Pangeran Ternistakan


— kontroversi serta ambisi tiada henti

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; Prabowo Subianto Djojohadikusumo;

Keputusan memecat saya adalah sah. Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik.”
— Prabowo Subianto Djojohadikusumo

Kontroversi yang menyelimuti serta ambisi yang dimiliki Prabowo Subianto Djojohadikusumo lebih abadi daripada perjalanan berkeluarga dan berumahtangganya bersama Siti Hediati Soeharto, SE (Titiek). Bahkan jauh lebih luas dikenal dan lebih meriah diperbincangkan ketimbang karya putra mereka satu-satunya, Ragowo Hediprasetyo (Didit).

Satu sisi dia dipuja laiknya Musa sebagai penyelamat muruah bangsa. Satu sisi dia dicaci laiknya Fir’aun sebagai pencetak catatan kelaliman luar biasa. Wajar saja. Mata yang cinta akan tumpul dari segala cela serta mata yang penuh amarah hanya akan memandang segala yang nista. Yang jelas, segala pujian dan kata sanjungan tak membuatnya melayang seperti halnya segala hinaan dan caci maki tak membuatnya mati.

Prabowo lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Dia dikenal sebagai mantan Danjen Kopasus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus), pengusaha, politikus, dan segala hal yang menjadi identitas yang melekat pada personalitasnya.

Prabowo adalah putra dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Dia juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya tampak bahwa Prabowo memiliki ‘darah biru’ bangsa Nusantara, jauh sebelum Indonesia dilahirkan.

Saat kariernya sedang diselimuti kirana, dia menikahi Titiek, putri Presiden Soeharto. Keputusan yang tampak menjanjikan saat itu walakin menjadi kesalahan fatal dalam hidupnya di kemudian hari.

Dengan latar belakang keluarga cendekiawan, Prabowo mewarisi kecerdasan ayahnya. Dia dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Rekhalayak Indonesia). Meski dia adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa setelah lulus SMA, Prabowo juga diterima di American School In London, Britania Raya.

Kariernya dibidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karier militer Prabowo termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI (Angkatan Bersenjata Rekhalayak Indonesia). Prabowo bahkan sempat disebut sebagai The Brightest Star. Dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun.

Sebagai sesama orang militer, Prabowo bisa dianggap sebagai antitesa dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karier dia yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan The Rising Star di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira cendekiawannya ABRI.

Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat, Prabowo akan menjalankannya dengan penuh kepastian yang siap menanggung segala dampak yang tak terhindarkan.

Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng muruah pribadi dan menjadi penyebab kehancuran karier militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mengungkapkan hasil pemeriksaannya kepada khalayak. Tidak juga kepada Prabowo yang notabene menjadi tertuduhnya.

Wiranto, yang memiliki rekam jejak battle dengan Prabowo, tampaknya sengaja mengambil manfaat agar prasangka khalayak menghukum Prabowo lebih berat daripada ‘dosanya’. Meski Prabowo bersikeras mengatakan tak pernah perintahkan, walakin dia mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. “Saya ambil alih tanggung jawabnya,” begitu ungkapnya saat itu.

Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karier militer yang gilang gemilang, walau dengan gamblang juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Prabowo. Jika Prabowo benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang dan Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dibentuknya?

Meski begitu, kualitas kepemimpinan Prabowo justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, selalu terkesan ragu-ragu tampaknya Prabowo adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk menyelamatkan citra diri sendiri saat ada masalah maka Prabowo adalah pilihan yang patut dipertimbangkan.

Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, Prabowo memilih untuk ambil alih tanggung jawab dan menanggung sendiri risikonya. Seperti terlihat dalam film Titanic, ketika kapal sudah mulai tenggelam, kapten kapal memastikan semua penumpang selamat, dan akhirnya dirinya sendiri gagal selamat. Sayang, karier militer Prabowo yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan.

Prabowo bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998. Berbicara tentang Prabowo kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Nusantara selamanya. Sebagai pihak yang kalah Prabowo menjadi ‘kambing hitam’ dari semua kejadian tersebut.

Seperti kata pepatah, tinta sejarah adalah milik pemenang. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal perjalanannya. Sematan sebagai ‘penjahat kemanusiaa’ pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata oleh siapa saja yang tak suka untuk menjatuhkan Prabowo.

Jika memang benar Prabowo adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan Prabowo yang karier gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah Prabowo tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah sukma kita terus tergerus dengan dendam padanya?

Jauh sebelum peristiwa Mei ‘98 proses penghancuran nama baik Prabowo sudah terjadi. Semua berawal dari ‘kisah cinta’ antara Prabowo dan Wiranto. Ketakharmonisan Prabowo dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena latar belakang keduanya yang jauh berbeda. Prabowo yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka. Sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup.

Prabowo yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap pertarungan semacam itu sebagai hal biasa dan tidak dijadikan personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat ‘Jawa Tradisional’ itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu pertarungan. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karier militer atau politiknya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara.

Tanda kentara ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya dia sebagai Pangab (Panglima ABRI) dalam acara serah terima Pangkostrad Letjen Soegiono kepada Prabowo. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat Prabowo sebagai perwira militer. Dia mencopot tanda-tanda pangkat Prabowo dengan satu tangan saja.

Proses berakhir secara paksanya karier militer Prabowo memang tidak bisa dilepaskan dari pertarungan perwira muda dan perwira tua. Prabowo sebagai gambaran perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi Prabowo saat itu benar-benar terjepit.

Di satu sisi dia adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif masyarakat. Di sisi lain akibat manuver ‘tim’ Wiranto, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya Habibie, dia menyampaikan pesan khusus untuk ‘mengamankan’ Prabowo.

Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih berpotensi menghantui negeri ini.

Ada tiga tuduhan utama yang diarahkan kepada Prabowo, yaitu: Penculikan akitivis, penembakan pelajar Trisakti, dan dalang kerusuhan Mei 1998. Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti.

Seandainya Prabowo bersalah bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai panglima dia yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini Prabowo tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela diri?

Mengenai penembakan pelajar Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buyingtime’ dengan tak mengusut kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali ke Prabowo, yang jadi bulan-bulanan opini khalayak, dicurigai sebagai orang dibalik penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun fitnah sudah mencapai sasaran. Dan sekali lagi Prabowo terlanjur menjadi pesakitan.

Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tidak pernah terbukti, karena peluru snipper diatas 7 mm dan proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara acak.

Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan. Lima hari setelah insiden Trisakti, Prabowo datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Alquran dia bersumpah. Di depan Syaharir Mulyo Utomo orang tua korban, “Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.”

Perihal keterlibatan Prabowo atas penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 14 Mei terjadi pertemuan di Makostrad (Markas Komanda Staf Angkatan Darat) atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara Prabowo dan tokoh masyarakat, antara lain: Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, dan Bambang Widjoyanto. Dalam pertemuan itu Prabowo ditanya tentang keterlibatannya. Prabowo menjawab, “Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up.” Menurut Buyung terlihat jujur.

Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketakterlibatan Prabowo atas peristiwa penembakan pelajar tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Dibyo Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat. Disinilah peran Wiranto terlihat.

Tujuhbelas hari setelah insiden itu berlalu baru Wiranto memanggil Dibyo untuk memerintahkan menyerahkan anggota. Itupun anggota diserahkan ke Polda bukan ke POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI dan Pangabnya adalah Wiranto.

Sementara senjata sebagai barang bukti baru diserahkan tanggal 19 Juni 1998. Hampir satu bulan sejak peristiwa terjadi. Kelak tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru berasal dari anggota Polri unit gegana.

Siapa sesungguhnya dibalik peristiwa itu? Siapa yang memberi perintah? Jelas bukan Prabowo yang sebagai Pangkostrad tidak punya jalur komando ke Polri. Dalam militer, garis komando benar-benar diterapkan.

Bagaimana dengan tuduhan Prabowo sebagai otak dibalik kerusuhan Mei ‘98? Benarkah dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi dia dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung diantara para elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan ‘terror by design’ (teror yang didesain)?

Mari kita kembali ke zaman yang tak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh ‘mesin waktu’. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa.

Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal dia juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan pelajar Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkahkah demikian?

Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei ‘98 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.

Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto pada peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat ibukota sedang genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di ibukota, tetapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II. Wiranto menjadi Inspektur upacara (irup)-nya.

Sebenarnya itu adalah acara rutin yang bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi ibukota yang genting dia sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi irup acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima common senes. Apalagi mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat Garnisun Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir.

Lebih mencurigakan lagi bahwa Kasum TNI Fahariur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad Prabowo menjadi irup di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Wiranto. Suatu kebetulan atau kesengajaan? Mungkinkah Wiranto sebagai Pangab tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi ibukota terjadi kerusuhan Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak komandan-komandan seperti Danjen kopasus, komandan Marinir, dll.

Sebenarnya Prabowo sudah berulang kali menghubungi Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “Show must go on”. Ini mirip dengan Soeharto tahu akan gerakan 30 September 1965 walakin sengaja tak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya.

Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima TNI Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Prabowo kemudian membantu pengamanan ibukota.

Pangkostrad Prabowo kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam. Tetapi sekali lagi Wiranto tak mau memberi bantuan pesawat Hercules sehingga Prabowo mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala.

Seharusnya jika negara dalam keadaan genting seperti itu panglima wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru tidak terlihat sedikitpun iktikad baik Wiranto untuk mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut.

Anehnya justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo sendiri sudah mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Wiranto membentuk Pam Swakarsa?

Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Uniknya belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa.

Mengapa Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan ‘sistematis’ toko-toko, justru Panglima TNI melalui Kasum Fahariur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan puan diperkosa, aset-aset pribadi dibumihanguskan sebisanya.

Bukti lain semakin mengarah kepada Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan Mei ‘98 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu Djalal. Melihat kondisi ibukota yang semakin tak terkendali, dia menyarankan untuk memberlakukan jam malam. Namun Wiranto tidak bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan kepada Wiranto saat itu. Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah bagian dari ‘rencana’. Makin terkuak disini bahwa Prabowo yang justru berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai pelaku kudeta.

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu murni spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan saat itu? Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi testimoni bahwa itu adalah bentukan Wiranto. Dia yang ditugasi perintah pembentukan Pam Swakarsa oleh Wiranto.

Wiranto memanggil Kivlan Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut Wiranto mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan menjalar. Tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat adalah bahwa kerusuhan itu terjadi ‘by design’, dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu.

Mengapa pada pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di Halim? Disaat yang sama kerusuhan terjadi bersamaan antara Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang persis bersamaan. Tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan dibawah komando yang sama.

Pada saat massa mulai menjarah di Jakarta disaat yang sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta sekaligus Solo? Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tetapi dilantai 2 ditampar dan disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum pintu ditutup dari luar.

Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar. Mungkinkah pelajar perguruan tinggi atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar? Atau ada pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi kekacauan yang memungkinkan pihak-pihak tertentu mengambil peranan?

Sebagaimana yang kita ketahui selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri akhirnya mempercepat proses pengunduran diri Soeharto dari tampuk kekuasaan. Lalu siapakah yang diuntungkan dari pengunduran diri Soeharto? Adakah Wiranto dkk atau Prabowo? Yang jelas sesaat setelah Soeharto pamit, Wiranto sebagai Pangab dengan mudahnya menghancurkan karier militer Prabowo.

Pengunduran diri Soeharto sendiri bukan karena demo. Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri. Peristiwa undur diri Soeharto dari istana itu sendiri lebih tepat dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (soft coup) yang memanfaatkan kemarahan rakyat yang merebak dimana-mana sebagai ‘pemicu’-nya.

Rupanya dalam suasana genting berakhirnya kepemimpinan Soeharto itu diwarnai pula oleh pertarungan yang muncul ke permukaan diantara para perwira ABRI. Akibat lemahanya kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab ditambah suasana yang tidak menentu. Masing-masing perwira berusaha mencari manfaat atas situasi tersebut.

Para perwira berusaha berinvestasi pada masa depan masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak solid dibawah satu komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri dan saling memendam prasangka satu sama lain.

Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari puspen (pusat penerangan) ABRI menjelang berakhirnya kepemimpinan Soeharto. Siaran pers yang walau dibantah langsung oleh Wiranto namun turut mempercepat proses pamitnya Soeharto.

Salah satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan terhadap sikap PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang mendukung Presiden Soeharto undur diri. Sebenarnya itu bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop surat dan tidak ditanda tangani.

Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat itu, SBY. Meski tengah malam itu juga Wiranto membangunkan seluruh perwira untuk menarik rilis itu dari seluruh media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar dan Soeharto yang tahu tentang ini semakin kehilangan pandangan terhadap kondisi lapangan, terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan Prabowo dan Wiranto karena dia menganggap Prabowo-lah yang mengadukan ini ke Presiden.

Tanggal 18 Mei Harmoko yang selalu ‘setia’ pada Soeharto akhirnya menjadi ‘Brutus’ dengan meminta Bapak Pembangunan Indonesia secara arif dan bijaksana untuk mundur. Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua DPR/MPR adalah semata-mata untuk mengamankan posisi dan peran Soeharto.

Sebelumnya Harmoko selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto. Bisa dikatakan dia memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun karena desakan pelajar perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, akhirnya Harmoko memilih untuk menyelamatkan diri sendiri.

Pernyataan Harmoko sebagai pemimpin MPR saat itu disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR dan masyarakat seluruh Indonesia. Walakin kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena sekitar pukul 23:00 WIB Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak pernyataan Harmoko itu.

Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan sebenarnya Soeharto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun dia ingin memastikan pasca mundurnya dia sebagai presiden tidak ada kekacauan yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa. Tanggal 19 Mei dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat yang dikenal sebagai ‘walisongo’, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll, minus Amien Rais.

Dalam pertemuan tersebut Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang akan menyiapkan pemilu. Kabinet ini dibentuk dengan formasi terdiri dari beberapa kalangan yang dianggap mampu merasakan rasa rakyat dan bisa ikut berperan menjadi penyelamat. Soeharto berharap seluruh orang yang terlibat dalam ‘rezim orde baru’ nrimo lan legowo undur diri untuk diganti kabinet sementara ini. Sayang, tak seluruhnya memahami harapan Soeharto, termasuk B.J. Habibie.

Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei, Wiranto mengadakan rapat di Mabes. Dalam rapat yang dihadiri para perwira tinggi militer itu kembali muncul perbedaan antara Prabowo dan Wiranto. Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at all cost).

Prabowo bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu? Apakah akan digunakan peluru tajam? Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan jelas oleh Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah, “Lindas saja mereka yang memaksa masuk Monas!” Kivlan Zein meminta Prabowo agar Amien Rais membatalkan rencana demo ‘sejuta umat’ di Monas. “Dari pada saya dimusuhi umat Islam lebih baik saya tangkap Amien Rais,” kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais membatalkan rencana demo di Monas.

Saat menghadapi Habibie, Prabowo berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo kepada Soeharto yang sebagai mertuanya. Selanjutnya Prabowo meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo merasa tidak punya masalah dengan Habibie.

Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali Prabowo menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya. Prabowo yang berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah dia ke Cendana. Celaka! Di sana malah sudah ada kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Soeharto dan putra-putrinya.

Rupanya disitu Wiranto ‘mengadukan’ tentang manuver Prabowo yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo dengan kasar sambil mengacungkan telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”.

Titiek, istri Prabowo, hanya bisa menangis, lalu dia pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo sudah dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Kepergian Ibu Tien memang sangat berpengaruh pada kestabilan batin Soeharto. Kisah cinta luar biasa mereka memang menakjubkan hingga perpisahan pun sangat dirasakan.

Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya. Sementara itu Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri ekuin di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi bagian dari Kabinet Reformasi.

Soeharto merasa benar-benar terpukul atas kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia ‘selamatkan’. Malam itu Soeharto terlihat gugup dan bimbang. Suatu kejadian langka. Namun disaat-saat penuh kekecewaan itu hadir sahabat-sahabat sejati yang menunjukkan kesetiaannya.

Malam itu hadir di Cendana para mantan wapres menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, dan Try Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Soeharto memanggil Yusril Ihza Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Wiranto. Dia menyampaikan bahwa besok akan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Esok paginya, Harmoko, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum menemui Soeharto di ruang Jepara.

“Ada dokumen lain lagi?” Tanya Soharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” Tutur Soeharto.

Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tetapi Soeharto melengos. Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie dan kembali ke ruang Jepara.

Kepada para pemimpin DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.

Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia.

Dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini ketika ikatan intim antar pribadi dua manusia berkelindan dengan posisi dan peran yang diamanahkan.

Sekitar pukul 23:00 WIB Prabowo dan Muhdi bertemu dengan Habibie di kediamannya untuk memberi dukungan pada presiden baru. Namun keesokannya pada tanggal 22 Mei, selesai Sholat Jumat Prabowo mendapat kabar mengejutkan. Bagai petir di siang bolong, Prabowo di Makostrad ditelepon Mabes AD, diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa jabatannya dicopot.

Prabowo mengingat perkataan Habibie jauh sebelumnya, “Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya, jangan pikirkan protokoler!” Maka Prabowo menemui Habibie yang sudah menjadi presiden dan berkata, “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya.”

Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan istana. Prabowo minta setidaknya tiga bulan di Kostrad. Habibie menolak.
“Tidak, sampai matahari terbenam Anda harus menyerahkan semua pasukan!”
Dari sini kembali terlihat, untuk kedua kalinya Prabowo dikalahkan oleh lobi dan pendekatan Wiranto.

Kelak, Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Habibie. Walakin kesalahpahaman apapun itu, Prabowo sudah terlanjur menjadi pihak yang dirugikan. Hancurlah karier militer yang begitu gilang gemilang.

Kita tak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto. Kita pun tak pernah tahu kalau memang ada kesengajaan melakukan miss-informasi terhadap Prabowo. Pasalnya pertarungan internal ABRI saat itu sedang memuncak. Salah satu dampak memuncaknya pertarungan tersebut adalah perjalanan Prabowo selanjutnya, yang selalu dirisak riak.