— more than a teacher and educator
Sesudah berpisah dalam ruang dengan
Pak Arifin saya sangat beruntung dengan segera berjumpa Buk Setiya Utari. The iron lady ini memiliki instuisi
tajam hadir untuk mewarnai sisi lain yang belum dielaborasi sebelumnya. Itulah
yang membikin Buk Utari masuk linikala yang ada nama Pak Zaini Sirojoan dan Pak
Muhammad Arifin Fanani.
Debut pertemuan saya dengan Buk
Utari terjadi pada 10 Agustus 2012 ketika saya ikut acara buka bersama dosen
dan staf Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI (Selanjutnya Pendidikan
Fisika). Saya ikut bersama Maryam Musfiroh, Uwais Al Qorni Akbar, Adi Lukman
Ghofir, Sherly Yulidarti, dan Lailul Munjidah setelah diajak oleh Pak Agus
Jauhari.
Harusnya debut pertemuan kami lebih
awal karena beliau memiliki jadwal mengisi matrikulasi. Sayang saat itu beliau
sedang berhalangan. Masa-masa matrikulasi lebih banyak memberikan peran psikis
alih-alih teknis. Secara pribadi, saya menikmati masa-masa ketika bisa memulai
interaksi intim dengan Maryam, Uwais, Adi, dan Sherly plus Lailul.
Bisa dibilang, pada masa-masa itulah
saya berupaya memahami mereka secara pribadi dan ragam batasan kami dalam
berinteraksi. Hingga akhirnya ketika perkuliahan dimulai, kami jarang
bercengkerama lama-lama, walau sejak Maret 2013 cukup rajin berkumpul di awal
dan akhir semester meski saya terpaksa absen dalam perjumpaan resmi terakhir ketika
nenek saya berada pada penghujung umur.
Dalam debut pertemuan tersebut, Buk
Utari memberikan pernyataan yang membuat saya ingin segera membuktikan.
“Tak ada
dosen di UPI yang lebih ramah pada mahasiswanya selain di Fisika,” ungkap
beliau ketika saya sedang berfoto bersama Pak Agus Jauhari.
“Iya tah Buk?”
tanya saya sembari menunjukkan raut wajah penasaran.
“Coba cari
saja,” begitu jawabnya.
Belakangan saya membuktikan bahwa
ungkapan Buk Utari memang tepat. Dosen di Pendidikan Fisika memang ramah dan
profesional. Mereka bisa terlibat interaksi intim dengan tetap semadyana (objective) dalam bekerja.
Dosen di Pendidikan Fisika bisa
hebat sebagai individu dan sebagai bagian tim yang padu. Suasana yang dibangun
sejak lama terus bisa dilantan dalam waktu panjang. Suasana hangat seperti ini
bisa memberikan kenyamanan sendiri bagi orang yang baru bergabung, entah
sebagai pengajar, staf, maupun pelajar di sini. Tidak mudah membangun suasana
interaksi intim yang sama-sama memahami batasan dalam kebersamaan.
Buk Utari dan saya bertemu lagi
untuk keempat kalinya pada 04 Oktober 2012 dalam acara kumpul PA (pembimbing akademik),
kumpul perdana antara dosen PA dan anak asuhnya. Pertemuan ini terjadi setelah
beberapa hari sebelumnya saya ‘memperkenalkan’ diri sebagai anak asuh. Oleh Buk
Utari, saya diminta untuk mengumpulkan teman-teman satu PA dan segera
mengadakan pertemuan perdana sebagai ajang perkenalan.
Pada masa itu, hanya Buk Utari,
dosen PA untuk angkatan saya, yang mengadakan pertemuan ini. Hal ini berdampak
sangat bagus bagi perjalanan kami—anak asuh beliau—selama perkuliahan. Buk Utari memiliki sederet
kesibukan yang memaksa tak selalu bisa bertemu anak asuhnya setiap saat.
Pertemuan perdana PA ini juga menjadi ajang pemberian sederet pesan dari Buk
Utari kepada anak asuh beliau*).
Kalau dirunut, pertemuan perdana PA
itu sebagai pertemuan keempat. Pasalnya sebelumnya beliau menjadi pengisi acara
ketika masa orientasi kampus (Moka) yang menjadi pertemuan kedua kami, serta
pertemuan ketiga terjadi pada saat saya ‘memperkenalkan’ diri.
“Kita harus bersyukur telah diberi
kesempatan menimba ilmu di UPI, terutama yang mendapatkan beasiswa. Untuk itu,
sebagai bukti dari rasa bersyukur itu, kita harus bekerja keras, memanfaatkan
yang ada untuk mengeruk ilmu yang ada di UPI ini. Tak boleh malas. Dengan
begitu, kesempatan yang didapatkan tak terbuang sia-sia.”
Salah satu pesan yang diisampaikan
pada 04 Oktober 2012 di Laboaratorium Fisika Lanjutan I dalam acara kumpul
perdana dengan anak asuh akademik tersebut bisa mengakar meski dirasa sebagai
klise. Barangkali karena diberikan dari hati oleh orang yang sudah membiasakan
bersikap seperti itu, jadi bisa sampai ke hati penerimanya dan mengendap.
Dalam pertemuan perdana PA itu,
beliau langsung tampil keras dan agresif. Beliau, yang juga menjadi ketua
program studi Pendidikan Fisika, berkata kepada anak asuhnya apa yang dituntut
departemen dari kami.
Itu awal yang bagus. Salah satu
bagian utama dalam hubungan guru dan siswa adalah bahwa guru harus membuat
siswa bertanggung jawab atas tindakannya, kesalahannya, tingkat penampilan, dan
hasilnya. Kita semua ada pada zaman yang mementingkan hasil. Hasil yang
maksimal dan konsisten bisa diperoleh melalui proses yang dibiasakan.
Di luar urusan akademik, Buk Utari
adalah sosok yang tenang. Beliau rajin menyapa dan kami bisa bercakap-cakap
mengenai banyak hal. Beliau orang yang ramah. Tetapi, kalau sudah menyangkut
urusan akademik –pada masa-masa perkuliahan– beliau benar-benar beda.
Saya selalu dapat mengerti posisi
Buk Utari. Saya dapat mengerti perubahan drastis pada diri beliau begitu “kick
off” kuliah dimulai. Sebagai pendidik, beliau ingin anak-anak didiknya
tidak menjadi orang biasa. Terlebih bagi saya yang notabene menjadi anak asuh
beliau.
Buk Utari tidak akan membuat anak
didiknya bersantai-santai. Beliau akan memarahi kami kalau prestasi kami turun.
Beliau selalu ingin anak-anak didiknya tampil maksimal dengan terus menjaga
semangat kemauan. Ketika kemauan sudah ada, pasti hasilnya maksimal. Kalau
tidak maksimal, kemauan belum ada atau kalau diklaim sudah ada hanya nonsense.
Ketika berbicara dengan saya yang
prestasinya tak sesuai harapan, boleh jadi beliau berkata: “Itu tadi sampah,”
tetapi, beliau melanjutkan dengan, “untuk ukuran orang seperti kamu.”
Lanjutannya ini berfungsi untuk membantu saya bangun sesudah pukulan awal. Teguran,
lalu diimbangi dengan sanjungan. “Kenapa kamu berbuat seperti itu? Kamu bisa
lebih baik.”
The Choosen One — more than a teacher and educator |
Buk Utari rajin mengembangkan penguasaan
terhadap bidangnya. Tidak masuk akal apabila anak asuh diberi kesempatan
berkata kepada diri sendiri, “Guru tidak mengerti apa yang saya katakan.” Jika
siswa kehilangan kepercayaan kepada pengetahuan gurunya, maka mereka pun akan
kehilangan kepercayaan kepada guru. Penguasaan terhadap bidang yang digeluti harus
selalu dijaga dan dikembangkan sepanjang waktu.
Dari sudut pandang saya, Buk Utari
orang yang konsisten menjaga tujuan awal kami di Pendidikan Fisika: kuliah.
Beliau tidak pernah melarang anak didiknya mencari minat di luar. Ketika masih
kuliah dulu beliau juga aktif di organisasi himpunan. Tetapi kewajiban kami
adalah kuliah, tak ada keraguan soal itu.
Kita boleh saja memiliki minat di
luar: saya suka membaca buku selain Fisika dan menulis serta nonton 2NE1, Josua aktif di organisasi
dan ngobrolin Manchester United, satu
dua teman saya suka aktif dalam kegiatan pengembangan bakat. Tetapi jangan
sampai minat di luar itu mengganggu kuliah kita.
Tujuan utama, yang juga menjadi
kewajiban saya di Pendidikan Fisika adalah kuliah. Mau tidak mau harus saya
jalani semaksimal mungkin. Untuk minat di luar, sifatnya hanya ke-sunnah-an
saja, boleh ditanggalkan terutama ketika sudah menghambat kewajiban.
Buk Utari memang seorang dengan
energi, keberanian, dan darah yang panas, dengan naluri tajam pada pendidikan ilmu
alam dan strateginya. Beliau menjadi orang yang banyak berpengaruh pada saya
sejak kami memulai kebersamaan kami. Buk Utari mengambil alih banyak tanggung
jawab untuk memastikan bahwa diri saya tetap penuh semangat. Saya tidak bisa
mengesampingkan bantuan semacam itu dari beliau.
Saya butuh kepercayaan diri, sedikit
keberanian. Buk Utari tak pernah takut apapun, beliau orang yang perkasa.
Beliau bisa diajak memandang beragam sisi permasalahan. Beliau tidak hanya
mempertimbangkan dirinya, tetapi juga ada yang lain. Dan itu bagus untuk saya.
Contoh bagusnya adalah ketika beliau memberikan buku teks standar tentang fisika
untuk perguruan tinggi.
Ada banyak buku standar yang ditawarkan,
tetapi kalau pada saya, Buk Utari lebih menyarankan buku fisika yang ditulis
Douglas Giancoli. Meski saya lebih sering melihat Buk Utari memakai buku fisika
yang ditulis oleh penulis lain.
Menguasai satu buku standar adalah
langkah awal dalam belajar. Semua buku fisika isinya sama saja, yang beda
adalah pendekatannya. Buku yang ditulis Giancoli menggunakan pendekatan
konseptual yang cenderung memakai operasi matematika sederhana. Saya nyaman
menggunakan buku ini.
Buku yang ditulis Giancoli juga menggunakan
bahasa yang sederhana dan enak dibaca. Pendekatan dan bahasa yang tak cocok
sering berdampak pada rasa bosan yang muncul. Dan Buk Utari—entah bagaimana caranya—senantiasa
menghindari dua perkara ini,
yang membuat pertemuan dengannya tak pernah membosankan.
The Choosen One — more than a teacher and educator |
___________________________________________________________________________________________
*)
Pesan dari Bu Utari saat kumpul perdana PA adalah:
Bersyukur
Kita harus bersyukur telah diberi kesempatan menimba
ilmu di UPI, terutama yang mendapatkan beasiswa. Untuk itu, sebagai bukti dari
rasa bersyukur itu, kita harus bekerja keras, memanfaatkan yang ada untuk
mengeruk ilmu yang ada di UPI ini. Tak boleh malas. Dengan begitu, kesempatan
yang didapatkan tak terbuang sia-sia.
Kuasai Konsep-Konsep
Fisika dan Bahasa Inggris
Dua hal ini tak bisa ditawar lagi. Ini sudah batas
minimal yang harus kita kuasai. Menguasai konsep-konsep Fisika, berarti harus
bisa menghubungkan segala yang ada di dunia ini dengan konsep-konsep Fisika.
Selain itu, untuk dapat berkomunikasi dengan baik, harus menguasai Bahasa
Inggris. Karena bahasa itu adalah bahasa internasional.
Siap Menerima
Kesempatan Mendadak
Terkadang kesempatan bagus datang mendadak. Mau tak mau
kita harus menerimanya dan mampu memanfaatkannya. Mungkin kesempatan yang sama tidak
akan kita temui lagi.
Gizi Bagus dan
Istirahat Cukup
Dengan gizi yang bagus, selain tubuh sehat, pikiran juga
OK. Tak usah mahal-mahal, yang penting kebutuhan gizi terpenuhi. Istirahatpun
demikian. Istirahat cukup bukan berarti banyak tidur. Tidur maksimal 3 jam
sehari. Biarpun sedikit, namun asal efektif, pasti istirahat tetap cukup.
Posisikan Diri
Sebagai Pemangku Kebijakan
Dengan ini, kita bisa menjalankan kebijakan sesuai
keinginan kita. Tentunya tetap bertanggung jawab. Untuk itu, kita harus membuat
orang lain percaya pada kita dan kita harus bisa dipercaya serta bisa bekerja
sama dalam tim.
Harus Aktif
Tak boleh malu jika belum tahu. Apapun yang terjadi,
kita harus bisa tahu, tak boleh tidak.
Belajar Untuk
Mengabdi
Kita harus selalu bisa mengabdi, baik untuk agama,
negara, maupun masyarakat. Ujung-ujungnya persembahkan yang kita lakukan dan
usahakan pada Tuhan.
Profesional
Di mana saja dan kapan saja kita harus profesional. Tak
boleh subjektif, harus objektif. Dengan begini, di manapun kita berada kita
akan melakukannya semaksimal mungkin, minimal sesuai target.
IPK Minimal 3,4
Selain dengan belajar, harus sering konsultasi dengan
dosen dan pakar. Buku text yang
disarankan juga harus punya sendiri. Untuk masalah buku, jangan pelit. Anggaran
untuk buku tak terbatas. Selama masih punya uang buku harus punya.
Jangan Jadi Orang
Biasa
Dengan menjadi orang luar biasa, sejarah akan mencatat
kita. Selain untuk diri sendiri, kita harus bisa jadikan orang lain luar biasa.
Pesan yang diisampaikan
pada 04 Oktober 2012 di Laboaratorium Fisika Lanjutan I dalam acara kumpul
perdana dengan anak asuh akademik ini bisa mengakar meski tampak klise.
Barangkali karena diberikan dari hati oleh orang yang sudah membiasakan
bersikap seperti itu, jadi bisa sampai ke hati penerimanya dan mengakar kuat.