Dari Yuli Hingga Julia


— memuji yuli, memuja julia

Yuli Rachmawati; Yuli; Rachmawati; Julia Perez; Julia; Perez; Jupe; Jupenizer; Jupe Army; Kirana Azalea; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; Alobatnic; Pelantan; Santri Scholar; Santri; Scholar; Menjilati Yuli; Dari Yuli Hingga Julia;

Buat sebagian orang, Yuli Rachmawati yang biasa disapa Jupe hanyalah penghibur (entertainer). Bagi sebagian orang, Jupe adalah makhluk Tuhan paling istimewa yang senantiasa dicinta tanpa pernah luntur. Sedangkan untuk sebagian lainnya, Jupe adalah seorang wanita dengan kesan cemar yang mereka pandang lacur.

Walau begitu, kalau mau jujur mengakui, Jupe adalah media darling. Jupe seperti memiliki daya pikat tersendiri sehingga sanggup membuat media nyaris tak berpaling. Sepanjang kariernya sekitar satu dekade ini, banyak hal mengenai Jupe mudah didapati. Dengan mengetik kata kunci “Julia Perez” di mesin pencari. Melalui Google misalnya. Mau Google News, Google Images, hatta Google Scholar sekalipun, nama Jupe senantiasa ada.

Pada pencarian “Julia Perez” di mesin pencari tersebut yang bisa diperiksa melalui Google Trends menunjukkan bahwa Jupe memang banyak dicari maupun diproduksi oleh pengguna media daring (dalam jaringan, online). Belum lagi kalau kita mencarinya melalui anak asuh Google, YouTube, yang niscaya didapatkan video Jupe ke toilet dikawal asisten pun menjadi bahan posting.

Dari seluruh bentuk pencarian, Google Scholar adalah bagian paling menggembirakan. Secara singkat Google Scholar adalah layanan menyediakan bahan terbatas berupa tulisan yang diakui secara keilmuan. Dibanding bagian pencarian Google, Google Scholar memang terbilang lebih sepi peminat. Namun layanan ini saya suka lantaran bisa menyaring tulisan picisan. Malahan seiring mudahnya setiap pengguna media daring menerbitkan tulisan, gairah membuncah mencari melalui Google Scholar semakin menguat.

Banyaknya tulisan mengenai Jupe yang didapat melalui Google Scholar membuat saya senang. Saya sendiri adalah penggemar berat Jupe sejak awal kariernya dengan kekaguman yang tak pernah berkurang. Ketika sosok yang selama ini dikagumi bisa ikutserta memberi peranan, tentulah hal ini wajar. Terlebih ketika sosok tersebut lebih kerap dipandang cemar.

Hadirnya Jupe dalam Google Scholar, meskipun sebagai bahan kajian, menunjukkan kalau wanita kelahiran Jakarta Timur, 15 Juli 1980 ini bisa dinikmati dengan segala cara. Mau sekadar memuji atau mencaci seadanya hatta mengapresiasi semadyanya, bisa. Hendak menikmati ukuran kesintalan badan Jupe, juga bisa. Bahkan kalau mau menjadikan Jupe sebagai sarana menerapkan ilmu yang dimengerti, semuanya bisa. Tinggal kita sendiri yang memilih dengan cara apa menempatkan seorang wanita bernama Julia.

Kasus Jupe dengan Dewi Murya Agung (Dewi Perssik atau Depe) dalam proses pembuatan film Arwah Goyang Jupe-Depe misalnya. Film tersebut terbilang memiliki brand tersendiri yang tak pernah sirna. Memang hanya horor biasa saja, yang melibatkan dua penghibur papan atas Indonesia. Namun kasus perkelahian dua penghibur yang sama-sama memiliki kelompok penggemar besar ini cukup menyedot perhatian massa.

Beberapa berita muncul, mengabarkan setiap penggal bagian yang ingin disajikan. Ragam ungkapan timbul, berupa sanjungan hingga cibiran. Namun ada juga yang menjadikan kasus ini sebagai bahan kajian intellectual. Mereka memilih melihat kasus ini sebagai sarana supaya kajian keilmuan dengan keseharian sosial tidak seperti terpenggal.

Saya sendiri, sebagai recreational author yang menggemari Jupe, belum menghadirkan dirinya dalam Google Scholar. Secara pribadi baru dengan menulis article popular. Artikel tersebut diberi judul Menjilati Yuli. Sebagian orang yang tahu bahwa saya adalah Jupenizer (semat penggemar Jupe) memang kerap menyebut seperti ini.

Karena saya lebih mudah menikmati paduan kata ketimbang ungkapan lainnya, saya pun menyempatkan diri menulis Membaca Julia, catatan sekadarnya mengenai buku JUPE: My Uncut Story. Sebuah buku karya Jupe dengan bahasa sehari-hari dan intim laiknya sebuah diary. Saya senang Jupe sempat menulis buku mengenai dirinya walau sebagian besar berisi pelurusan segala semat yang didapat. Dengan menyampaikan sendiri secara tertulis, nilai pernyataan lebih kuat dan sanggam terpahat.

Sebagian orang boleh menganggap saya melakukan pekerjaan sia-sia. Sesekali duduk terpaku selama beberapa waktu, menikmati beragam jenis sajian unjuk rasa yang dihadirkan atau menyinggung nama seorang Julia. Betapa tololnya mengabdikan mata demi menikmati sajian dari sesama manusia biasa yang derajatnya tampak setara (walau mungkin martabatnya beda)?

Tapi tahukah mereka bahwa menikmati sajian tersebut merupakan peristiwa yang sangat bermakna buat saya. Satu peristiwa yang memberikan sebuah penghiburan, menyuntikkan sejumlah pengharapan. Satu peristiwa yang bisa mencairkan sukma ketika rasa lara gundah gulana didera. Satu peristiwa yang bisa memperingatkan diri ketika dihinggapi rasa kesombongan.

Saya kagum pada Jupe antara lain ketika dia menunjukkan kasih sayang dengan gamblang. Cara Jupe menempatkan diri menunjukkan kalau dia lebih melihat manusia dari sisi martabatnya sebagai orang ketimbang kegunaannya sebagai barang. Wajar kalau Diana Anastasia, asisten pribadinya, tetap loyal. Keduanya juga bisa terlibat interaksi intim hingga Jupe menyebut Diana sebagai sahabat dekat. Hubungan keduanya tak sebatas pada financial. Malahan hampir tanpa sekat.

Mungkin buat sebagian orang menjadi asisten pribadi—termasuk untuk penghibur bahadur sekalipun—adalah pekerjaan tak enak yang merendahkan harga diri. Namun bagi sebagian lainnya, menjadi berkah tersendiri. Hubungan antara penghibur dan asisten adalah saling menguntungkan. Dengan memiliki asisten pribadi, penghibur bisa fokus pada karier yang diretas sementara asisten pribadi bisa mendapat pekerjaan.

Keberhasilan seorang penghibur (entertainer) tak bisa dilepaskan dari peran seorang asisten pribadi. Keduanya perlu untuk bisa saling berpadu menjalankan tugas yang perlu dilakoni. Ketika asisten pribadi bisa berunjuk kerja maksimal, penghibur bisa berunjuk penampilan optimal. Dari sini kemudian mereka berbagi penghasilan financial.

Karena industri hiburan bersifat fluktuatif, tak semua asisten pribadi betah lama-lama aktif bekerja pada penghibur yang memberinya pekerjaan. Tak sedikit pada penghibur yang ditinggal kabur oleh asisten pribadi mereka ketika majikan mulai sepi tawaran. Apalagi ramai atau sepi tawaran, pekerjaan asisten pribadi tetaplah sama. “My words is your jobs,”  sejenis demikian kira-kira ketika penghibur berkata pada asisten pribadinya.

Namun kecenderungan kabur ketika penghibur menganggur tak menggempur Jupe, yang beruntung memiliki Diana. Sebagai seorang asisten pribadi, Diana selalu setia pada Jupe, tak hanya saat Sang Nyonya sedang berjaya, namun ketika dirinya merana. Sejak awal karier Jupe di industri hiburan ketika belum memiliki nama besar, Diana sudah berperan sebagai asisten pribadi. Tentu tak sekadar mendampingi, dirinya harus siap siaga mendapat perintah yang Sang Nyonya beri.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun Diana tak pernah gusar. Diana sadar bahwa Jupe telah berjasa membuka jalan untuk memenuhi kebutuhan. Sementara Jupe juga mengerti peran Diana sepanjang perjalanan. Hingga saat ini, Diana tetap tegap setiap mendampingi Jupe. Semua tugas dari Jupe masih terus dilakukan dengan enjoy.

Wajar kalau Jupe sendiri, terutama Sri Wulansih (mama) sangat terharu memiliki Diana. Della dan Anggia, dua adik Jupe, juga terpesona dibuatnya. Malahan bagi para penggemar Jupe, Diana memiliki tempat tersendiri. Oleh para Jupenizer, Diana adalah salah satu sosok yang sangat dihormati.

Pengalaman menggemari Jupe turut berperan dalam memudahkan saya mencerna bacaan. Misalnya bacaan karya Farid Esack berjudul The Quran: A User’s Guide, yang sebenarnya mengkaji Alquran. Farid melalui buku ini memetakan hubungan seseorang dengan Alquran ke dalam enam macam. Pemetaan yang diibaratkan hubungan antara pecinta (lover) dan kekasihnya (beloved) ini, buat saya, sudah cukup menjadikan nama Farid bisa sanggam.

Bentuk pertama, yaitu the uncritical lover (pecinta buta). Mereka yang tergolong ke dalam bentuk ini memperlakukan Alquran sebagai kitab sakral. Bentuk pertama ini mengukuhkan kesucian Alquran tanpa kajian. Sehingga mereka merasa tak perlu mempertanyakan apapun dalam Alquran dan tak pernah tahu apa makna dan kegunaannya.

Bentuk kedua adalah the scholarly lover (pecinta ilmiah). Para Pecinta Ilmiah berupaya melakukan kajian untuk memperkaya pemahaman mengenai Alquran. Melalui pemahaman ini mereka berupaya menjelaskan mengenai keistimewaan-keistimewaan Alquran sembari mengajak agar setiap pihak menerima keistimewaan tersebut. Bentuk kedua ini berupaya mengukuhkan kesucian Alquran dengan argumen ilmiah.

Bentuk ketiga adalah para the critical lover (pecinta kritis). Pecinta kritis tak ragu bersikap kritis atas beragam permasalahan yang termuat di dalam Alquran. Pecinta kritis berusaha memberikan pemahaman lain mengenai Alquran. Sehingga seringkali para penafsir dalam seperti ini mendapat kecaman dan kerap dipertanyakan rasa kecintaannya terhadap Alquran.

Bentuk keempat adalah the friend of lover (kerabat pecinta). Kerabat pecinta ini berupaya menunjukkan empatinya terhadap Alquran tanpa rasa sungkan menampakkan kekaguman mereka terhahadap kitab mulia umat Islam tersebut. Mereka turut melakukan kajian kritis namun dalam pengungkapan pendapatnya diberikan dengan cara yang simpatik dan empatik.

Bentuk kelima adalah the voyeur (para pengintai). Mereka adalah para pengkaji Alquran yang mengkritis habis Alquran secara membabi-buta. Mereka biasa bersikap negatif terhadap Alquran namun kadang masih mengakui sisi positif Alquran selama diungkapkan dengan alasan yang meyakinkan.

Bentuk keenam adalah the polemicst (para pembantah). Para pembantah berupaya melakukan studi tentang Alquran yang hanya mengungkap sisi-sisi lemahnya saja. Mereka membaca dan memandang Alquran dengan nada sumbang yang terus bersikap antipati pada Alquran.

Mengadopsi gagasan Farid tersebut, dalam mengaitkan diri saya dengan Jupe, terbilang berada pada posisi mengambang antara the uncritical lover dan the scholarly lover. Bila melihat bahwa saya menyempatkan waktu untuk menikmati dan sesekali mengungkapkan, tampak berada pada the scholarly lover. Tampak kalau berusaha mengajak khalayak untuk memberi apresiasi semadyana. Hanya saja, dengan cenderung memaklumi kekurangan disertai mengagumi kelebihan, saya rasa lebih tepat the uncritical lover. Karena memang mata yang cinta senantiasa tumpul terhadap cela. Dengan pandangan serupa ini pula saya menyempatkan menulis Menjilati Yuli, yang bertutut mengenai perjalanan pribadi Julia.

Yuli Rachmawati atau Jupe memang manusia biasa. Dirinya bisa berbuat salah juga, meski seorang wanita. Buat yang tak peduli pada Yuli, tentu boleh tetap bernafas. Walakin hembusan nafasnya tak perlu disertai cibiran kelewat cemar, apalagi berperilaku beringas.

References

[1] Adib Rifqi Setiawan. (2013, 15 Juli). Menjilati Yuli. Kirana Azalea. [lihat]

[2] Adib Rifqi Setiawan. (2014, 28 Oktober). Membaca Julia. Kirana Azalea. [lihat]

[3] Farid Esack. (2005). The Qur’an: A User’s Guide. Oxford: Oneworld Publications.

[4] Yow, V.R. (2005). Recording oral history a guide for the humanities and social sciences (2nd ed.). Walnut Creek: Altamira Press.