— more than a teacher and educator
The Special One — more than a teacher and educator
|
Ibuk kadang mengingatkan saya saat
masih balita dulu pernah bilang begini dan begitu. Antara lain adalah keinginan
saya untuk nyantri sambil sekolah di
TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah) saat aliyah.
Pernyataannya saat itu seperti ini, tidak dibalik, dan sudah menyebut
tingkatan. Mungkin karena Bapak cerita tentang rekam jejak selama sekolah, saya
jadi kepingin menikam jejaknya.
Sempat hampir rusak runutan
pernyataan saat balita pada 2005 ketika timbul hasrat mblenjat—meloncat—dengan ingin nyantri
saat MTs. Lalu terjadi keraguan hingga sempat ada grenengan—perkara yang dipendam dalam batin—untuk sekolah di MTs desa saya saja. Akhirnya runutan pernyataan saat
balita benar-benar mewujud. Memula sekolah di MI Thoriqotus Sa’diyyah
dilanjutkan di MTs Miftahul Falah, saya akhirnya nyantri di MUS-YQ sembari sekolah di MA TBS.
Pernyataan ini memang arogan dan bisa
jadi tak kekinian dan kedisinian. Hanya saja Pak Muhammad Arifin Fanani,
pengasuh MUS-YQ, adalah satu-satunya alasan saya di MA TBS. Andai MUS-YQ
menerima santri yang sekolah di luar TBS, lain cerita bisa jadi. Ibuk dan Bapak
me-warning saya satu hal saja: tidak
boleh dikeluarkan dari pondok. Anyway,
di tempat saya, kata ‘pondok’ kalau dimutlakkan merujuk pada ‘pesantren’, dan
saya lebih suka menyebut seperti ini karena terhindar dari huruf R—entah mengapa Allah menciptakan huruf R dan cadel.
Sebenarnya semangat saya untuk nyantri
pada tahun 2009 sudah beda dengan tahun 2005. Tahun 2005 bisa dibilang
menggebu-gebu tetapi akhirnya dilarang oleh orangtua. “Belum cukup modal
pengalaman terlibat pergaulan dengan perempuan,” tutur Ibuk saat itu. Tapi di
tahun 2009 nyaris tak ada kemauan samasekali untuk nyantri. Bahkan
melanjutkan sekolah di madrasah pun sudah ogah. Tak cuma madrasah swasta,
madrasah negeri pun sudah tak mau.
Saya ingin merasakan atmosfer yang
berbeda. Selama di MTs, pergaulan intim saya justru banyak dengan anak-anak
SMP. Setelah sejak MI hingga MTs hanya merasakan atmosfer madrasah saja, pada
masa SMA ingin merasakan atmoesfer non-madrasah. SMA Kuburan Kembar adalah
incaran utama. Malah mungkin hanya satu-satunya. SMA Negeri 1 Bae adalah
rencana cadangan.
Alasan ‘masuk akal’ yang saya
sampaikan pada orangtua dalam obrolan enam mata saat itu adalah saya ingin
fokus pada pelajaran ilmu alam, khususnya fisika. Tapi alasan ‘masuk akal’ ini
akhirnya dibantah dengan argumen yang ‘masuk akal’ juga. Orangtua mengingatkan
saya kalau dulu saya pernah ngebet ingin nyantri. Mereka berdua
pun berkata kalau sudah lulus MA, saya dibolehkan untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi negeri dan mengambil program studi fisika.
The Special One — more than a teacher and educator |
Saya menolak keinginan orangtua saya
kala itu dan membantah mereka dengan beberapa alasan. Salah satunya saya bilang
kalau saya akan kesulitan masuk perguruan tinggi dalam program studi fisika
kalau sekolah menengah atas kembali di madrasah. Pelajaran di madrasah sangat
banyak dan kurang serius memperhatikan ilmu alam. Selama 9 tahun, saya habiskan
sekolah saya di madrasah, mulai MI sampai MTs, dan rasanya saya perlu merasakan
pengalaman lain dengan tidak bersekolah di madrasah.
Belum ada titik temu saat itu. Lalu
saya menelepon Tata pada malam hari. Bercerita seputar apa yang terjadi pada
hari itu. Tata bilang ke saya, lebih baik menuruti apa kata orangtua saja.
Selain karena mereka yang membiayai sekolah saya, juga tak baik melawan
orangtua. Saran darinya sangat mengena buat saya. Pasalnya dia adalah pelajar
non-madrasah, awalnya di SD lalu melanjut ke SMP. Sebagai penambah hiburan dan
penumbuh harapan, Tata bilang kalau anak MA lebih baik daripada anak SMA.
Sampai pada detik-detik terakhir
sebelum menginjakkan kaki di pesantren, saya masih terlibat obrolan dengannya
melalui telepon. Dia tampaknya tahu kalau saya sedang tak enak menjalaninya
sehingga dengan gencar menghibur saya. Tata kerap berperan sebagai ‘penjungkir
balik’ keadaan dengan elegan. Obrolan dengannya tak istimewa, karena semua
orang bisa melakoninya. Walau begitu, selalu ada sisi lain yang diberikan saat
terlibat bacot-bacotan.
Alhasil, sampailah saya ke MUS-YQ
pada Senin sore. Pondok pesantren yang namanya akronim dari Ma’hadul Ulumisy
Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an. MUS-YQ memiliki dua pengasuh, Pak Arifin (Muhammad
Arifin Fanani) dan Pak Fauzi (Hasan Fauzi). Bedanya kalau Pak Arifin bermukim
di lingkungan pesantren sedangkan Pak Fauzi bermukim di luar pesantren. Tapi
saya lebih dulu tahu dengan Pak Fauzi dan sama sekali tak tahu menahu dengan
Pak Arifin. Baru pada D-Day Senin
sore itulah saya tahu mengenai Pak Arifin.
Sowan—kunjungan—perdana dengan orangtua saat itu secara simbolis
‘menitipkan’ saya pada Pak Arifin. Obrolan kami cukup lama dan kebetulan tak
ada orang lain selain saya, Ibuk, Bapak, Pak Arifin, dan istri beliau. Sialnya,
dalam start tersebut orangtua saya memberitahu rekam jejak kelam saya
pada Pak Arifin. Semua rekam jejak kelam yang sebagian besar selama MTs serta
daftar sakit yang sering didera diberi tahu.
“Kalau masih
rewel tinggal dikeluarkan saja pak,” ungkap Ibuk dengan santainya.
“Asal tak
macam-macam saja di pondok ini. Hati-hati lah sama keamanan pondok,” ungkap Pak
Arifin sambil tersenyum melirik pada saya.
Saya mencoba menduga-duga dibalik
pelarangan saya nyantri pada 2006 dan pemaksaan untuk nyantri
pada 2009. Pada masa-masa sebelum 2006, sisi ‘Islamis’ saya sangat kuat. Saking
kuatnya tak mau bergaul dengan orang ‘kafir’ dan ‘sesat;. Kalau bergaul dengan
mereka seringkali melahirkan ‘debat kusir’.
The Special One — more than a teacher and educator |
Daripada mengijinkan saya belajar
agama dengan rinci sejak dini, orangtua justru menyuruh saya belajar menjadi
manusia dulu. Tata saja diawal perkenalan dengan saya kerap menganggap saya
adalah orang yang agamis. Saya memperkirakan kalau 2006 saya diijinkan nyantri
sekarang saya menjadi bagian dari anak-anak ‘Islamis’. Ciiyyyuuuusssss......
Orangtua juga keukeuh meminta
saya nyantri di MUS-YQ. Ibuk malah mengajak taruhan kalau saya tak boleh
dikeluarkan dari pondok. Padahal kalaupun saya dikeluarkan dari MUS-YQ, tak
serta merta membuat saya dikeluarkan dari MA NU TBS. Ini tak bisa dibalik.
Pilihannya sudah sangat sempit. Mungkin mereka menyadari kalau hanya Pak Arifin
saja yang mampu menggarap saya.
Pak Arifin memiliki daya ingat
berlipat dan peduli pada santrinya. Lebih jauh lagi peduli pada semua orang.
Saya sendiri merasakan ‘sentuhan’ hangat orang yang sudah diberi tahu rekam
jejak kelam saya sejak debut pertemuan kami. Beliau juga mendidik saya
bagaimana cara memilih guru. Ini hal yang krusial lantaran salah memilih guru
bisa berakibat fatal.
Salah satu contoh bagus dalam
menggambarkan kepedulian beliau adalah ketika saya tertidur pulas di luar kamar
pada malam hari. Beliau memiliki kebiasaan kalau tengah malam bersih diri.
Hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya tak bisa membangunkan saya. Dengan
tampak memaksa beliau membangunkan saya yang sudah berselimut hangat dan
meminta saya pindah ke kamar.
“Kamu tuh
gampang sakit, jangan tidur di luar lagi,” kata beliau ketika mata saya masih
remang-ramang.
Di luar itu masih banyak lagi hingga
officially saya meninggalkan MUS-YQ.
Meninggalkan MUS-YQ dalam ruang untuk pindah tempat sebagai usaha untuk bisa
berkembang. Setelah melalui masa-masa nyantri di MUS-YQ, akhirnya saya
bersama orangtua sowan untuk ‘pamitan’. Dan dalam resepsi perpisahan ini
beliau mengeluarkan pernyataan yang sangat lucu bagi saya.
Ketika ada anak yang akan meminta
tanda tangan beliau untuk melengkapi surat pernyataan terakhir, beliau bilang
sambil tersenyum ke arah saya, “Lihat tuh kakak kelasmu yang 3 tahun di
sini tak pernah di-ta’zir.” Untung pernyataannya tidak pernah di-ta’zir,
bukan tidak pernah melanggar. Kalau pernyataan kedua yang dikeluarkan, jelas bukan
pernyataan bagus untuk saya tanggapi.
The Special One — more than a teacher and educator |