Hingar bingar pentas politik praktis dan industri hiburan nyaris membuat
pentas keilmuan terabaikan oleh media (massa, sosial, dan petan). Mereka yang berkecimpung dalam dunia keilmuan pun kerap luput
dari perhatian media arus utama. Salah satunya adalah Yohanes Surya, seorang
fisikawan asal Indonesia lulusan William and Mary College Virginia, salah satu
perguruan tinggi bersejarah di Amerika Serikat.
Yohanes lahir di Jakarta, 06 November 1963 dari keluarga keturunan Tionghoa
dengan keadaan perekonomian yang tidak mewah. Masa belia yang dihabiskan di
Kampung Liok, Klender, sempat membuatnya belum tertarik ke dunia keilmuan.
Hanya saja dia sudah menggilai bacaan sejak belia. Bacaan apapun suka dibacanya
terutama cerita silat. Sejak belia juga dia membantu ibunya membuat kue yang
membuatnya terbiasa bangun sekitar pukul 3 dinihari untuk membantu sang ibu
mempersiapkan jajanan kue untuk dipasarkan siang harinya.
Yohanes terbilang beruntung dalam pendidikan formal dengan menjadi
satu-satunya anak di keluarganya yang bisa mengakses pendidikan formal lebih
tinggi. Tak ada biaya adalah alasan utama. Yohanes yang menjadi anak bungsu,
tertolong oleh kakaknya yang mau membantu membiayai kuliahnya.
Pendidikan formalnya dimulai di SD Pulogadung Petang II Jakarta Timur, dan
terus berlanjut ke SMPN 90 Jakarta, SMAN 12 Jakarta, hingga jenjang tertinggi
kala itu dengan berhasil masuk ke Perguruan tinggi Indonesia, tepatnya di
jurusan fisika. Ketika belajar di sini, dia juga terbantu oleh beasiswa dari
Yayasan Supersemar.
Keterbatasan di bidang ekonomi, dipakai Yohanes menjadi titik balik
semangatnya. Ketika Yohanes melihat peluang mendapat beasiswa S2 di luar
negeri, dia cepat-cepat mengurus paspor, meski kemampuan bahasa Inggris masih
sangat sedikit. Yohanes berpikir pasti akan ada jalan untuk mendapatkan
beasiswa ke luar negeri kelak.
Dugaannya tepat. Di tahun 1985, ada dua profesor datang ke Indonesia untuk interview pelajar dari UI, ITB, UGM, dan
ITS. Dari interview tersebut akan
diambil pelajar untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Mendengar kabar ini,
Yohanes yang kebetulan dari UI, semakin rajin belajar agar bisa memperoleh
beasiswa ke luar negeri karena hanya inilah jalan buatnya untuk bisa
melanjutkan belajar formal di perguruan tinggi.
Yohanes sendiri akhirnya bisa mendapat beasiswa tersebut. Selain setelah
dia semakin rajin belajar, pihak pendonor mengutamakan mereka yang sudah
memiliki paspor. Kemampuan bahasa Inggris baru ditingkatkan kemudian. Kecerdikan
Yohanes dalam bersiasat tak hanya itu saja. Salah satu kewajiban penerima
beasiswa tersebut adalah harus menjadi asisten dosen di tempat belajar S2
kelak, artinya harus mengajar pelajar. Tetapi Yohanes muda tidak percaya diri
dengan kemampuan bahasa Inggrisnya.
Yohanes lalu berusaha untuk menyiasatinya dengan mati-matian mendapatkan
beasiswa S3. Dia berencana mengambil S2 dan langsung S3 di perguruan tinggi
yang sama. Dengan begitu, dia meminimalisir kewajiban mengajar pelajar. Setelah
mendapat gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant
of Theoretical Physics di CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator
Facility) Virginia, Amerika Serikat (1994), Yohanes Surya lebih memilih pulang
ke Indonesia.
Walaupun sudah memiliki Greencard
(kartu ijin tinggal dan bekerja di AS) Yohanes ingin mengharumkan nama
Indonesia melalui olimpiade fisika, dengan semboyannya waktu itu adalah ‘Go Get Gold’ serta mengembangkan fisika
di Indonesia. Hal yang menarik adalah keikutsertaan Indonesia dalam olimpiade
fisika yang diadakan di William and Mary College Virginia. Saat itu Indonesia
tidak mendapatkan undangan. Tetapi dengan cara nepotisme, Yohanes Surya
mengajukan Indonesia sebagai salah satu peserta.
Nepotisme dilakukan dengan bertanggung jawab karena Yohanes memasang badan
serta senantiasa berusaha meningkatkan kualitas peserta dari Indonesia agar tak
memalukan ketika berunjuk penampilan. Akibat nepotisme itulah Indonesia mulai
menjadi peserta dan diperhitungkan di ajang olimpiade fisika tingkat
internasional. Tetapi dampak buruknya adalah Philipina tahu akan hal ini
sehingga mereka juga meminta jatah sebagai peserta. Philipina sendiri akhirnya
diijinkan menjadi peserta tambahan, selain Indonesia.
Pulang dari Amerika, disamping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika
Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program
pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995–1998). Dari tahun 1993,
anak-anak binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet puluhan
medali emas, perak, dan perunggu dalam berbagai kompetisi fisika tingkat
internasional. Pada tahun 2006, seorang pelajar binaannya meraih predikat
Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IPhO)
XXXVII di Singapura.
Yohanes merupakan penulis produktif berkualitas untuk bidang fisika. Sudah
puluhan bacaan dia tulis dan terbitkan untuk pelajar SD sampai SMA hingga
pembaca umum. Terbitannya beragam, mulai dari buku, artikel di jurnal ilmiah,
hingga artikel di media massa. Dari banyak penulisannya, konsep Mestakung dan pembelajaran Gasing merupakan dua karya agung yang
terus nyaring bergaung.
Mestakung adalah akronim dari semesta mendukung yang menjadi judul buku
karya Yohanes, Mestakung: Rahasia Sukses
Juara Dunia. Buku ini sendiri berisi pengalaman pribadi Yohanes dalam
memperjuangkan anak-anak TOFI. Target Yohanes untuk TOFI nyaris selalu tercapai
dengan cara yang sering tidak terduga. Buku yang dia publikasikan pada tahun
2007 tercatat sebagai buku best seller
tercepat di Indonesia.
Melalui Mestakung, Yohanes
menunjukkan hukum alam berupa keadaan kritis yang dialami (secara individu
maupun kerumunan) menyebabkan semesta (dalam hal ini sel-sel tubuh dan
lingkungan sekitar) memberikan dukungan untuk keluar dari keadaan kritis.
Misalnya ketika ada seseorang yang tak mampu berlari cepat tiba-tiba dia
dikejar oleh anjing yang bisa berlari sangat cepat. Ketika dia sedang dikejar
anjing, sel-sel tubuh dan lingkungan sekitar membantunya keluar dari kondisi
kritis itu sehingga orang tersebut bisa selamat dari kejaran anjing.
Salah satu teori fisika yang mendukung konsep Mestakung adalah mekanika kuantum, salah satu karya agung perajin
fisika yang digawangi oleh Werner Karl Heisenberg. Muhammad Ainun Najib (Nun)
melalui pendekatan lain memberikan pernyataan serupa, ialah kehendak yang
dimiliki (oleh seseorang atau sekerumunan) senantiasa mendapat bantuan dari
semesta untuk mewujudkan kehendak itu. Kalau gagasan Yohanes, Heisenberg, dan
Nun dipadukan, kira-kira bisa dituturkan bahwa manusia bisa menakdirkan dirinya
sendiri dalam batas tertentu.
Gasing sendiri merupakan akronim dari gampang, asik, dan
menyenangkan. Dalam pembelajaran ala Gasing
ini, Yohanes menekankan logika dan penalaran bidang fisika, tak hanya mendogma
pelajar dengan persamaan matematika saja. Matematika, yang notabene pembantu
fisika, kerap menjadi momok menyeramkan. Momok ini semakin menyeramkan ketika
matematika dianggap muradif dengan fisika.
Melalui Gasing Yohanes berupaya
menangkis fenomena tersebut. Usaha menunjukkan bahwa fisika tak muradif dengan
matematika disampaikan dengan cara yang menyemangati pelajar untuk dan tidak
memperpuruk jiwa. Yohanes berangkat dari anggapannya bahwa tak ada pelajar
bodoh walakin yang ada adalah pelajar yang tidak punya kesempatan bertemu
dengan guru yang cocok.
Anggapan tersebut juga berkelindan dengan anggapan lain Yohanes yang
menyebut bahwa guru memiliki peran kunci dalam menumbuhkembangkan minat belajar
pelajar, khususnya untuk pelajaran fisika. Menurutnya, guru harus punya teknik
mengajar fisika yang laras dan tegas sehingga pelajar tidak takut dengan
fisika, melainkan fisika menjadi pelajaran yang menyenangkan. Melalui
pembelajaran ala Gasing, dia memiliki
mimpi panjang, akan ada pemenang nobel fisika dari Indonesia pada 2020.
Demi menyebarkan virus-virus ilmu alam terutama fisika (tidak bisa
dibalik), Yohanes tak gamang mendayagunakan suntikan sastra. Tofi: Perburuan Bintang Sirius, menjadi
novel perdana yang ditulis olehnya. Tahu diri bahwa kelihaiannya bertutur
sastra masih kalah dibanding kepiawaiannya bercerita tentang ilmu alam, Yohanes
pun menggandeng Ellen Conny dan Sylvia Lim sebagai rekan penulisan.
Yohanes berharap melalui novel tersebut masyarakat dapat memiliki minat
terhadap ilmu alam. Baik minat untuk mendalami maupun sekedar mengikuti
perkembangan ilmu alam. Dia bermimpi bahwa masyarakat dan ilmu alam bisa
menjadi semacam persahabatan cinta alih-alih memandang ilmu alam dengan mata
penuh nista.
Ketokohan dalam dalam novel ini dibangun berdasarkan konsep fisika,
misalnya Miranda dan Jupiter yang diambil dari unsur-unsur tata surya. Sifat
keduanya pun disesuaikan dengan sifat kedua benda langit ini setepatnya. Hanya
nama Tofi, tokoh utamanya, yang unik. Nama ini diambil dari singkatan dan
sebutan sehari-hari bagi Tim Olimpiade Fisika.
Tofi: Perburuan Bintang Sirius bertutur tentang persaingan antara Tofi dan Jupiter
di sekolah. Dibalik persaingan itu, sebuah kesepakatan diam-diam tentang
perburuan bintang Sirius membayangi mereka. Sirius disebutkan sebagai proyek
rahasia sebuah sindikat mafia cerdik-cendekia internasional yang berisi
enkripsi senjata pemusnah nano yang sanggup merusak DNA sang target.
Ellen Conny, salah satu novelis yang terlibat dalam proyek novel ini
mengaku tak mudah untuk menyelesaikan novel dengan warna baru ini bersama tiga
orang penulis. Proses penyuntingan dilakukan berulang kali bersama-sama. Gairah
membuncah tanpa sirna bersama-sama sejak semula membikin Conny merasa menikmati
proses yang baginya memberikan semangat berlipat. Yohanes sendiri menganggap
bahwa novel ini menjadi salah satu cara untuk meraih tujuan Surya Institute,
yaitu Indonesia Jaya.
Dengan terus bersemangat memasyarakatkan ilmu alam kepada generasi muda,
Yohanes berharap kemunculan cerdik-cendekia dari beragam sisi daerah melimpah
ruah. Yohanes Surya dan tim menulis novel ini selama tiga tahun. Proses
penyuntingan dan penyelarasan yang panjang dilakukan agar novel tak mudah bosan
ketika dibaca. Dengan demikian, penuturan yang disajikan bisa bahadur menghibur
sekaligus menumbuhkembangkan harapan pada para pembaca.
Semenjak beberapa dekade terakhir, cerdik-cendekia dan seniman termasuk
sastrawan tampak terpisah jurang. Tak banyak cerdik-cendekia yang cendekia
menggubah karya sastra seperti halnya mereka menuliskan hasil penelitian dengan
bahasa teknis keilmuan yang cenderung kaku. Pula masih terdapat kencederungan
kalau cerdik-cendekia kurang bisa menjelaskan pengertian terhadap keilmuan
dengan bahasa pasaran yang membuat penulisan bacaan terkait keilmuan lebih jamak
menggunakan bahasa Indonesia yang baku bukan laras. Fenomena ini berusaha
dibantah oleh Yohanes.
Masalah lain dalam penulisan handaitolan sastra dan ilmu alam adalah
terkait dengan prinsip yang disepakati tepat tentang ilmu alam. Tak sedikit
novel yang berusaha menghandaitolankan sastra dan ilmu alam justru ngaco ditilik dari sisi keilmuan.
Fenomena iini pula yang berusaha dihindari oleh Yohanes beserta timya.
Teknologi yang ada diceritakan dengan laras, artinya teknologi itu memang
bisa dikembangkan pada saat nanti. Sepatu loncat yang bisa membuat orang loncat
setinggi tiga meter, misalnya, memang bisa diusahakan melalui perkembangan
teknologi. Memang tampak aneh, walakin bukankah sastra dan ilmu alam sama-sama
karib dengan imajinasi seperti diajarkan melalui laku Abraham [ʾIbrāhīm atau
إبراهيم]?
Pendayagunaan istilah teknis ilmu alam baik sebagai nama tokoh atau nama
benda bertujuan agar memancing rasa keingintahuan pembaca, terutama anak-anak,
terhadap istilah tersebut. Dengan cara tersebut, pembaca diharapkan agar
menyempatkan diri mengelaborasi istilah tersebut. Walakin, tak ada paksaan
untuk mengelaborasi karena para pemakaian istilah diselaraskan dengan sifat
yang dimiliki sebagai antisipasi kemalasan pembaca mengelaborasi.
Penyebaran virus-virus ilmu alam pun dilakukan melalui komik. Melalui komik
berjudul Archi & Meidy, Yohanes
menggandeng sesama cerdik-cendekia sebagai rekan penyusunnya. Bersama Wendy
Vega, komik ini diterbitkan dalam empat jilid. Seluruh kisahnya malar bertutur
mengenai perjalanan dua saudara kembar berusia sepuluh tahun, Archi dan Meidy.
Keduanya memiliki interaksi intim dengan ilmu alam, baik di rumah maupun di
sekolah. Kisahnya berakhir empat belas tahun kemudian ketika mereka bergabung
dengan agen rahasia untuk berusaha menyelamatkan dunia.
Tak hanya gemilang dalam penulisan gagasan, Yohanes juga menjulang dalam
terlibat kegiatan lapangan. Tak banyak orang yang bisa melakoni dua hal ini
dengan selaras. Sebagian orang ada yang bisa gemilang dalam gagasan walakin
gamang ketika terlibat di lapangan. Kosok balinya, sebagian orang yang rajin
terlibat di lapangan tak memiliki unjuk rasa yang bisa mereka gagas.
Selain sebagai penulis, Yohanes Surya juga menjadi narasumber berbagai
program pengajaran fisika, memberikan pengajaran fisika melalui CD untuk SD,
SMP, dan SMA, menggagas Webinar, sebuah seminar yang bisa diakses melalui
internet. Hal yang menarik terkait upaya penyebaran CD adalah Yohanes
mengijinkan CD ROM ini dipakai sebagai alat kampanye partai politik (parpol),
di saat banyak pihak cenderung apatis bekerja sama dengan parpol. Yohanes juga
turut memproduksi berbagai program TV, diantaranya Petualangan di Dunia Fantasi dan Tralala-Trilili yang pernah ditayangkan di RCTI.
Sejak tahun 2000, Yohanes Surya banyak mengadakan pelatihan untuk guru-guru
fisika dan matematika di hampir semua kota di Indonesia, dari ibukota kabupaten/kotamadya,
sampai ke desa-desa di seluruh pelosok Nusantara Selatan (bagian Republik
Indonesia) dari Sabang hingga Merauke. Untuk mewadahi pelatihan-pelatihan ini
Yohanes Surya mendirikan Surya Institute.
Surya Institute didirikan pada tahun 2006 dengan impian melakukan reformasi
pembelajaran ilmu alam dan matematika di Indonesia. Surya Institute pula yang
membangun gedung TOFI Center yang menjadi pusat pelatihan guru maupun pelajar
yang akan bertanding di berbagai kejuaraan fisika. Pula pagelaran yang
bekerjasama bersama ICYS, ASEC, Asian Science Camp 2008, WoPhO, APhO, dan
APCYS. Sebagai jalan mewujudkan impian, Surya Institute.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Surya Institute didasari keinginan
untuk mempromosikan ilmu alam dan matematika yang gampang, asyik dan
menyenangkan (GASING). Melalui cara tersebut, bahan yang dipelajari pelajar
akan bermanfaat sebagai bekal dimasa mendatang ketika mereka sudah bekerja di
lapangan. Kegiatan dilakukan lewat pelatihan guru, seminar, road show, TV show, talk show, science camp, dan kegiatan selaras
lainnya.
Dengan semangat berlipat membangun Indonesia jaya (bukan sekadar merdeka),
Surya Institute mempersiapkan cerdik-cendekia (bukan cerdik-pandai) yang
menguasai ilmu alam dan teknologi. Untuk itu Indonesia harus memiliki komunitas
(minimal) 30.000 cerdik-cendekia dalam bidang ilmu alam, teknologi, dan ilmu
sosial. Harapan ini dapat tercapai kalau Indonesia mempunyai komunitas calon
cerdik-cendekia berumur belia.
Komunitas calon cerdik-cendekia akan terbentuk kalau ada komunitas
anak-anak yang cinta ilmu alam dan matematika, masyarakat pencinta ilmu alam
dan matematika, serta guru yang mampu mengajar secara gampang asyik dan
menyenangkan. Harapan tersebut juga bisa dicapai melalui manusia yang biasa tenggang
rasa, toleran, bersikap egois, berperilaku kooperatif, serta berjiwa sociopreneurship maupun technopreneurship.
Sebagai jalan untuk mewujudkan impian megah, ranah yang digarap Surya
Institute perlu dicacah. Cacahan dilakukan dengan mendirikan empat lembaga yang
berada dalam asuhan Surya Institute, ialah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) Surya, Surya University, Sekolah GenIUS, dan Surya Center
for Learning Excellence (SCLE).
STKIP Surya didirikan pada 2010. Melalui STKIP, Yohanes ingin mencetak
guru-guru yang berkualitas, mampu mengajar ala Gasing, dan mampu mengajar sampai minimal tingkat olimpiade
internasional. Pelajar yang diterima memiliki syarat khusus, yakni berasal dari
wilayah pinggiran terutama dari pedalaman bukan pusat keramaian.
Syarat khusus diberikan dengan harapan agar para pejalar bisa kembali ke
daerah asalnya, menjadi guru yang memandu pembangunan daerah asal setelah
menyenyam pendidikan di STKIP Surya. Yohanes mengerti bahwa ikatan antara
manusia dengan alam tempat mereka lahir senantiasa bertumbuhkembang sehingga
bisa menjadi modal kuat untuk memiliki kemauan terlibat pembangunan.
Surya University merupakan perguruan tinggi berbasis riset. Sejak pertama
masuk, pelajar sudah diberikan pilihan ingin melakukan riset apapun. Misalnya
anak yang masuk jurusan agribisnis, diijinkan memilih riset desain website. Yohanes mengerti bahwa untuk
menjadi negara unggul, Indonesia harus masuk dunia riset, dan perguruan tinggi
harus menjadi ujung tombak riset-riset unggulan di tanah air ini.
Yohanes ingin menghasilkan 100 ribu sarjana yang mampu melakukan riset
untuk membangun Indonesia pada 2030. Dari sini, diharapkan pada 2045 Indonesia
bisa menjadi negara hyper power di
dunia yang dihuni oleh pewaris leluhur Nusantara dengan kualitas hyper human.
Surya Institute juga memerhatikan anak-anak yang punya kelebihan khusus
untuk diarahkan ke berbagai olimpiade ilmu alam dan matematika, baik nasional
maupun internasional. Keikutsertaan dalam kejuaraan ilmiah diharapkan bisa
menumbuhkembangkan gairah dalam melakukan kajian. Maka pada bulan Juli 2014,
Sekolah GenIUS (Generasi Indonesia jaya Untuk Semua) pun didirikan.
Sekolah GenIUS merupakan sekolah dasar dan menengah di bawah asuhan STKIP
Surya dan Surya University. Pembelajaran yang dilaksanakan di Sekolah GenIUS
berbasis riset melalui program peneliti asuh yang bekerja sama dengan
pusat-pusat riset di Surya University dan lembaga riset di Indonesia. Dengan
demikian, memungkinkan pelajar untuk menjadi peneliti dibawah umur 21 tahun.
Selain itu, pelajar mendapat pendampingan psikologis serta pengembangan
dalam ragam bidang seperti bahasa dan musik. Sekolah GenIUS juga mendidik
pelajar-pelajar yang membutuhkan layanan khusus dari wilayah pinggiran terutama
pedalaman yang kerap dianggap tertinggal.
Surya Center for Learning Excellence (SCLE) didirikan dengan tujuan
berperan dalam memajukan kapasitas manusia sebagai pembangun peradaban melalui
pembelajaran. SCLE didayagunakan sebagai penggerak program-program pelatihan,
pengembangan ketrampilan, dan IPTEK terdepan.
Rekam jejak megah dalam penulisan gagasan dan keterlibatan di lapangan
memang terasa kurang gemilang lantaran Yohanes tak menjadi pemangku kebijakan.
Walau demikian, sejak 2009 dia mulai malar bekerjasama bersama pemangku
kebijakan daerah yang dianggap tertinggal.
Kerjasama mewujud dengan pengembangan matematika gasing, supaya anak-anak
daerah tersebut dapat menekuni matematika dengan gembira. Hasilnya, anak yang
dianggap bodoh mampu menguasasi matematika kelas 1-6 sekolah dasar (SD) dalam
waktu 6 bulan.
Kerjasama ini bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil
peneliti berkelas sebagai cara Yohanes menarik pandangan dunia terhadap
Indonesia bahwa negeri ini ada yang keberadaannya ikutserta memperkaya—bukan
hanya meramaikan—khazanah peradaban manusia.
Dalam disertasinya yang berjudul Sederhana
ke Kompleks, Yohanes menurutkan sistem-sistem kompleks yang ada di alam
semesta ini mempunyai aturan-aturan sederhana—bukan sepele dan remeh. Oleh
sebab itu tugas cerdik-cendekia sekarang adalah mencari aturan-aturan sederhana
ini sehingga dapat dilakukan prediksi dan dapat memanfaatkan hasil prediksi
tersebut untuk membangun peradaban manusia.
“Jika kita melihat suatu masalah atau keadaan sedemikian kompleksnya, ini
bukan berati masalah itu tidak terpecahkan, tetapi karena kita belum menemukan
pola atau aturan sederhana yang menyebabkan sistem kompleks ini terjadi,” ujar
laki yang melakukan proklamasi revolusi cinta dengan Christina pada 15 Januari
1989.
Perjalanan keluarga dan rumah tangga kedua Yohanes dan Christina yang
datar-datar saja tak istimewa. Perjalanan keduanya semakin datar seiring kehadiran
tiga buah hati: Chrisanthy Rebecca Surya, Marie Felicia Surya, dan Marcia Ann
Surya. Yohanes bisa menjadi kepala keluarga yang patut dianut, suami yang keren
untuk Christina, serta bapak yang hebat buat buah hati mereka. Demikian halnya
dengan Christina, yang bisa memerankan diri sebagai kepala rumah tangga
sekaligus istri dan ibu yang menakjubkan. Alhasil, keluarga dan rumah tangga
keduanya pun tak istimewa.
Yohanes Surya adalah fisikawan merakyat, yang terus berusaha membuat fisika
lekat dengan keseharian rakyat. Ketika khalayak jamak menganggap bahwa fisika
adalah perkara yang rumit, sulit, dan hanya untuk kalangan elit, Yohanes
menepisnya dengan semena-mena membawanya ke tengah kawula alit.
Yohanes Surya hanya berusaha menyederhanakan dan membuat fisika sebagai
bagian yang tak terasingkan dari tengah pergaulan keseharian. Langkah yang
selaras seperti dilakukan oleh Richard Phillips Feynman dan Paul DeHart Hurd
dari Amerika Serikat kemudian Stephen William Hawking dan Brian Harold May dari
Britania Raya. Sama sekali bukan perkara istimewa karena tak menarik sebagai
bahan perbincangan.