009 silam, walakin semangatnya tak pudar begitu saja. Miss
Novotel (2010), Singapore Open Dancesport Championship (2011), dan BFN Edition
Sport Popular (2012), adalah beberapa ajang yang menahbiskannya sebagai juara. Keaktifan
di dunia politik praktis juga tak serta merta ditinggalkan olehnya.
Jika catatan
mengesankan Roro Fitria diwedarkan seluruhnya, maka catatan ini hanya akan
penuh dengan daftar prestasi yang telah diukir wanita berdarah Jawi ini. Namun prestasi yang paling
asyik dielaborasi ialah cara Roro Fitria menata diri. Roro pernah jatuh,
kemudian bangkit lagi, berulang kali. Dalam setiap kesempatan yang membuatnya jatuh, Roro
Fitria senantiasa memanfaatkan sebagai titik epik dalam perjalanan selanjutnya.
Setitik perlintasan yang membuat Roro Fitria semakin tegar dalam mengayuh
perjalanannya.
Kegagalan yang sempat dialami
tak begitu saja membuat Roro Fitria langsir. Roro Fitria Malahan berhasil untuk
terus tetap mengalir. Mengalir untuk menyedot perhatian kerumunan. Perhatian
yang turut membuatnya sanjungan dan cibiran akrab dengan perjalanannya. Satu sisi
dirinya irinya sangat dicinta laiknya Mûsâ bin Amram [ ٰمُوسَى atau
Moses] saat berhasil menyelamatkan muruah bangsa Israel setelah diinjak bangsa
Mesir. Perhatian yang juga membuatnya begitu dibenci seperti Fir’aun [فرعون
atau Pharaoh] era Mûsâ sebagai pencetak catatan kelaliman luar biasa.
Apapun semat
yang diberikan padanya, yang jelas Roro Fitria bukanlah Mûsâ maupun Fir’aun era
Mûsâ. Segala pujian dan kata sanjungan tak membuatnya melayang seperti halnya
segala hinaan dan caci maki tak membuatnya tumbang begitu saja. Roro Fitria
mengerti bahwa dampak mementaskan diri sebagai penghibur adalah segala perkara
maupun peristiwa yang berkelindan dengannya tak bisa dilepaskan dari sorotan
media.
Sorotan yang
membuat Roro Fitria menjalani keseharian seperti ‘Alī bin Abī Thālib [علي بن أﺑﻲ
طالب] dan Ā’isha bint Abī Bakr [عائِشة بنت أبي بكر]. Mereka sama-sama menjadi
sosok yang sangat dicintai oleh sekerumunan dan begitu dibenci oleh sekerumunan
lainnya. Wajar, lantaran mata yang cinta selalu tumpul dari segala cemar.
Begitu juga mata yang penuh amarah hanya mudah memandang segala yang nista.
Segala semat
yang dialamatkan pada Roro Fitria tak membuatnya berhenti meniti tatanan dan
menata titian. Roro Fitria tetap bahadur sebagai penghibur yang dicintai serta
dibenci secara bersamaan. Sebagai sosok yang dipuja sedemikian rupa oleh
sebagian orang serta dinista sedemikian rupa oleh selainnya, Roro Fitria
sanggup membikin manusia saling menyapa lantaran sama-sama merasa sama sebagai
manusia, entah memujanya atau menistanya.
Tidak semua
orang sanggup menarik perhatian kerumunan seperti dilakukan oleh Roro Fitria.
Derap kehadirannya sanggup membuat tak sedikit orang merasa waktunya luang
untuk menjadikan Roro Fitria sebagai bahan perbincangan. Perbincangan yang
membuat nama Roro Fitria turut hadir dalam berbagai suasana. Perbincangan yang
bisa meriuhmeriahkan lingkungan walakin tak membuat Roro Fitria berhenti meniti
tatanan dan menata titian.
Sebagian
orang memandang puan ini bukanlah sosok tak pantas untuk dikagumi karena hanya
manusia biasa. Memang Roro Fitria hanyalah manusia biasa, manusia biasa yang
butuh makan, minum, maupun tidur serta bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah,
merasa bad mood menghadapi serbuan
orang, dsb. dst.. Meski begitu, Nika tetaplah sah-sah saja menjadi sosok yang
dikagumi. Bukankah salah satu perkara yang membuat kirana azalea persembahan dari surga Muhammad [محمد] asyik dikagumi
adalah karena dirinya menjalani keseharian sepertihalnya dalam posisinya
sebagai rasul dan nabi?
Roro Fitria
senantiasa mementaskan kesungguhan untuk bisa menjadi manusia biasa seperti
manusia lain yang biasa membincangkannya. Puan pemilik 36C ini terus menyelami
ruang rasa agar kehadirannya memberi rasa gembira disertai kepedulian merawat
kepantasan penampilan raga.
Kesungguhan
Roro Fitria untuk bisa menjadi manusia seutuhnya juga dilakukan dengan
menumbuhkembangkan sisi femininine
dan masculinine. Sisi masculinine yang dipentaskannya dengan
perilaku fearless selaras dengan
perilaku kenes pementasan sisi femininine.
Dua sisi berlawanan yang ada dalam setiap manusia ini sanggup dipadukan
sekaligus dengan bagus untuk membentuk dirinya menjadi sosok queen. Wajar kalau dia lantang mengungkapkan,
“Treat me like a queen!”.
Kesungguhan melakoni keseharian dengan mementaskan laku seperti itu membuat
Roro Fitria tak salah mendapat semat sebagai manusia paripurna. Manusia yang
petuahnya pantas di-gugu (memotivasi)
dan rekam jejaknya layak di-tiru
(menginspirasi). Manusia yang memiliki daya dorong luar biasa pada manusia
lainnya.
Ketika Roro Fitria mapan berdiri di hadapan sanjung puja dan popularitas,
dirinya tetap berusaha untuk bisa menjadi panutan yang laras. Seorang panutan
yang tak hendak menjadikan popularitas sebagai Tuhan. Perjalanan Roro Fitria
adalah ikhtiar dan takdir yang selaras. Roro Fitria terus
bersyukur ikhtiar yang dilakukan
selaras dengan takdir yang
digariskan.
Rasa sendu dalam kalbu Roro Fitria memang tak selalu bisa disirnakan. Namun
Roro Fitria tetap tegap berusaha untuk tampil menghibur yang papa dan
mengingatkan yang mapan. Penampilan yang memudahkannya menjadi penyebar
virus-virus cinta pada manusia lainnya. Virus yang membuat manusia saling
mencintai manusia seperti mencintai Tuhannya sang Pencipta.
Sebagian orang boleh saja memandangnya dengan cemar dan
rajin mencibir. Meski demikian, Roro Fitria
tak langsir ungkapan nyinyir
yang dialamatkan padanya dari para tukang pandir. Biarpun sebagian orang sirik
tiada akhir, Roro Fitria terus tetap mengalir.
Karena Roro Fitria adalah manusia biasa, maka tak sulit bagi manusia
lainnya untuk menikam rekam jejak yang Roro Fitria pahatkan. Tak harus menikam rekam jejaknya
sebagai penghibur, walakin mengikuti semangatnya untuk sepenuh hati menghadapi
perjalanan.
Dengan segala ungkapan yang dialamatkan padanya maupun menyinggung namanya,
Roro Fitria tetaplah Roro Fitria. Roro Fitria terus melangkah tanpa bisa
dituturkan melalui kata dan aksara sepenuhnya. Karena wanita
memang sulit dimengerti meski tetap bisa dinikmati. “Warnamu yang kujilati...sendiri...” seperti lantun DEWA19 dalam Restoe Boemi.