— setelah enam tahun namanya ditenun
Dalam peringatan birth
day saya menurut solar calendar
tahun 2013, kado istimewa datang dari Eny Rochmawati Octaviani (Tata) dan Nur Hidayati
(Hida). Dua orang yang sudah menjadi
legenda hidup saya kembali berkomunikasi setelah sempat terputus sekitar satu
tahun. Sampai saat ini hubungan saya dan Hida masih baik meski kurang akrab dan
belum pernah bertemu lagi dengan status kami yang sama-sama menjadi pelajar di
kampus.
Tahun ini, kami nyaris bertemu andai acara pertemuan
bersama Tata, Leily, dan Rori, tak batal. Cukup kecewa sebenarnya karena untuk
saat ini, bertemu Hida cukup sulit lantaran ia sudah bermukim di Aceh sejak
pertengahan 2013. Tapi tak mengapa selama komunikasi kami masih jalan, sembari
berusaha mengurangi segala miss
komunikasi yang mungkin akan tetap ada.
Di tahun ini, penanggalan matahari untuk bulan Maret
sampai Desember, memiliki hari yang sama seperti pada tahun 2008. Dimulai dari
tanggal 1 Maret yang sama-sama dimulai pada hari Sabtu. Yang membuat beda
hanyalah pasaran saja. Begitu pula
untuk tanggal 31 Oktober 2014, memiliki hari yang sama seperti tanggal 31
Oktober 2008, hari Jumu’ah.
Khusus untuk tahun ini, Jumu’ah 31 Oktober 2014 adalah
H-1 Sabtu Wage, weton saya. Sabtu
Wage selalu terasa istimewa bagi saya karena hari itu nyaris selalu menjadi
titik tolak dalam segala hal yang saya alami. Kebetulan Sabtu Wage tepat berada
diantara Rabu Legi, weton Tata, dan
Selasa Pahing, weton Hida.
Mengenang ke masa lalu, hampir 6 tahun yang lalu.
Sepanjang Oktober 2008, hubungan saya dan Tata sangat akrab, lebih akrab
daripada sekarang. Bisa dibilang, saat itu merupakan puncak hubungan baik
antara saya dan Tata yang sudah berlangsung lebih 7 tahun sampai sekarang.
Tata, perempuan yang sosialistis ini, bilang ke saya,
akan mengenalkan teman SMP nya. Saya menerima saja lantaran senang sekali
berteman. Apalagi di masa-masa itu, gairah menambah teman terus dilakukan
dengan banyak wara-wiri berkenalan
dengan siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau sekarang tampak
mengalir saja.
Tata bilang orang yang akan dikenalkan pada saya tak mau
kenalan lewat handphone dulu, tapi
perkenalan langsung di rumahnya. Jelas merasa sungkan, main ke rumah orang yang
belum dikenal sama sekali. Tapi dengan “garansi” dari Tata kalau ia bakal ada
di sana, membuat saya menerima ajakan itu.
Bahkan Tata sempat mengajak saya bertemu pada Kamis 30
Oktober 2008 untuk memastikan saya datang. Wajar Tata sampai berbuat seperti
ini, dia banyak tahu saya luar & dalam. Dalam pertemuan hari Kamis itu,
Tata bersama Dwi Citra Putri (Citra) dan saya bersama Achmad
Yahya (Yahya). Tata sempat memberikan nomor handphone Hida tetapi belum sempat saya
hubungi sampai kami akhirnya benar-benar berkenalan.
Bersama Hadi Asrori (Rori), orang yang paling sering saya ajak wira-wiri, kami datang ke rumah Hida di
Rendeng setelah Jum’atan. Meski hari Jumu’ah kami libur tetapi Tata dan Hida
masuk sekolah. Lagipula setiap Jumu’ah kebiasaan saya juga bangun siang, jadi
andaikan mereka tak sekolah pun tetap bakal berlangsung siang hari usai
Jum’atan.
Hal yang lucu adalah Tata sempat salah memberikan arah
menuju rumah Hida dan membuat saya serta Rori nyaris salah masuk rumah.
Beruntung kami memastikan dulu dengan menghubungi Tata melalui telepon.
Kemudian Tata dan Hida menjemput kami yang “telantar” di jalan.
Tata dan Hida tampil alami saat itu. Mereka tak tampak
dandan lebih dulu, bahkan masih memakai bawahan rok putih seragam SMP yang
dipakai hari itu. Setiap Jumu’ah dan Sabtu, SMP 3 Kudus
memakai seragam sekolah dengan atasan batik biru dengan kombinasi bawahan putih
polos. Tapi baju atasan mereka sudah ganti tak memakai seragam lagi. Tata
memakai baju warna pink sementara
Hida memakai baju warna merah hati.
Sebelum masuk ke rumah Hida, sudah mendapat sambutan
ramah dari ibunya yang sedang ngemong
Rama, adik bungsu Hida, di depan rumah. Ibunya Hida sempat bicara ke saya untuk
menyuruh memarkir sepeda motor saya di samping sepeda Tata. Saat memarkirkan
motor, tampak dari pintu ada bapaknya Hida juga. Lalu saya dan Rori masuk ke
rumah Hida, masuk ke rumah orang yang belum kami kenal.
Salah langkah. Posisi duduk saya malah berhadap-hadapan
dengan Tata. Rori dan Hida saling tegak lurus dengan posisi duduk saya dan
Tata. Ada baiknya juga lantaran obrolan yang awalnya terasa sangat kaku
mendadak cair ketika Hida melontarkan gurauannya pada saya dan Tata. Hida dan
Rori kompak menjodohkan saya dan Tata sampai kami berdua mati kutu.
Sialnya pula, mereka bilang ke Tata, “Awas Ta rokmu!”
Memangnya otak saya mesum? Tak mengapa mengorbankan diri sendiri—sebenarnya
juga mengorbankan Tata—yang penting obrolan pertama berlangsung cukup
menyenangkan dan cair. Di tengah obrolan itu, saya sempat melihat perempuan
yang sedang duduk di ruang tengah memakai baju biru muda. Belakangan saya tahu
ternyata ia adalah Novita Rahmawati (Ita),
adik langsung Hida.
Hida dan saya mulai
menjalin komunikasi dan berkenalan satu sama lain. Pertemanan kami mulai tambah
akrab. Sayang, belum genap sebulan saya mengenal Hida, berita duka datang.
Bapaknya Hida meninggal tepat sehari jelang birthday
Hida, 28 November 2008. Hida sendiri lahir pada 29 November 1994. Jelas bukan
kado manis buat Hida dan adik-adiknya. Apalagi Ita juga memperingati birthday-nya pada 30 November.
Hampir sebulan pasca hari berkabung, saya dan Rori
kembali main ke rumah Hida. Kali ini tak ada Tata, hanya kami bertiga saja.
Tapi saya belum juga mengenal Ita, tahu Ita saja belum. Gara-gara tak ada Tata,
saya malah seperti “obat nyamuk” karena Hida lebih nyambung dengan Rori. Hida pada hari itu tampak lebih “siap”
menerima kedatangan kami. Ia dandan cukup rapi dengan memakai kaos putih. Tapi
saya malah lebih suka melihat Hida tampil alami seperti saat pertama kali
bertemu.
Hubungan kami semakin baik sebelum akhirnya sempat
terusik setelah saya mengenal Ita. Orang yang kali pertama “membocorkan” Ita
adalah Leily Hardianti Rosiana (Leily) dan didukung juga oleh Tata. Tapi
tak ada niat dari dua orang tersebut untuk mengusik hubungan baik antara saya
dan Hida. Mereka hanya memberitahu saja kalau Hida punya adik yang bernama Ita.
Ita juga tak pernah mengusik hubungan baik saya dan kakaknya. Orang yang
“memanfaatkan” Ita untuk “menghantam” Hida adalah Anisa
Wahyuning Fitri (Anisa).
Anisa lebih dulu saya kenal daripada Hida. Perkenalan
saya dan Anisa terjadi ketika kami sama-sama mengikuti pelatihan Patroli
Keamanan Sekolah (PKS) di Polres Kudus. Di PKS juga saya bertemu dengan
Abdurrahman Wahid (Dur) yang
pada generasi berikutnya menjadi
sahabat saya di
pesantren. Perkenalan dengan Anisa awalnya biasa saja tapi setelah Anisa tahu
kalau saya juga mengenal Hida, ia tampak semakin “bersemangat” untuk bisa lebih
akrab dengan saya.
Saya tak tahu menahu bagaimana hubungan Hida dan Anisa.
Tapi menurut pengamatan saya, mereka tampak panas. Rori bilang kalau saya perlu
waspada pada Anisa. Ia tampak curiga dengan gerak-gerik Anisa yang menurut
pengamatan Rori bakal “mengusik” hubungan baik saya dan Hida. Belakangan saya
baru menyadari kalau ungkapan Rori benar.
Di mata Anisa, Hida tampak orang yang paling buruk di
dunia, tak ada baiknya sama sekali. Saya mulai meragukan kejujuran Anisa
lantaran apa yang dikatakannya jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Tata dan Leily
pada saya. Orang lain boleh bilang Tata dan Leily menyembunyikan “sesuatu” pada
saya, tapi selama ini, mereka selalu terbuka pada saya. Jadi saya lebih percaya
Tata dan Leily serta Rori daripada Anisa.
Sikap buruk Anisa pun membuat Leily sempat dimarahi
ibunya ketika Anisa main ke rumah Leily. Menurut ibunya Leily, Anisa perempuan
yang tak punya sopan santun. Jelas semakin memperlihatkan “kualitas” Anisa.
Apalagi mengenai Hida, Anisa tampak menghalalkan segala cara untuk bisa
menjatuhkan nama Hida. Tapi sejarah membuktikan bahwa Hida jelas jauh di atas
Anisa.
Salah satu
yang paling saya ingat dari Hida ialah ketika dia menyebut Colo, desa saya. Kalau Hida mengucapkan Colo,
kedengarannya lucu. Huruf “o” pada Colo yang seharusnya diucapkan seperti ketika
mengucapkan Colombus, malah diucapkan seperti ketika mengucapkan Onta.
Hida yang lahir di Kudus lalu
sejenak tinggal di Aceh dan kembali ke tanah kelahiran memulai pendidikan
formal di TK Pertiwi dekat kantor bupati Kudus. Namun hingga akhir 2008, ia
belum tahu lor-kidul-kulon-wetan—setidaknya menurut
pengakuannya saat itu. Ia tahunya utara-selatan-barat-timur. Entah kalau
sekarang. Ketika TK, ia satu kelas dengan Desi (Ayu Desi Rahmawati). Desi
adalah kakak kelas Ita—adik Hida—ketika di SMP 1 Kudus. Sayang hubungan saya
dengan Desi tak seakrab hubungan saya dengan Hida. Saya hanya sesekali menyapa
Desi melalui Facebook, tempat ia
sering main game.
Lulus dari SMP 3 Kudus, Hida melanjutkan ke SMK 1 Kudus.
Ia mengambil jurusan administrasi perkantoran. Di sana, ia juga sempat kenal
(entah mengenal atau cuma dikenal) oleh teman lama saya, Novita Cahyani. Novi
memang mengambil jurusan tata busana tetapi tampaknya mereka pernah memiliki
rekam jejak satu tim. Novi pula yang sempat berjasa menghubungkan kembali saya
dan Hida setelah kami sempat putus kontak. Maklum saja, saat itu saya sedang di
pesantren dan sempat kehilangan handphone
beserta gagal menyelamatkan kontak walau sudah dibantu Danis Alfina Qoni’ah
(Danis).
Ketika di pesantren dulu, saya sempat menghubungi Hida
melalui telepon rumahnya. Saya menggunakan jasa wartel yang tak jauh dari
gedung MA NU TBS. Ibu Hida yang mengangkat, lalu ia memanggil putri sulungnya
sambil bergurau, “Dicari pacarmu Hid,” “Sialan,” batin saya. Kami sempat bicara
beberapa saat sebelum akhirnya komunikasi kami putus beberapa saat.
Prediksi saya, setelah lulus SMK, Hida akan melanjutkan
kuliah di program studi manajemen. Mungkin ia akan kuliah di Jogja karena ia
tampak suka dengan lingkungan Jogja. Sayang prediksi saya salah total ketika
Tata menghubungi saya melalui telepon dan mengabarkan Hida melanjutkan kuliah
di tanah kelahirannya, Aceh.
Kejutan yang tak tampak mengejutkan. Hida sekarang
kuliah di program studi Hukum Internasional di Universitas Syi’ah Kuala
(UNSYIAH). Mungkin Hida melanjutkan jejak bapaknya yang juga kuliah di bidang
hukum. Malah Ita yang akhirnya kuliah di Jogja meski saya harapkan kuliah di
Bandung, atau setidaknya pada bidang astronomi.
Bicara mengenai Hida dan Aceh, ia sempat bilang kurang
nyaman di Aceh. Hal ini diungkapkannya awal 2010 silam ketika ia menikmati
liburan semester ganjil di Aceh bersama keluarga. Menurut Hida, lebih nyaman
tinggal di Kudus. Entah sekarang ia masih bilang seperti itu atau tidak, yang
jelas Hida tampak menikmati kehidupannya kembali di Aceh.
Dengan kuliah di Aceh, Hida mencatat rekor satu-satunya
diantara saya, Hida, Tata, Leily, dan Rori yang sekarang tinggal di luar Pulau
Jawa. Tapi Hida tak sepenuhnya meninggalkan Pulau Jawa karena “separuh
jiwa”-nya masih di Jawa.
Pertemuan kami yang terasa istimewa terjadi pada 09
Maret 2009. Ketika kami berada dalam keadaan empat mata di ruang tamu rumah
Hida. Selesai ngobrol bersama, keluar
dari rumah dan masih berada dalam jangkauan pandangan Hida, saya bertatap mata
dengan Ita yang kebetulan berada di dekat saya sambil ngemong Rama. Ita menyapa dengan senyum manisnya,
yang terasa cukup istimewa.
Senang bisa kenal baik dengan perempuan hebat ini. Sosok
sahabat hebat yang senantiasa memotivasi dan menginspirasi, juga tak ragu dalam
memberi koreksi diri.