Kirana Tanpa Sirna


— sepanjang menggelinjang memahat maslahat

Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Godly Nationalism; Itz Spring Voice;

Penanggalan adalah alat ukur yang disepakati oleh setiap orang sebagai penentu kejadian di sekeliling mereka. Masyarakat Indonesia mengenal dua jenis penanggalan, yakni penanggalan Qomariyyah (berdasarkan peredaran Bulan) dan Syamsiyyah (berlandaskan peredaran Matahari). Hal ini kerap membuat kepelikan penyelarasan kedua jenis penanggalan tersebut. Kepelikan ini disebabkan penanggalan Qomariyyah memiliki dua cara penentuan, ialah hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan).

Karena penanggalan Islam didasarkan pada penanggalan Qomariyyah, maka tentu saja segala peristiwa-peristiwa keagamaan ditentukan berdasarkan penanggalan ini. Dengan demikian jadwal dapat ditentukan dengan dua cara penentuan pada sistem penanggalan Bulan tersebut. Padahal hasil dari masing-masing cara ada kalanya berbeda. Piranti keilmuan yang digunakan untuk menentukan jadwal penanggalan inilah yang disebut sebagai ilmu falak. Sementara orang yang memiliki otoritas dalam ilmu ini disebut sebagai ahli falak.

Satu kebiasaan buruk ketika terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam keseharian keagamaan masyarakat dengan hasil penentuan yang berbeda adalah munculnya pertikaian. Walau perbedaan yang ada tak selalu pantas berkelindan dengan pertikaian, tetap saja sulit dihindarkan. Terlebih lagi setiap pihak yang berbeda memiliki alasan penguat dari pandangan mereka terhadap landasan hukum yang biasanya juga dianggap kuat.

Pertikaian menjadi semakin ruwet (Jawa: rumit) ketika setiap pihak tersebut merasa muruahnya merendah seiring pandangannya tak diikuti oleh liyan (Jawa: orang lain). Lebih mengenaskan lagi, perbedaan pandangan terhadap cara penanggalan pada kerap dianggap sebagai perbedaan akidah. Keadaan sejenis demikian terus menerus menggerus kebersamaan bermasyarakat di Indonesia bahkan mungkin Nusantara.

Keadaan tersebut membikin masyarakat membutuhkan panutan yang patut dianut. The lead role model yang sanggup mengatasi riak dengan bijak tanpa membikin liyan merasa dirisak. Cara mengatasi yang sanggup diterima bersama dan dapat dipertanggungjawabkan pada semua. Berkaitan dengan urusan penanggalan, masyarakat Indonesia serta Nusantara memiliki salah seorang ahli falak mumpuni. Kemampuan mumpuni berpadu muruah tinggi membikin sosok tersebut layak diteladani. Sosok tersebut bernama Turaichan Adjhuri asy-Syarofi.

Mbah Tur—sapaan karibnyadilahirkan di Kudus, 10 Maret 1915, dari pasangan suami-istri Adjhuri dan Sukainah. Kudus memiliki lingkungan agamis dan tradisi belajar sepanjang hayat tanpa pernah musnah. Mbah Tur pun demikian. Sejak kanak-kanak, beliau terus belajar sebagaimana diwariskan oleh keluarga dan dihidupkan bersama teman-teman. Mengaji dan mengkaji kebiasaan dalam keseharian.

Pengajian dan pengkajian tak hanya dilakukan melalui pendidikan formal, juga melalui pendidikan tidak formal. Mbah Tur memang tak berpisah dari keluarga di rumah dengan ikut serta tinggal di asrama walakin gairah tak biasa membikin hasil belajar yang dilakoni beliau fenomenal. Terlebih beliau mendapat anugerah daya ingat berlipat dan kecerdasan di atas rata-rata.

Kecerdasan memudahkan beliau dalam menguasai perkara yang dipelajarinya. Sementara daya ingat membuat beliau tak begitu saja lupa pada perkara yang sudah dikuasainya. Alhasil, pendidikan formal hanya dilakoni tak perlu lama-lama, walau pendidikan tidak formal terus beliau lakukan sepanjang masa. Beliau tercatat sebagai assabiquna al-awwaluna (generasi pendahulu) di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus, baik sebagai pelajar, pengajar, pendidik, juga sosok ikonik yang timeless.

Semenjak madrasah legendaris tersebut didirikan, Mbah Tur sudah ikut serta memulai perjuangan bersama rekan-rekan. Perjuangan tak sebatas pada lingkungan madrasah, lingkungan masyarakat yang lebih luas pun sudah mulai dijamah. Beliau rajin ikut serta dalam beragam diskusi ilmiah juga menjadi tempat mencari jawaban beragam masalah. Ada kalanya banyak orang mendatangi beliau untuk berungkap keluh-kesah. Beliau selalu hadir di tengah kebersamaan dengan liyan tanpa pernah kehilangan muruah.

Perlahan malar, kiprah beliau tak sebatas pada lingkungan daerah. Kepiawaian beliau dalam mengungkapkan pendapat disertai landasan kuat membikin nama beliau dikenal hingga luar daerah. Beliau dikenal berani dalam berungkap pendapat setiap terlibat perbincangan dengan liyan tanpa merisaukan adanya perbedaan pandangan.

Gairah berdiskusi ilmiah tak hanya dimiliki ketika sedang bercengkerama bersama ahli yang lebih senior, bahkan bersama ahli yang lebih junior. Beliau merasa biasa saja ketika pendapat yang dilontarkan berbeda dengan ahli yang lebih senior sepertihalnya beliau juga biasa saja ketika pendapatnya berbeda dengan ahli yang lebih junior.

Kepada ahli yang lebih junior, beliau bahkan memberikan apresiasi tinggi pada ahli yang lebih junior ketika ahli tersebut sanggup mematahkan landasan yang diberikan. Tak sekedar mengapresiasi, juga sembari berpesan supaya tak perlu ewuh pakewuh (Jawa: sungkan) ketika terlibat perbincangan.

Dalam kancah politik beliau juga ikut terlibat aktif. Mulai ditunjuk beberapa kali menjadi panitia Ad Hoc oleh Pengurus Pusat Partai NU (ketika Nahdlatul Ulama menjadi partai) hingga masuk ke dalam lembaga legislatif.

Penguasaan disertai kebijaksanaan dalam memutuskan membikin beliau dipercaya menjadi hakim pusat sepanjang 1955 hingga 1977. Sebuah perjalanan yang patut ditiru untuk ditumbuhkembangkan selalu.

Walau memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, Mbah Tur lebih banyak dikenal oleh banyak kalangan sebagai ahli falak. Ketika terlibat dalam diskusi terkait falak, beliau dikenal tangguh dalam mengikutinya hingga tak jarang menghentak khalayak.

Hentakan beliau muncul terutama ketika Mbah Tur keukeuh pada pendapat beliau yang berbeda dengan liyan. Keberadaan beliau dalam tim Lajnah Falakiyyah PBNU tak serta merta membikin beliau menjelma sebagai yes man. Mbah Tur bukan sekedar keukeuh, walakin pendapat beliau memang banyak selaras peristiwa keseharian ketika dibuktikan. Hal ini membikin beliau semakin diperhitungkan.

Mbah Tur memiliki rekam jejak bagus ketika muktamar NU dihelat. Beliau hanya absen ketika ada udzur sedang tak sehat. Hanya saja belakangan beliau memilih memisahkan diri dari organisasi. Pilihan ini terjadi ketika terjadi perubahan yang tak lagi sesuai nurani. Perpisahan dari organisasi hanya dilakukan beliau untuk tingkat pusat. Sedangkan untuk tingkat cabang beliau tetap ikut serta terlibat. Keterlibatan beliau kemudian diwejangkan dengan istilah ‘Lokalitas NU’ atau NU lokal. Istilah ini bermakna tetap setia memperjuangkan organisasi NU dalam skala lokal tak termasuk nasional.

Perpisahan seperti itu membuat beliau tak merasa terikat dengan segala keputusan yang dibuat pusat. Termasuk ketika beliau memiliki perbedaan pendapat. Walau demikian, Mbah Tur menunjukkan sikap profesional dengan tetap menjalin keharmonisan secara personal. Ketika melontarkan pendapat, Mbah Tur menegaskan posisi beliau tanpa memaksa diterima komunal.

Hubungan beliau dengan aparat negara pun dilakoni secara profesional walau tak hanya sekali beliau dicekal. Pencekalan banyak bermula lantaran pernyataan beliau dianggap kontroversial. Seperti ketika pengumuman aparat negara pada tahun 1984 untuk berdiam diri di rumah tak boleh menikmati gerhana Matahari total.

Pengumuman yang menjadi cara aparat negara mengukur tingkat ketaatan rakyat ini justru ditentang. Tak hanya menentang melalui ungkapan, beliau bahkan mempersilakan masyarakat untuk menikmati gerhana Matahari secara gamblang. Hal ini membuat beliau harus menjalani masa-masa sidang.

Sidang tersebut justru akhirnya mempermalukan hakim lantaran saat itulah beliau tak ragu menyatakan bahwa beliau lebih tahu daripada hakim yang menyidang. “Pengetahuanmu tak ada setengahnya dariku, bahkan seperempatpun tak sampai,” ungkap beliau ketika dimintai keterangan dalam sidang.

Ungkapan Mbah Tur yang demikian memang arogan namun tidak sombong samasekali. “It's hard to be humble, when you're as great as I am,” kata Cassius Marcellus Clay, Jr, petinju yang digandrungi guru keren saya, Pak Muhammad Arifin Fanani.

Mbah Tur beralasan bahwa peristiwa gerhana Matahari adalah kesempatan langka untuk dinikmati bersama. Menikmati peristiwa ini tak menimbulkan bahaya, malahan dengan tegas Allah menganjurkan melalui firman-Nya. Diksi yang digunakan Allah dalam buku mulia al-Quran menggunakan kata ‘abshara’ yang bermakna melihat secara langsung dengan mata. Meski tak dimungkiri pemaknaan lain yang diberikan terhadap firman ini memang ada.

Penentangan berlandaskan pengetahuan dan keyakinan tersebut Mbah Tur wujudkan dengan mempersilakan masyarakat untuk membuktikan. Ketika beliau berkhutbah dalam rangka gerhana Matahari, di tengah khutbah beliau berungkap pada jamaah.

“Jika Kalian tidak percaya, silakan buktikan! Sekarang sedang berlangsung peristiwa yang dikatakan menakutkan. Silakan keluar dan buktikan bahwa Allah tidak menciptakan bala’ atau musibah darinya! Silakan keluar dan saksikan secara langsung!” ungkap Mbah Tur mempersilakan.

Jamaah yang penasaran pun berhamburan keluar untuk menyaksikan. Setelah beberapa saat, jamaah kembali ke tempat dan terbukti ungkapan Mbah Tur tak bisa disalahkan. Tak ada musibah yang menimpa mereka. Namun Mbah Tur tetap dimintai ‘pertanggungjawaban’ oleh aparat negara.

Seperti diungkapkan sebelumnya, beliau memiliki sikap profesional dalam melakoni keseharian bersama. Berulangkali dicekal aparat negara tak membikin Mbah Tur memiliki dendam pada mereka.

Ketika kebijakan aparat negara selaras dengan nurani beliau, dengan sepenuh hati beliau memberikan dukungan. Salah satu contohnya ialah dukungan beliau terhadap kebijakan pencatatan nikah oleh negara.

Mbah Tur mendukung kebijakan ini terus menerus bahkan hingga usia senja. Beliau memang dikenal getol menentang praktik pernikahan sirri walau sebagian kalangan menganggap perkara ini sah menurut aturan agama.

Mbah Tur berpendapat bahwa selama kebijakan aparat negara berpijak pada kemaslahatan bersama tanpa bertentangan dengan hal mendasar dalam agama, seluruh masyarakat harus menaatinya.

Dengan demikian, ketika umat Islam menaatinya, berarti menaati peraturan Allah. Kosok balinya ketika umat Islam melakukan pembangkangan terhadapnya, sama saja melakukan kemaksiatan terhadap Allah.