— menganyam ilmiah dan indah dalam sewajah
Judul Buku: Gadis Kretek
Penulis: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Akhir
Desember 2012, bulan yang menurut orang Jawa merupakan akronim gedhening sumber (maksudnya puncak hujan
deras), saya sempat jalan-jalan dan mampir ke toko buku Gramedia Merdeka. Toko
buku yang letaknya di-sanwich Banding
Indah Plaza (BIP) dan Bandung Electronic Center (BEC) ini merupakan toko buku
kesukaan saya di sini.
Kebiasaan
buruk saya saat jalan-jalan adalah tidak memiliki perencanaan, termasuk
jalan-jalan ke tempat perbelanjaan seperti toko buku. Karena tak memiliki
rencana hendak membeli buku tertentu, saya cuma melihat-lihat buku yang
dipajang dan kadang sesekali membuka bagian buku untuk dibaca sejenak. Ciyusss... cuma melihat bukunya, tidak
menikmati paras menarik kasirnya yang memang he’eh itu.
Di tengah lirak-lirik rak buku—bukan lirak-lirik teteh geulis di kasir itu—mata saya tak sengaja melihat sampul buku
bagus: puan memegang rokok. Dalam gambar tampak seperti gaya Madonna yang
belakangan ditiru Avril Lavigne dan Skrillex. Hanya karena gambar sampul
seperti itu, saya tertarik mendekati buku tersebut.
Gadis Kretek, judul yang segera terbaca. Tulisan “Novel Ratih
Kumala” dan logo penerbit PT Gramedia Pustaka Utama menjadi sasaran
selanjutnya. Gambar puan yang cenderung chubby
di tengah kerumunan warna merah yang mendominasi malah membikin saya teringat
pada Park Bom, kekasih saya yang tinggal di Korea Selatan itu.
Setelah
membaca sekilas secara acak, saya langsung mengambil novel berharga Rp. 58.000
itu untuk dimasukkan ke dalam keranjang belanjaan. Novel tersebut segera dibaca
setelah sampai di kosan, saat itu masih di Gang Cempaka No. 106. Langgam azam
2NE1 berjudul I Love You, satu-satunya
karya baru 2NE1 tahun itu, mengiringi saya saat menikmati sajian paduan kata
yang keren ini.
Langgam
pengiring membaca novel itu nyaris selalu I
Love You, diputar berulang-ulang tanpa bosan. Kadang juga diselingi dengan Paparazzi dan Girls’ Generation dan Volume Up dari 4Minute. Dengan iringan
musik yang puan banget, baik puan
kenes maupun fearless, suasana saat
membaca terasa klop. Saking klopnya, ketika tiga langgam itu diputar bisa
memantik ingatan saya yang lemah ini tenggelam dalam ingatan saat-saat
menikmati novel itu.
Sebagai naas kelahiran Kudus, tentu ada rasa
tersendiri ketika menikmati karya keren dengan menyertakan Kudus sebagai plot
penceritaan. Apalagi ceritanya tentang kretek,
karya agung masyarakat Kudus dan cara kreatif dalam pengobatan pernafasan.
Kudus dan Kretek adalah dua hal berlainan yang terus berkelindan. Walau tak
memiliki lahan tembakau dan cengkeh yang ‘masuk akal’, industri rokok di Kudus
terbilang fenomenal.
Pemaparan
ceritanya rapi dan rinci dengan gubahan kata-kata yang mengalir sampai akhir.
Cerita bermula dari Romo Raja yang tengah sekarat akibat stroke. Dalam igauan,
muncul nama Jeng Yah keluar dari bibir Romo. Ibu, yang 37 tahun mendampingi
Romo, tak urung cemburu karenanya. Mulut ibu pletat-pletot menggerutu, mangkel.
Tiga putra
Romo, Tegar, Karim, dan Lebas tergelitik untuk mencari tahu siapa Jeng Yah.
Perempuan ini pasti sangat berarti bagi ayah mereka. Ketiganya menduga Jeng Yah
hadir dalam kehidupan Romo jauh sebelum anak-anak Romo lahir, bahkan sebelum
Romo dan ibu menikah. Tapi menduga-duga saja tak menghasilkan apa-apa, harus
ada yang berani menanyakannya pada Romo atau pada siapapun yang tahu.
Walau
begitu, mereka sepakat untuk menyimpan rapat rasa ingin tahu itu dari ibu.
Mereka hanya penasaran lantaran selama ini tidak pernah terdengar nama Jeng Yah
tapi kok ujug-ujug keluar dari bibir Romo pada saat-saat gawat. Rasa
penasaran diimbangi rasa empati pada ibu hingga mereka memilih kesepakatan
tersebut. Ketiganya memahami bahwa mencari tahu tentang Jeng Yah melalui ibu
sama saja merisak kalbu sang ibu. Karena itu harus dicari cara lain untuk
menjawab rasa penasaran itu.
Binggo! Tanpa merentang waktu panjang, ketiganya segera
mendapat jalan. Keesokan harinya, dalam suatu percakapan bisik-bisik antara
Lebas dan Romo, Romo menyampaikan keinginannya bertemu Jeng Yah sambil
mberpesan, “… jangan bilang-bilang ibumu, ya. Ibumu pasti marah.”
Berbekal
restu Romo dan tanpa sepengetahuan ibu, ketiga putra ini bertolak bertolak dari
Jakarta ke Kudus. Di Kudus lah saksi bisu perjumpaan terakhir Romo dan Jeng
Yah. Menelusuri tempat berjuluk Jerussalem
van Java membawa mereka ke dalam time
travel penelusuran masa lalu keluarga. Masa ketika kretek Djagad Raja, pabrik rokok yang berada di
Kudus dan sekarang dipimpin Romo, belum lagi lahir. Pencarian bahkan hingga ke
Kota M, kota asal kakek mereka, Mbah Djagad.
Melalui Gadis
Kretek, Ratih Kumala yang orangnya cantik dan menarik, mengajak pembaca
mengenal rokok sebagai karya agung bangsa Jawa. Sebuah karya yang pantas
diapresiasi dengan terus mengembangkannya. Aroma tembakau, wangi cengkih, buruh
linting yang tiap akhir hari telapak tangannya tebal berlapis sari kretek,
gudang tembakau milik orang Tionghoa, dan persaingan usaha antarpabrik rokok gurem, dituturkan dengan rasa cinta pada
karya agung bangsa-bangsa di Nusantara.
Sejarah
panjang kretek bermula dari kelobot
yang digunakan untuk mengobati asma. Dari
kelobot, berkembang menjadi rokok kretek yang ditambahi saus rahasia dan
dilinting papier. Setiap industri rokok memiliki resep sendiri yang
hanya diketahui secara pasti oleh pemiliknya. Peniruan resep memang jamak
dilakukan, namun tak bisa benar-benar bisa menjiplak rasa aslinya.
Sejarah
panjang kretek juga disertai hal lainnya. Dari istilah bahwa rokok itu ‘diminum’
hingga kemudian berganti jadi ‘diisap’. Masa ketika rokok tidak diidentikkan
dengan apa pun, misalnya citra jantan, serta belum dibenturkan dengan isu
apapun, misalnya kesehatan dan agama. Malah pemasaran rokok pada mulanya hanya
dijual di apotik dan baru bisa dijual di pasar beberapa waktu kemudian.
Ngeses, istilah masyarakat Kudus untuk
merokok. Mbako untuk menyebut tembakau. Woor untuk cengkih. Dan tingwe
(linting dhewe), untuk rokok buatan sendiri, bukan rokok hasil
pabrikan. Dan beberapa bumbu yang diselipkan Ratih Kumala sehingga membaca Gadis
Kretek terasa seperti membaca khazanah negeri ini. Rasanya seperti membaca
sejarah singkat mengenai rokok sembari di-jlentreh-kan
istilah penting berkelindan yang harus diketahui.
Jeng Yah
sendiri adalah sapaan dari Dasiyah. Perempuan cerdas putri Idroes Moeria,
pemilik pabrik rokok kretek Merdeka!. Pesaing utama Merdeka! adalah
rokok kretek Proklamasi milik Soedjagad yang tak lain teman masa kecil Idroes
Moeria. Keduanya bukan sekedar teman, walakin terlibat satu ikatan persahabatan
cinta yang tulus. Hanya saja, kelindan persaingan membuat ikatan azam itu
terberangus.
Persaingan
Idroes Moeria dan Soedjagad bermula sejak mereka sama-sama bujangan dan
sama-sama memulai usaha kelobot. Apa pun terobosan yang dilakukan Idroes Moeria
selalu diikuti Soedjagad. Dari rasa kelobot, kemasan, merek, hingga pemasaran.
Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling luhur.
Selain
bersaing sebagai pelaku wiraswasta, dua laki ini juga jatuh cinta pada puan
yang sama. Tak semua kesamaan menjadi menjadi titik temu jitu, adakalanya
justru menjadi titik pisah. Puan yang digandrungi mereka bernama Roemaisa.
Idroes Moeria yang beruntung bisa menyunting putri Juru Tulis ini. Dari
pernikahan Idroes Moeria dan Roemaisa, lahirlah Dasiyah dan Rukayah.
Dasiyah
cakap sekali membuat tingwe. Tingwe bikinannya menjadi favorit Idroes
Moeria dan teman wajib minum teh poci di sore hari. Tingwe itu menjadi inspirasi Idroes Moeria untuk membuat satu merek
rokok kretek lagi yang lebih enak. Dari sekian percobaan meramu saus, akhirnya
saus buatan Dasiyah yang akan digunakan karena rasanya paling enak. Merek
dagang sudah dipilih, yakni Kretek Gadis,
dengan tagline ‘Sekali isep, gadis yang Toean impikan muncul di hadepan
Toean.’
Soedjagad
tak pernah jauh ternyata. Dia juga mengeluarkan merek rokok baru: Kretek
Garwo Koelo mengusung tagline
‘Kreteknya lelaki yang cinta istrinya.’ Kretek Soedjagad ini jeblok di pasaran.
Barangkali angan yang diberikan menjadi pemicunya. Jika mengisap Kretek Gadis, orang-orang diajak
berfantasi tentang perempuan muda nan cantik, Kretek Garwo Koelo (istri
saya) mengingatkan pada istri di rumah yang mungkin jarang dandan, pakaiannya nglombrot,
dan cerewet.
Jebloknya Kretek Garwo Koelo bukan berarti
menghentikan langkah Soedjagad menyaingi Idroes Moeria. Satu pintu tertutup
berarti ada lima jendela terbuka, mungkin itu yang dia anut. Persaingan dagang
jalan terus, bahkan dilanjutkan oleh generasi berikutnya, generasi Jeng Yah.
Satu runtutan kisah yang seru dirasa dan perlu dibaca. Hingga kini, novel ini
termasuk yang saya biarkan ada di Bandung lantaran saya masih suka membacanya.
Seperti menyimak langgam, tak bosan walau dilakukan berulang.
Saya rasa
novel ini digarap dengan riset yang serius. Data yang terpampang dalam novel
ini bagus dan bisa ditampilkan dalam balutan kata-kata yang keren. Pembaca bisa
menikmati novel dengan mengalir dan malah bisa-bisa tak sadar sedang menikmati
suguhan beragam informasi yang bagus mengenai rokok.
Ratih Kumala
adalah salah satu penulis yang menyajikan hasil penelitian melalui novel.
Menyampaikan hasil ilmiah dengan cara yang indah.